Abah Aning dan Si Bodoh
Tidak
pernah anak itu menyangkal perintah orang tuanya. Kalau orang tuanya tidak
menyuruhnya, sehari-hari pekerjaannya hanya bermain saja. Pagi hari dia pergi
bermain di pinggir kampung, pulang di sore hari. Kalau keluarganya bertanya
dari mana. Dia menjawab kalau dia bermain ke hutan, melihat-lihat burung
bermain-main. Kadang-kadang geli hatinya
melihat tingkah laku burung-burung itu, jelasnya.
Suatu
hari, Anak itu diminta ibunya untuk mencari kayu api. “Bawak parang, untuk
jaga-jaga. Siapa tahu bertemu binatang buas.” Kata ibunya. Dia mengiakan dan
pergilah ke hutan mencari kayu bakar. Sesampai di hutan si Anak terus mengingat
apa kata ibu. “Mencari kayu api.” Berkelilinglah dia sampai jauh kedalam hutan
dan kemana-mana. Namun dia tidak menemukan kayu yang ada api. Sampai setengah
hari dia tidak juga menemukan kayu api.
Tubuhnya
sudah kepayahan, lalu dia beristirahat dibawa sebatang pohon besar. Dia
memperhatikan pohon besar itu, sambil berpikir dimana kiranya dia mendapat kayu
api di sekitar kampungnya. Setelah rasa lelah hilang, kembali dia mencari kayu
yang ada apinya. Dari siang sampai magrib tapi dia tidak menemukan kayu yang ada apinya. “Cari kayu api, sudah
dapat bawak pulang.” Teringat terus kata-kata ibunya.
Saat
mulai gelap dia takut untuk pulang, nanti dimarahi ibunya. Tapi suara-suara
binatang buas sudah mulai keluar. Membuat si Anak itu takut dan terpaksa
pulang. Biarlah dimarahi ibunya daripada dia diterkam binatang buas. Sesampai
di rumah, ibunya bertanya mengapa dia pulang malam. Bagaimana dengan kayu api
yang ibunya, minta.
“Oh,
ibu capeklah saya, mencari kayu yang berapi di hutan dari pagi hingga malam.
Dimana kiranya ada kayu yang ada apinya?.” Jawab si Anak dan dia pun bertanya.
“Adu, alangkah bodohnya dirimu anakku. Mana ada kayu yang ada apinya. Maksud
ibu kayu untuk memasak nasi atau memasak air minum.” Kata ibunya menahan rasa
kesal.
“Kau
ini, betul-betul sangat bodoh.” Sejak saat itu, suami-istri itu memanggil
anaknya dengan si bodoh. Walau bodoh anak itu sangat jujur. Tidak pernah dia
membohongi kedua orang tuanya. Apa yang diperintahkan orang tuanya dia selalu
mengerjakannya. Kalau tidak diperintahkan dia juga tidak mengerjakannya.
*****
Bulan
puasa hampir dimulai, tinggal beberapa hari lagi. Menurut kebiasaan masyarakat
di kampung itu. Mereka selalu mencari orang yang akan memotong kerbau atau
sapi. Sibuklah orang-orang mencari yang akan memotong kerbau. Malu rasanya pada
warga sekampung kalau tidak membeli daging kerbau, memasuki bulan puasa. Makan
daging kerbau adalah kebanggaan warga kampung mereka. Hari memotong kerbau
mereka namakan, “hari memegang atau hari membantai.”
Pada
hari membantai itu, si Anak bodoh diminta ayahnya pergi membeli satu kilogram
daging kerbau. Maklumlah, mereka memang orang susah. Pekerjaan orang tua anak
itu mencari daun nipa dan menjalin daun nipa menjadi atap. Hanya mampu membeli
satu kilogram saja untuk puasa hari pertama. Ayahnya memberinya uang seringgit.
Karena harga satu kilogram daging kerbau, seringgit. Mereka hanya membeli
daging setahun satu kali.
Pendapatan
mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Untuk mendapatkan itupun sudah
sangat kesulitan. Kadang mereka makan ubi dan sayuran saja. Kadang anak mereka
menangkap ikan dan udang di sungai, sehingga mereka sering makan ikan. Hari
memotong kebau atau hari membantai sudah tiba. Si Anak bodoh pergi ke pasar
untuk membeli daging kerbau. Pesan ayahnya sebelum membeli agar dia menawar
terlebih dahulu.
Dia
selalu ingat pesan ayahnya, dan sesampai di pasar membeli daging kerbau.
Kemudian dapatlah dia daging kerbau satu kilogram. Daging itu kemudian
diikatnya di ujung tali. Kemudian dia pergi pulang. Di perjalanan pulang dia
bertemu dengan seekor anjing.
Anjing
itu terus mengikuti si Bodoh dari belakang. Dia takut kalau daging yang dia
bawa dilarikan si Anjing. Dia menghalau anjing, tapi anjing tidak mau pergi
jauh darinya. Berulang-ulang begitulah tingkah si Anjing. Dia lempar dengan
tanah tetap saja si Anjing tidak pergi. Si Bodoh merah penasaran dengan sikaf
si anjing. Terpikirkan olehnya untuk menanyai anjing.
“Hai
Abang anjing, mengapa selalu mengikuti aku. Apakah abang Anjing mau makan
daging. Kalau abang Anjing mau, bayarlah seringgit.” Kata si Bodoh. Lalu anjing
itu menggongong-gonggong saja. Si Bodoh berpikir kalau si anjing mau membayar
senilai harga daging, seringgit. Lalu dia melemparkan daging ke anjing. Tentu saja
si anjing langsung menerkam dan membawanya berlari. Si Bodoh marah, karena
menurutnya si anjing menipunya. Pergi belum membayar seharga seringgit. Maka
dia kejar anjing itu kemana-mana. Anjing ketakutan berlari kesana-kemari sampai
akhirnya terjepit di rumpun bambu yang lebat.
Saat
mendekat si anjing, si Bodoh melihat tidak jauh dari terjepitnya anjing.
Tergeletak sekarung uang dan si Bodoh mengambil uang itu seharga daging yang
dilarikan anjing tadi. “Ternyata uang abang Anjing banyak sekali. “Aku ambil
uang abang Anjing seringgit, ya. Kata si Bodoh.” Kemudian dia kembali ke pasar
dan membeli satu kilogram daging kerbau.
Setiba
di rumah si Bodoh menceritakan semuanya pada ayah dan ibunya pengalamannya. Mendengar
itu, pergilah ayah si Bodoh ke rumpun bambu yang dimaksdu anaknya. Mendapati
uang yang banyak itu, betapa gembira hati ayah dan ibu si Bodoh. Keesokan
harinya si bodoh pergi ke pasar lagi. Di pasar dia menceritakan juga tentang
pengalamannya kemarin.
Diantara
orang yang mendengar ternyata adalah orang yang kehilangan uang. Rumanya baru
saja dimasuki pencuri. Hilang uang satu karung. Oleh orang itu, dilaporkannya
ke Polisi Kampung mereka. Kepala Kampung dan Polisi kampung datang memeriksa
ayah si Bodoh. Ayah si Bodoh tidak mengakuinya dan tidak juga punya bukti.
“Bukankah
kalian tahu kalau dia bodoh.” Mendengar pernyataan itu, Kepala Kampung dan
polisi kampung tidak lama pulang. Karena kejadian itu, timbul pikiran ayah si
Bodoh untuk membuangnya. Agar tidak bercerita pada orang lagi pada orang-orang.
Maka si Bodoh diminta untuk pergi jauh dari rumah. Sebelum pergi, ibunya
menyiapkan dua bungkus bekalnya. Satu bungkus sagu yang lebut, satu bungkus
nasi yang keras.
“Nanti
kalau engkau lapar, Bodoh. Makan terlebih dahulu yang bungkus lembut ini.
Setelah itu, baru kau makan bungkusan yang keras.” Agar tidak lupa dengan pesan
ibunya. Si Bodoh selalu mengulang-ulang perkataan ibunya. Perjalanan sudah jauh
si bodoh pun telah lelah. Sekarang sampailah si Bodoh di sebuah gua. Di dalam
gua hiduplah raksasa suami istri, dan anak mereka yang masih bayi.
“Nanti
kalau engkau lapar, Bodoh. Makan terlebih dahulu yang bungkus lembut ini.
Setelah itu, baru kau makan bungkusan yang keras.” Kata si Bodoh
berulang-ulang. Sepasang raksasa penghuni gua tempat si Bodoh beristirahat.
Kedua raksasa itu takut kalau si Bodoh ingin memakan anak mereka yang masih
bayi.
“Jangan
kau makan anak kami. Kau kami beri periuk ajaib yang bisa kau minta apa saja.
Jika kau lapar, buka saja periuk ajaib itu pasti ada nasi.” Mendengar kata-kata
raksasa itu. Maka pergilah si Bodoh dari dalam gua itu. Menjelang malam,
sampailah si Bodoh di sebuah perkampungan warga.
Si
Bodoh kemudian menginap di salah satu rumah warga kampung. Pada malam harinya
dia menceritakan semua pengalamannya siang tadi. Termasuk dia diberi raksasa
periuk ajaib. Mendengar cerita itu, pemilik rumah berniat menukar periuk ajaib
si Bodoh dengan periuk biasa. Setelah malam si Bodoh tidur dan meletakkan
periuk di dekatnya. Dia tidak curiga kalau pemilik rumah akan berbuat tidak
baik, seperti menukar periuknya.
Karena
kelelahan si Bodoh tertidur nyenyak sekali. Sehingga tidak disadarinya lagi
yang terjadi. Waktu itulah si pemilik rumah menyampaikan niatnya pada istrinya.
Bermusyawarahlah kedua suami istri itu. Lalu mereka menukar periuk si bodoh
dengan periuk biasa. Keesokan harinya semua bangun dan keadaan seperti biasa
dan tidak ada yang aneh. Si Bodoh pamit untuk kembali pulang kerumahnya.
Sampailah si Bodoh di rumah orang tuanya kembali.
Si
Bodoh menceritakan semua pengalamannya pada kedua orang tuanya. Kedua orang
tuanya gembira sebab mereka tahu kalau si Bodoh tidak pernah berbohong. Mereka
memiliki uang banyak dan sekarang memiliki periuk ajaib. Suatu hari, mereka
mencoba periuk ajaib menurut si Bodoh. Namun apa yang terjadi justru
sebaliknya, periuk tidak dapat memenuhi permintaan mereka.
Sehingga
kedua orang tua si Bodoh mulai curiga. Apakah si Bodoh sudah mulai bisa
berbohong. Maka kembali si Bodoh diusir oleh kedua orang tuanya. Satu bungkus
sagu yang lembut dan satu bungkus nasi keras diberikan ibu si Bodoh sebagai
bekal. “Bodoh, kalau kau lapar, makan yang lembut terlebih dahulu dan setelah
itu baru yang keras.” Pesan ibu si Bodoh sama seperti beberapa waktu lalu.
Sekarang
si Bodoh tiba lagi di gua dimana dia istirahat beberapa hari yang lalu. Di
dalam gua sambil melepas lelah si Bodoh terus berkata demikian. Raksasa suami
istri kembali salah paham. Keduanya ketakutan mendengar kata-kata si Bodoh. Mereka
tidak habis pikir mengapa si anak manusia itu ingin makan anak mereka terlebih
dahulu. Raksasa laki-laki keluar dari dalam gua dan berkata pada si Bodoh.
“Jangan
kau makan anakku. Ini aku beri kau sebuah tajak sakti untuk bertani. Sekali kau
ayunkan maka bersilah seluruh ladang, pergilah.” Kata Raksasa itu. Si Bodoh menerima
tajak sakti itu. Dia kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Seperti beberapa
hari yang lalu dia akhirnya sampai di perkampungan warga dimana dia menginap.
Karena sudah kenal, maka dia menginap di rumah warga tempat dia menginap
beberapa hari yang lalu.
Kembali
si Bodoh menceritakan pengalamannya. Dari rumah sampai di dalam gua dan
mendapat tajak sakti untuk bertani dari raksasa, lalu dia sampai kembali ke
rumah warga itu. Kerenah kelelahan, si Bodoh tertidur dengan nyenyaknya.
Kembali pemilik rumah tempat dia menginap menukar tajak sakti dengan tajak
biasa. Si bodoh tidak tahu dan tidak curiga pada pemilik rumah. Si Bodoh kembali
pulang ke rumah orang tuanya.
Setiba
di rumah si Bodoh menceritakan juga tetang tajak sakti. Namun saat di gunakan
tidak ada tanda-tanda keajaiban. Marahlah kedua orang tua si Bodoh. Mereka
yakin kalau si Bodoh sudah menjadi pembohong. Kedua orang tuanya kembali
mengusir si Bodoh. Sebelum pergi si Bodoh diberikan bekal. Sebungkus bekal dari
sagu yang bungkus lembut, dan satu lagi sebungkus bekal yang keras (nasi).
Pergilah
si Bodoh dari rumah orang tuanya. Waktu berlalu dan si Bodoh kembali beristirahat
di gua dimana dia beristirahat beberapa hari yang lalu. Seperti biasa di
sepanjang jalan dan saat istirahat di mulut gua si Bodoh mengulang-ulang pesan
ibunya.
“Makan
yang lembut dahulu, kemudian baru makan yang keras.” Kata-kata si Bodoh kembali
terdengar oleh dua raksasa suami istri yang punya anak masih bayi. Mereka tetap
salah paham pada si Bodoh. Mereka pikir si Bodoh benar-benar bernafsu ingin
makan anak mereka. Keduanya gemetar mendengar si Bodoh datang lagi. Lalu
keluarlah suami raksasa mendekat si Bodoh.
“Jangan
kau makan anakku, ini aku berikan kau tongkat sakti. Tongkat ini dapat memukul
orang yang suka menipu orang. Bertambah ganas kalau yang di tipu orang itu
adalah orang yang baik dan jujur, Pergilah.” Kata raksasa laki-laki itu. Si
Bodoh pergi dan berjalan menyusuri jalan yang sudah dia lalui seperti biasa.
Kembali tiba di kampung warga dimana dia bermalam, lalu menginap di rumah warga
yang dia menginap beberapa hari lalu.
Sebelum
tidur, kembali si Bodoh menceritakan pengalaman hari itu. Dari rumah sampai ke
gua dan sampai ke rumah warga itu. Di gua dia diberikan raksasa tongkat ajaib.
Kegunaan tongkat itu, untuk memukul orang yang suka menipu terutama dia menipu
orang baik. Mendengar cerita itu, pemilik rumah menjadi gembira. Kembali dia
punya niat menukar tongkat ajaib si Bodoh dengan tongkat biasa. Malam tiba, si
Bodoh tidur nyenyak dan pemilik rumah bersama istrinya menukar tongkat si
bodoh.
Walau
sudah diceritakan si Bodoh tentang kegunaan tongkat itu, dapat memukul orang
yang suka menipu. Tapi sepasang suami istri itu masih saja menukar tongkat itu.
Kemudian benar apa kata si Bodoh. Setelah menukar tongkat ajaib si Bodoh dengan
tongkat biasa. Tongkat itu bergerak sendiri lalu memukul sepasang suami istri
itu tanpa ampun. Sehingga sekujur tubuh suami istri itu menjadi biru-biru bekas
pukulan tongkat ajaib milik si Bodoh.
Tongkat
itu baru berhenti memukuli sepasang suami istri pemilik rumah tempat si Bodoh
menginap setelah mereka berniat mengembalikan periuk ajaib dan tajak sakti
milik si Bodoh sebelumnya yang telah mereka tukar di malam hari. Keduanya pun
meminta maaf pada si Bodoh. Tentu saja si Bodoh memaafkan orang yang telah
menerimanya bertamu. Kembali si Bodoh pulang ke rumah orang tuanya.
Keajaiban terjadi dari benda-benda sakti milik si Bodoh. Uang yang banyak, periuk ajaib, tajak sakti, membuat kehidupan keluarga si Bodoh menjadi enak dan senang. Itulah kisah si Bodoh yang jujur dan selalu mengikuti perintah orang tuanya.
Rewrite.
Tim Apero Fublic.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
22 November 2020.
Sumber:
Mastur, lahir di Hinai Kanan tahun 1920. Berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra
Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy.
Apero Fublic
Post a Comment