Naskah Sastra Klasik: BHAGAWADGITA
Namun
dalam jalan cerita disesuai dengan kebudayaan di Indonesia, yaitu Sunda. Karya
sastra klasik tentang Pandawa Lima memiliki banyak versi. Salah satunya yang
kita bahas ini. Adalah hasil dari saduran Raden Raden Ngabei Hardjosaputro ke
dalam Bahasa Jawa. Serat Bhagawadgita diambil dari epos cerita Mahabarata yang
keenam dari yang menceritakan panglima perang dari Hindustan.
Bhagawadgita
pada awalnya ditulis oleh Resi Wiyasa dalam Bahasa Sanskerta yang terdiri dari
700 seloka dalam delapan belas bab atau dikenal dengan delapan belas wiraossan
(percakapan). Seloka adalah sejenis cara menulis yang berbentuk syair, pantun
atau nasihat yang berbait-bait (kesastraan Melayu).
Karena
ajaran Bhagawadgita sangat terkenal masa itu, membuat sastra Bhagawadgita cepat
menyebar ke luar Hindustan (India). Naskah Bhagawadgita pertama kali ditulis
diperkirakan antara tahun 450-460 Sebelum Masehi. Perkiraan dinisbatkan pada
kesastraan Mahabarata yang juga ditulis beberapa waktu sebelumnya.
Masuknya
pengaruh kebudayaan India ke Nusantara (Indonesia), juga mengikuti masuknya
kesastraan India. Salah satunya adalah sastra klasik Bhagawadgita. Oleh
pujangga di Nusantara naskah yang berbahasa sanskerta diterjemahkan kedalam
bahasa daerah, terutama Bahasa Jawa Kuno dan masa-masa berikutnya ditulis juga
kedalam bahasa Jawa Baru.
Cerita
serat Bhagawadgita yang disadur oleh Raden Ngabei Hardjosapoetra menyebutkan
juga kalau dari cerita keenam sastra klasik Mahabarata. Bercerita tentang
perjalanan hidup lima putra Pandu yang dijuluki Pandawa yang berperang melawan
saudaranya dikenal dengan Kurawa. Pertempuran antara Pandawa dan Kurawa terjadi
di medan Kurusetra dikenal dengan Perang Baratayuda.
Panglima
perang kelompok Pandawa adalah Arjuna. Sebelum berperang senapati Arjuna diberi
wejangan atau petua dari Sri Kresna yang berisi tentang ajaran hidup
seorang kastria. Petua tersebulah yang kemudian dikenal dengan ajaran
Bhagawadgita.
Bhagawad
Gita.
(Kidung
Suksma, utawa rerepening Jawata).
Wiraosan
ingkang sapisan.
1.pangandikanipun
Prabu Dristarastra.
Heh
Sanjaya, sabanjure kapriye kahanane para putraningsung, lan sulane Pandhu, kang
nedya bondayuda satekane ana Tegal Kuru,iya tegal kang sukci.
2.Aturipun
Sanjaya.
Rikala
Prabu Duryudana anguningani bilih wadyabalanipun para putraning Pandhu ingkang
sakalangkung ageng punika sampun angrakit gelaring ngayuda, enggal merepeki
gurunipun (Durna) sarwi umatur.
3.
Kapirsanana guru, wadyanipun Pandhutanaya ingkang sakalang kung ageng sampun
karakit gelaring ngaprang dening atmajaning Drupada, murid paduka ingkang lebda
ing pengolah prang.
4.Lah
punika para Senapati ageng ingkang angirit wadya sikep jempraning. Kados ta
Suyudana, Wirata, tuwin Drupada, ingkang sami awahana rata, ingkang boboting
ngayuda sami kaliyan Bima tuwin Arjuna.
5.Dhristoketu,
Sekitana, sarta Narendra ing Prajakasi (Benares) ingkang surayeng ngalaga,
Purujit Kuntiboja tuwin Narendra ing Nagri Swibi, sami bebanthenging manungsa.
6.Kang
prakosa risang Abimayu, atmajanipun Sumbadra, tuwin kang ambeg sura pun
Hutamuya, sutanipun Drupati sami wahana rata.
7.Dhuh
para dwija (ingkang sampun kalahiraken kaping kali) (1), Sinten ingkang mungguh
anindhihi wadyabala, saking pamanggih kula ingkang langkung prayogi inggih
amung paduka.
8.Inggih paduka pijambak punapa Sang Bisma (Senapati
ning Kurawa kaprena eyangipun Duryudana utawi Pandhawa), punapa Karna tuwin
Kripa sami pilih tandhingipun ing ngayuda, Aswatama, sarta Wikarna miwah
atmajaning Samadati.
9.Saha para Senapati sanesipun malih, awit saking tresnanipun dateng..................(halaman 8).
Berikut
terjenmahan ke dalam Bahasa Indonesia.
Bhagawadgita.
(Nyanyian
Tuhan atau Senandung Dewata).
Percakapan
kesatu.
1.Kata
Prabu Dristarastra.
Hai
Sanjaya, selanjutnya bagaimana keadaan para putraku dan anak-anak Pandu yang
akan berperangtanding setelah mereka berada di Tegal Kuru, suatu tempat yang
suci?
2.Jawab
Sanjaya.
Ketika
Prabu Duryudana mengetahui bahwa perajurit anak-anak Pandu yang begitu besar
jumlahnya sudah bersiapsiaga menggelar perang, ia segera menemui Durna,
gurunya, seraya berkata;
3.Lihatlah
guru, anak buah Pandutanaya yang begitu banyak sudah bersiapsiaga dipimpin
Drupada, murid guru yang ahli dalam taktik perang.
4.lihatlah
disana para panglima besar beserta perajurit pemanah seperti Duryudana Wirata,
dan Drupada degan kereta perangnya yang berkekuatan sama dengan Bima atau
Arjuna.
5.Dristoketu,
Sekitana, dan raja dari Prajakasi (Benares) yang gagah berani dalam perang,
perajurit Kuntiboga beserta raja dari Negara Swibi yang berbenteng manusia.
6.Yang
gagah perkasa Risang Yodamannyu anak Sumbadra serta sang pemberani Hutamuya,
anak Drupati, yang berkendaraan kereta.
7.Wahai
para pendeta (yang sudah dilahirkan dua kali) (1), Siapakah yang pantas menjadi
pemimpin perajurit, menurut pendapat saya yang paling tepat hanyalah guru.
8.Hanya
guru atau Sang Bisma (panglima Kurawa yang masih Kakek Duryudana maupun
Pendawa), ataupun Karna serta Kripa sama-sama terampil dalam perang, Aswatama
dan wikarna serta anak-anak Samadati.
9.
Juga para panglima perang lainnya, karena cinta
terhadap....................(halaman 88).
Bagi Anda yang ingin lebih banyak tahu atau untuk referensi karya ilmiah dan inspirasi kesastraan. Dapat menjumpai buku dokumentasi alih aksara dan transliterasi naskah klasik Bhagawadgita di Perpustakaan milik Pemerintah seperti Perpustakaan Daerah dan Perpustakaan Nasional Pusat di Jakarta. Atau mencari tahu di e-pusnas dengan kata pencarian Bhagawadgita. Buku terdiri dari dua bahasa, yaitu Bahasa Melayu Sunda dan terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia.
Oleh.
Tim Apero Fublic
Editor.
Desti. S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
6 Agustus 2020.
Sumber:
Soimun Hp, Dkk. Bhagawadgita. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1992/1993.
Sy.
Apero Fublic.
Post a Comment