Hikayat: si Minah Anak Yatim
Apero
Fublic.-
Si Minah adalah seorang anak yatim. Sewaktu kecil, ayahnya meninggal dunia
entah kenapa. Minah dibesarkan oleh ibunya, tinggal di sebuah gubuk kecil
terletak tidak jauh dari tebing sungai. Di seberang sungai, di depan gubuk si
Minah.
Tinggallah
kakak ayahnya yang perempuan. Juga mempunyai seorang anak gadis bernama, Merah.
Uwa si Minah orang kaya namun sangat kikir dan pelit sekali. Untuk makan
bersama ibunya, Minah memetik pakis di hutan. Sambil memetik pakis Minah suka
bernyanyi-nyanyi.
“Klepak,
klepuk Mak.
Mak,
patahi paku.
Ada
asamnya, garamnnya tiada.
Ada
garamnnya, asamnya tiada.”
Begitulah
pekerjaan si Minah setiap harinya. Setelah diperoleh pakis seikat besar, lalu
dibawa pulang dan direbusnya. Kadang direbus dengan ditambahi garam. Sering
juga direbus dibumbuhi asam. Setelah masak, pakis mereka makan. Pada suatu hari
saat sedang memetik pakis dihutan untuk makan. Bertemulah si Minah dengan
seekor ular lidi yang berada di dahan pohon kecil. Ular lidi itu kemudian
berkata pada Minah.
“Kak
Minah, Kak Minah, belakangmu penyet.” Ujar ular lidi tersebut. Lalu
Aminah menjawab dengan tenang perkataan ular lidi itu. “Birlah belakangku
penyet, aku ini memang orang miskin.” Aminah tidak memperdulikan ular lidi itu,
dia melanjutkan memetik pakis. Setelah dirasakan cukup Aminah pulang.
Suatu
hari bertanyalah Minah pada ibunya. “Umak, bagaimana rasa nasi. Tidak pernah
kita memakannya.” Ibu Minah kemudian menjawab. “Cobalah kau minta pada Uwa-mu
di seberang sana. Kalau engkau mau, mintalah. Akan tetapi apabila kau tidak
diberinya, jangan menyesal.”
“Baiklah,
biarlah aku coba.” Jawab Aminah, lalu dia melanjutkan. “Minta tolong pada
saudara ayah, sekali-sekali, apa salahnya.”
Kemudian
Minah pergi ketepian, dimana tertambat sampan milik mereka. Minah mendayung
keseberang mendekati tepian saudara tua ayahnya. Setelah sampai dan menambatkan
sampannya, Aminah menujuh rumah Uwanya. “Mau apa kau Aminah?.” Tanya Uwanya
dengan nada tidak suka atas kedatangan Minah. “Ingin sekali Minah makan nasi,
bagaimana rasanya. Minah mau pinjam beras Uwa satu Tim.” Jawab Minah.
“Ah,
bagaimana kau akan membayarnya. Tidak ada harta sedikit pun yang kau miliki.”
Jawab Uwa Minah. “Siapa tahu Uwa, mungkin ada rezeki suatu saat nanti.” Jawab
Minah. “Ahh, tidak bisa meminjam. Lalu dia melanjutkan kata-katanya. “Tapi,
apakah kau sanggup mencari kutuku sampai habis. Sampai tidak ada satu
ekorpun yang tertinggal. Setelah itu,
kau aku beri padi satu Tim kepadamu.” Minah menjawab. “Itu pun jadilah, Wak.”
Keesokan
paginya Aminah mulai mencari kutu Uwanya. Dari pagi sampai siang tak berhenti.
Bukan hanya kutu, telur kutu pun dia ambil semua. Sampai tidak ada satupun kutu
dan telur kutu lagi di rambut sang Uwa. “Sudah Wak, tidak ada lagi.” Kata
Minah. “Ya sudah, kalau katamu sudah. Bawalah padi satu tim ini pulang.” Jawab
Uwa Minah.
Aminah
pulang dengan gembira sekali. Terbayang dia akan merasakan apa rasanya nasi.
Mendayung sampannya, dan tibalah dia di tepian mandi mereka, sampan
ditambatkan. Agar mudah menumbuk padi di lesung menjadi beras, maka padi
dijemur terlebih dahulu. Digelarlah wadah penjemur padi, teran. Di
tengah sungai tampak Uwa Minah mendayung sampan menuju tepian Minah.
Sesampainya,
Uwa menghampiri Minah. “Minah, kau berbohong padaku. Ternyata masih ada satu
ekor kutu di rambutku. Kau tahu, apa artinya ini.” Kata Uwa Minah dengan penuh
amarah. “Berikan lagi padiku.” Tanpa banyak bicara, Uwa Minah menggulung teran
wadah penjemur padi, beserta padi didalamnya. Lalu dia membawa pulang lagi padi
yang sudah dia berikan pada keponakannya, Minah.
Minah
hanya terdiam dan melihat saja. Ibu Minah hanya menyaksikan dari pintu gubuk
mereka. Minah begitu sedih dan
mengadulah dia pada ibunya. “Umak, tidak ada rezeki kita pada padi itu.” Ibu
Aminah membelai rambut anak gadisnya yang beranjak remaja. “Begitulah nasib
orang miskin. Nasib rakyat jelata dan orang lemah.” Kata ibu Minah.
Keesokan
harinya, kembali Minah memetik pakis seperti biasa. Sambil memetik pakis dia
bernyanyi-nyanyi seperti biasa. Tanpa sengaja, Minah bertemu kembali dengan
ular lidi yang sering mengganggunya. Kembali ular lidi itu berkata. “Kak Minah,
Kak Minah, belakangmu penyet.” Minah menjawab dengan biasa. Dia tidak
tersinggung atas ejekan ular lidi itu. “Biarlah, saya orang miskin.”
“Kalau
miskin, Kak Minah ambillah aku.” Kata ular lidi itu, meminta dirinya diambil
oleh Minah. Beberapa hari telah berlalu, setiap hari ular lidi meminta dirinya
diambil oleh Minah. Tapi tidak diperdulikan oleh Minah. Sepulang dari memetik
daun pakis di hutan. Minah duduk di dalam gubuknya bersama ibunya seraya
berbincang-bincang. Minah melepas takuluknya yang lapuk tetapi menutupi
rambutnya dengan baik.
Minah
menggaruk-garuk kepalanya, dan dia menemukan sebuah butiran. Saat dia mengambil
dan melihat ternyata sebutir buah padi. Entah bagaimana sebutir padi dapat
menempel di rambutnya. Minah ingat waktu menjemur dia pernah menggaruk-garuk
kepalanya beberapa kali. Mungkin saja butir padi menempel di tangannya yang
berkeringat. Lalu saat dia menggaruk kepala, butir itu menyangkut di rambunya. “Umak,
ini butir buah padi, sebutir menempel di rambutku. Kita apakan butir padi ini.
Apa kita kembalikan pada Uwa saja.” Ujar si Minah.
“Ah,
tidak usah. Masak sebutir saja dijadikan perhitungan oleh Uwa-Mu. Lagian untuk
apa sebutir padi, berpiring-piring nasi saja sering dibuang Uwa-mu. Katanya
kamu mau merasakan apa rasanya nasi. Kau masukkan saja sebutir padi itu kedalam
kuali panas. Nanti kulitnya akan membuka, dan makanlah oleh mu.” Kata ibu
Minah.
Minah
meletakkan kuali di atas tungku api mereka. Setelah agak panas Minah memasukkan
sebutir buah padi itu. Karena Minah ingin sekali merasakan apa rasanya nasi.
Dalam pikiran mereka butir padi itu hanya akan meletus kecil seperti biji buah
jagung. Kemudian meletuslah butir padi itu sebesar buah kelapa, ajaib. Betapa
gembira Aminah dan ibunya. Mereka telah dianugerahi rezeki dari Allah SWT.
Maknlah Minah dan ibunya dengan kenyang dan puas.
Keesokan
harinya, seperti biasa Minah pergi ke hutan disekitar kampung mereka. Dia
mencari daun pakis seperti biasa untuk makan mereka setiap hari. Tanpa diduga,
kembali Minah bertemu ular lidi yang selalu mengganggunya, mengejeknya
punggungnya penyet karena kurang makan. Kembali ular lidi itu meminta
agar dirinya juga diambil dan dibawa pulang oleh Minah. Karena dimintai setiap
hari, Minah menjadi kesal dan marah pada ular lidi itu. Minah kemudian
memasukkan ular lidi itu kedalam bakul wadah daun pakis hutan yang dibawanya.
Sesampai
di rumah, seraya merebus daun pakis untuk makan mereka. Minah menceritakan
tentang ular lidi yang dia bawa itu. Ibu Minah tidak ambil pusing dan biasa
saja. Sebab ular lidi tidak berbisa dan tidak menakutkan. Ukuran ular lidi
beberapa kali lebih besar dari cicak. Ular lidi tampak diam, kadang berjalan di
dinding gubuk atau di lantai tanah gubuk mereka.
Malan
pun tiba, suasana gelap gulita di gubuk Minah dan Ibunya. Keduanya tidak
memiliki lampu penerangan sebagaimana Uwa Minah di seberang, atau warga kampung
yang lain. Maka, memasuki malam Minah dan Ibunya berbaring diatas tempat tidur
yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Mereka tertidur dengan nyenyak sekali.
Tanpa
diketahui oleh Minah dan Ibunya. Ular lidi yang dibawa Minah pulang tampak
menjulur-julur dan menggeliat-geliat. Lalu muncul asap membumbung dan memenuhi
ruangan gubuk Minah. Kemudian, ular lidi berubah menjadi sosok seorang pemuda
yang tampan dan berpakaian tenun songket yang indah. Dia seperti seorang
pangeran Melayu yang gagah.
Keesokan harinya, terkejutlah Minah dan Ibunya. Si pemuda menceritakan kalau dia adalah ular lidi yang dibawa Minah kemarin siang. Dia adalah salah satu pangeran Sultan di tanah Melayu. Pangeran itu, kemudian melamar dan menikahi Minah. Minah menjadi menantu Sultan, merekapun hidup berkecukupan. Minah pun perlahan berubah, dia menjadi wanita cantik dan bersih. Hiduplah Minah dengan penuh kebahagiaan, bersama ibu, suami dan anak-anaknya.
Oleh.
Tim Apero Fublic.
Editor.
Desti, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
18 November 2020.
Sumber:
Baktiar, lahir di Stabat tahun 1924, seorang Pegawai Negeri Sipil, berbahasa
Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy.
Apero Fublic.
Post a Comment