Mengenal Raja Ali Haji: Bapak Bahasa Indonesia.
Ayah
beliau juga seorang pengarang dan penyair. Diantara karyanya, Syair Engku
Putri, Syair Perang Johor, dan Syair Raksi. Kakek Raja Ali
Haji bernama Raja Haji Fisabilillah yang digelari Marhum Teluk Ketapang. Raja
Haji Fisabilillah syahid dalam perang di teluk Ketapang melawan penjajah
Belanda.
Raja
Ali Haji memiliki tiga orang isteri; pertama, Halimah binti Raja Ja’far Yang
Dipertuan Muda Riau XI. Kedua, Daeng Cahaya binti Manaroh, dan ketiga Encik
Sulong. Dari ketiga istrinya mendapat 15 orang anak, 6 laki-laki dan 9 orang
perempuan. Anak beliau yang menjadi penulis bernama Raja Hasan. Cucu beliau
yang juga menjadi penulis bernama Aisyah Sulaiman.
Raja
Ali Haji memiliki enam orang saudara, yaitu; Raja Muhammad Said, Raja Haji
Daud, Raja Abdul Hamid, Raja Usman, Raja Haji Umar, Raja Haji Abdullah. Usia 13
tahun pernah datang ke Batavia. Di usia 16 tahun ikut ayahnya berdagang ke
Pulau Jawa.
Raja
Ali Haji adalah seorang ulama yang saleh dan aktif menulis. Beliau juga seorang
pengamal tarikat naksahbandi begitu juga dengan anggota kerajaan lainnya. Perlu
diketahui juga, kata raja adalah gelar untuk bangsawan kesultanan Riau-Lingga
keturunan Melayu Bugis. Oleh Hooykaas Raja Ali Haji dijuluki sebagai pengarang
yang teramat pandai.
Kedudukan
agama Islam yang begitu rupa dalam kerajaan Riau. Sehingga ilmu pengetahuan
menjadi yang diutamakan, terutama tulis dan membaca. Dengan demikian menjadikan
keluarga Kesultanan dan keluarga Yang Dipertuan Muda (perdana mentri)
mengutamakan belajar, membaca lalu menjadi penulis.
Begitu
juga dengan Raja Ali Haji, dari kecil dia sudah menyukai belajar dan menulis.
Tumbuh dan besar dilingkungan istana yang menerapkan tradisi ulama, yaitu
menulis. Selain itu, pengaruh dari sang ayah yang juga seorang penyair dan
pengarang. Di umur 12 beliau sudah ikut terlibat dalam urusan Kesultanan
Riau-Lingga dalam bimbingan ayahnya.
Berikut
karya tulis dari Raja Ali Haji; Pertama, Bustanul al Katibin lis Subyan al
Muta’alimin, naskah setebal 36 halaman dan ditulis sekitar tahun 1857.
Karya kedua Pengetahuan Bahasa setebal 440 halaman. Di cetak di
Singapura oleh Al Ahmadiah Press pada tahun 1926 dan ditulis kira-kira 1859
Masehi.
Ketiga,
Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya, setebal 96 halaman
dan ditulis sekitar tahun 1860. Pernah dicetak oleh sebuah majalah Islam
bernama Al-Imam di Singapura tahun 1329 Hijriyah atau 1911 Masehi.
Keempat,
Tuhfat al Nafis setebal 330 halaman ditulis sekitar 1865 dan pernah
diterbitkan oleh the Malayan Branch Royal Asiatic Society Singapura tahun 1932.
Kelima,
Gurindam Dua Belas ditulis sekitar tahun 1847 Masehi. Buku ini sudah
disalin kedalam Bahasa Belanda oleh E.
Netscher. Keenam, Tsamarat al Muhimmah setebal 78 halaman. Pernah
dicetak oleh Mathba’at al Riauwiyah di Pulau Penyengat Inderasakti 1275
Hijriyah.
Ketujuh,
Mukaddimah fi Intizam al Wathaib setebal 18 halaman, naskah tersimpan di
Leiden, Belanda. Kedelapan, Syair Suluh Pegawai naskah tersimpan di
Yayasan Inderasakti Pulau Penyengat. Kesembilan, Syair Hukum Nikah
naskah tulis tangan setebal 44 halaman juga tersimpan di Yayasan Inderasakti.
Kesepuluh,
Syair Sinar Gemala Mestika Alam, terjemahan adaptasi dari Bahasa Arab.
Dicetak oleh Mathba’at al Riauwiyah di Pulau Penyengat Inderasakti dan
diterbitkan oleh Rusyidiah Klub 1311 H/1893 Masehi, setebal 70 halaman.
Kesebelas, Syair Siti Sianah Syahibat Fatut wal Amanah, naskah tulis
tangan setebal 70 halaman juga tersimpan di Yayasan Kebudayaan Inderasakti.
Keduabelas, Syair Hukum Faraid ditulis sekitar tahun 1893. Ketigabelas, Syair
Awal ditulis sekitar tahun 1863.
Karena
hasil karya-karya tulis Raja Ali Haji yang sempurna. Menjadikan tata bahasa
Melayu semakin baik. Sehingga digolongkan dengan istilah bahasa Melayu Tinggi
atau Bahasa Melayu Tulis. Dari sistem tata bahasa dan hasil karya-karya
dijadikan pedoman berbahasa Kolonial Belanda di Indonesia. Sedangkan Bahasa
Melayu Renda atau Bahasa Melayu Pasar adalah istilah penyebutan bahasa Melayu
yang belum dibakukan.
Pada
tahun 1930-an mata pelajaran bahasa Melayu dihapus oleh Pemerintahan Kolonial
Belanda dari sekolah-sekolah. Karena para kaum pergerakan diseluruh Hindia
Belanda menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan. Sebagaimana Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Dimana
Bahasa Melayu kemudian di ganti nama menjadi Bahasa Indonesia. Karena kata
Indonesia untuk menggantikan penyebutan Hindia Belanda. Perubahan nama Bahasa
Melayu ke Bahasa Indonesia hanya sebatas perubahan nama saja.
Post a Comment