Lontarak Tellumpoccoe: Sejarah, Budaya, dan Perjuangan. (Sulawesi Selatan).
Apero Fublic.- Naskah Klasik. Tradisi menulis di Nusantara Indonesia tersebar disetiap daerah. Salah satunya tradisi tulis tangan menggunakan daun lontar dari masyarakat Sulawesi yang dikenal dengan tradisi tulis Lontarak. Ada yang ditulis dengan aksara Bugis atau aksara Makasar. Ada juga yang ditulis dengan aksara Arab yang dinamakan hurupuk serang.
Salah
satu naskah lontarak, adalah Naskah Lontarak Tellumpoccoe. Naskah ini
mengisahkah tentang kehidupan keluarga kerajaan Bone dan masyarakatnya.
Permasalahan yang sulit dan penuh intrik politik istanah. Tellumpoccoe bermakna Tiga Saudara atau Tiga Bukit.
Pada
saat zaman kertas masyarakat menulis dengan menggunakan kertas. Begitu juga
saat masyarakat menerjemahkannya atau menyalin ulang juga menggunakan kertas.
Tapi dalam penamaannya masyarakat Sulawesi tetap menyebut dengan Lontarak.
Kisah
Naskah Lontarak Tellumpoccoe dimulai dari zaman kedatangan to-manurung lokal
sekitar tahun 1326 sampai jatuhnya Kesultanan Gowa oleh kekuatan Kompeni Belanda
pada tahun 1667 Masehi.
Dalam
lontarak Tellumpoccoe tercatat nama-nama Kerajaan atau Kesultanan masa itu di
sekitar jazirah Sulawesi. Diantaranya, Bone, Wajo, Soppeng, Luwu, dan
Kesultanan Gowa. Dalam cerita dikisahkan hubungan damai dan perang antar satu
sama lain.
Dikisahkan
setelah masa Kepemimpinan Raja Galigo, di kawasan kerajaan tersebut tidak ada
lagi kedamaian, dan ketentraman. Yang berlaku masa itu adalah hukum rimba dan
manusia saling menghianati dan memusuhi. Masa kacau ini berlanjut selama tujuh
keturunan atau disebut pitutureng (tujuh musim/masa).
Tellumpoccoe
diambil dari nama perjanjian aliansi atau bersatunya tiga kerajaan Bugis, yaitu
Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng (trialiansi). Perjanjian persahabatan itu
disebut; Mallamumpatu e ri Timurung (Penanaman batu di Timurung). Namun
karena politik perjanjian Telummpoccoe hancur oleh Arung Palaka. Ketika
Kesultanan Wajo tetap berpihak dan setia pada Kesultanan Gowa.
Dalam bahasa asli naskah Tellumpoccoe.
1.Ia
nae surek poadaada-engngi tana e ri Bone / Enreng ngia mangkuk e ri Bone /
Angkan na rirapik e mengkalinga / Napau e to-matoa/.
2.Tania
upo-mabusung / Tania upo-maweddawedda / tekku-matula poadada aseng tolebbi /
Aga kuassimang memeng kui-nappa lakkek wija senri mangkauk e/.
3.Ia
garek arung puwatta arung menrek e ri Galigo dek-na riaseng arung/.
4.Aga
tenna sisseng tau e si ewa ada / Si-anrebale i tau e / Si-akbelli-belliang /
Dek na adek / Apagi sia riaseng nge bicara/.
5.Pitutturen ni itta na dek arung / Sekua toni ro itta na tau e tessisseng siewa ada / Tekke bicara/.
Berikut
terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia.
1.Inilah
surat (lontarak) yang membicarakan (perihal;tentang) tanah Bone. Serta Mangkauk
e ri Bone, khusus yang sempat didengar (dari) penuturan orang tua (leluhur).
(Mangkauk e ri Bone adalah Gelar Raja Bone yang berati Raja Berdaulat di
tanah Bone).
2.Tidaklah
aku durhaka. Tidaklah aku terkutuk. Tidaklah aku kualat (karena)
menyebut-nyebut nama orang-orang terhormat. Maka sebelumnya, aku lebih dahulu
mohonkan ampun barulah kemudian menuturkan satu persatu keturunan baginda Mangkauk
e.
3.Konon
kabarnya baginda raja yang termuat dalam Galigo, tiada lagi seorang pun
yang bertakhta. (Galigo berarti: sastra suci berjudul Galigo. Galigo
nama putra Sawerigading dari isterinya bernama We Cudai).
4.Maka
orang tidak lagi mengenal mufakat. Orang saling memangsa seperti ikan. Saling memusuhi.
Tiada lagi adek. Aturan yang mengandung sangsi adat. Apa pula yang
dinamakan bicara. Peradilan dalam menegakkan keadilan. (Adek berarti:
aturan adat).
5.Sudah tujuh periode lamanya tiada raja (arung). Sudah sekian lamanya pula tiada kedamaian. Tanpa bicara. Peradilan dalam menegakkan keadilan. (arung berarti: raja, bangsawan, penguasa).
Lontarak
Tellumpoccoe diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta,
1992/1993. Peneliti atau penulis Pananrangi Hamid dan Dra. Tatiek Kartikasari
dengan para penyunting Drs. S. Sumardi dan Sri Mintosih.
Buku
transliterasi Naskah Lontarak Tellumpoccoe ditulis bahasa asli dan Bahasa
Indonesia. Ada ulasan tentang naskah pada bagian awal buku. Pada Bab III ada
analisa isi, dimana penjelasan bait-bait naskah cukup menerangkan maksud.
Buku terdiri dari 150 halaman. Bagi Anda yang tertarik dengan buku transliterasi Naskah Lontarak Tellumpoccoe dapat menemukan di Perpustakaan Daerah dan Perpustakaan pusat dengan sampul warna kuning.
Post a Comment