HIKAYAT SI PANDIR VERSI LANGKAT
Cerita
si Pandir berkembang dengan sendirinya di tengah masyarakat. Kemungkinan, hikayat
si Pandir terinspirasi dari cerita Abu Nawas dari Baghdad. Pandir bermakna
bodoh, dungu, atau tolol. Tapi orang pandir lebih bodoh lagi dari orang bodoh.
Orang bodoh masih dapat diajarkan. Tapi orang pandir sangat sulit diajarkan.
Di
sebuah perkampungan orang Melayu, tinggallah satu keluarga. Sepasang suami
istri tersebut memiliki seorang anak, bernama Pandir. Oleh karena itu, ayah si
Pandir di panggil Pak Pandir yang bermakna ayah Pandir. Sedangkan ibu si Pandir
dipanggil Mak Pandir. Mereka tinggal di gubuk kecil sederhana. Pak Pandir
sangat malas bekerja. Pekerjaannya hanya tidur saja, dan bangun makan. Setelah
makan dia tidur, bangun tidur dia makan.
Walau
seorang petani Pak Pandir tidak memiliki lahan bertani yang luas. Tanamannya
tidak teratur dan seadanya. Selain itu, pak Pandir juga hanya mengikuti tanaman
apa yang orang tanam. Orang menanam padi, dia menanam padi, orang menanam
sayuran dia juga menanam sayuran. Namun yang berbeda adalah kerapian dan
keteraturan tanaman berbeda.
Setiap
pagi istrinya menyiapkan makan pagi, sedikit nasi, sedikit sayur, dan sambal
asam durian atau tempoyak. Masakan sang istri terasa begitu enak di lidah Pak
Pandir. Pak Pandir bertanya sambal apa yang istrinya buat seenak itu.”Istriku,
sambal apa yang kau buat enak sekali.” Tanya Pak Pandir. Mak Pandir bermaksud
bercanda dengan sumainya.
“Itu
sambal saya kasih kotoran anak kita.” Karena warna asam durian atau tempoyak
memang kuning. Pak Pandir percaya apa yang istrinya katakan. Setelah makan dan
merokok Pak Pandir pergi ke ladangnya. Namun semua pekerjaan Pak Pandir di
ladang tidak pernah selesai. Sebab Pak Pandir apabila datang ke ladang lebih
banyak tidur dari bekerja.
“Bergantianlah
kita ke ladang, aku tengok pekerjaanmu tidak pernah selesai. Sedangkan ladang
kita tidak seluas ladang orang-orang. Sekarang biarlah aku yang pergi ke
ladang. Jaga Pandir dan jangan lupa mandikan dia. Jangan lupa lepaskan
ayam-ayam kita, dan sore masukkan kandang kembali. Tidak sabar aku melihat
pekerjaanmu yang tidak selesai-selesai.” Kata istrinya, Mak Pandir. Hari itu,
mereka bergantian tugasnya. Pak Pandir di rumah mengerjakan pekerjaan istrinya,
seperti memasak, mencuci dan mengurus rumah dan mengurus anak mereka si Pandir.
“Baiklah.” Jawab Pak Pandir.
Mak
Pandir berangkatlah ke ladang mereka. Setelah tengah hari Mak Pandir pulang,
sebab lupa membawa bekal makan siang. Setiba di rumah mereka, istri Pak Pandir
melihat makanan sudah tersedia, sayuran, nasi dan sambal petai. Sambal petai di
campur dengan asam durian atau tempoyak. Saat istri Pak Pandir mencicipi sambal
petai yang dicampur tempoyak atau asam durian. Rasanya aneh dan berbeda dari
apa yang dia masak selama ini.
“Pak
Pandir, mengapa sambal ini rasanya aneh dan pahit.” Tanya Mak Pandir.
“Kemarin
saat aku bertanya, kau bilang sambal yang enak itu kau buat dari kotoran anak
kita. Kemudian aku pencet perut anak kita sampai keluar kotorannya.” Jawab Pak
Pandir dengan tenang. Bukan main marahnya Mak Pandir, dia berkata demikian
hanyalah bercanda, mana ada masakan diberi kotoran manusia. Kemudian dia
berlari ke kamar melihat anak mereka. Dilihat anak mereka si Pandir sudah tidak
bernyawa lagi.
Betapa
sedih hatinya mendapati anaknya sudah meninggal. “Karena anak kita sudah
meninggal, maka panggilah lebai, untuk mengurus jenazah anak kita. Cirinya
orang yang sering bersorban putih.” Kata Mak Pandir. Pak Pandir pergi mencari
lebai. Ternyata Pak Pandir tidak tahu kalau Lebai itu tokoh agama.
Kemudian
Pak Pandir pergi mencari lebai yang dikatakan istrinya. Dia pergi
tergesah-gesah untuk menemukan lebai yang bersorban putih. Pak Pandir menjumpai
pohon lempuyang yang diatasnya terdapat banyak burung berkepala putih, bernama
Burung Banda Putih. Dengan usaha yang keras Pak Pandir dapat menangkap satu
ekor burung.
Setiba
di depan rumah, dia mengucap salam. “Assalamualaikum.” Istrinya menjawab dari
dalam dan membuka pintu. Pak Pandir meminta istrinyu menutup jendela dan pintu.
Dia berkata kalau lebai yang dia bawa liar dan dapat terbang. Setelah dilihat
Mak Pandir, ternyata lebai yang Pak Pandir maksud adalah Burung Banda Putih.
Betapa mendidih darah Mak Pandir, dan dia marah besar. Tidak seberapa lama
kemudian lebai atau penghulu datang melayat dan mengurus jenazah anak mereka.
“Betul-betul
kau ini, Pandir. Ahhhh...Sudahlah!!!. Hari sudah sore, segerahlah cari makanan
rumput.” Kata istri Pak Pandir dengan amarah tinggi. Maksud istrinya adalah
pakan, makanan kambing yaitu rumput. Pak Pandir dengan tergesah-gesah pergi
takut istrinya sudah marah besar. Pak Pandir juga kesal sebab semua yang dia
kerjakan salah. Padahal dia sudah menurut apa yang istrinya katakan.
Pak
Pandir berjalan cepat, dia berpikir manan rumput. Beberapa saat kemudian dia
berjumpa dengan sebuah ladang. Dia melihat bagaimana terampilnya orang itu
menggunakan alatnya membabat rumput. Dalam pikiran Pak Pandir yang ditangan
orang itulah makanan rumput. Sebab habis sudah rumput-rumput itu dibabat. Pak
Pandir menghampiri orang itu.
“Bang
ulung-Bang Ulung, bolehkan aku meminta alat di tanganmu itu.” Ujar Pandir
dengan memelas.
“Lahh,
sabit ini untuk pekerjaan saya membersihkan ladang. Bagaimana kalau kau beli
saja pada tukang empu.” Jawab orang itu.
“Tolonglah
kasihani aku, anakkku meninggal dan aku diminta instriku mencari apa yang
ditanganmu, paman.” Kata Pak Pandir. Bang Ulung merasa kasihan dan dia
memberikan sabit ditangannya. Dia pulang dan akan membeli lagi alat
pertaniannya di pasar. Sesampai dirumah Pak Pandir memberikan sabit pada
istrinya. Pak Pandir membawa sabit dengan mengikat dan menyeret. Sehingga
sepanjang jalan terdengar suara klentang klentong sabit berbenturan dengan
benda-benda di jalanan.
Pak
Pandir sampai di rumah, dia mengucap salam dan istrinya membuka pintu. Pak
Pandir memberikan sabit pada istrinya. Dia menjelaskan kalau sudah mendapatkan
makanan rumput. Alat itu, menurut si pandir sangat pandai makan rumput. Dia
melihatnya sendiri tadi diladang Bang
Ulung. “ Ya, Allah. Maksud aku, rumput untuk makanan kambing. Apa lagi yang
makanannya rumput kalau bukan kambing kita.” Kata istrinya, sambil menangis
kesal.
Mendengar
meninggalnya anak Pak Pandir, lebai datang dengan segerah kerumah Pak Pandir.
Lebai dibantu warga mengurus jenazah anak Pak Pandir. Setelah di solatkan dan
dikafani, jenaza sudah siap dikuburkan. Pak Pandir diminta untuk mencari upih
pelepa pinang. Upih pinang untuk membungkus jenaza anaknya, karena masih kecil
tidak perlu menggunakan tikar.
Pak
Pandir pikir upih untuk menarik jenaza anaknya sebagaimana anak-anak bermain.
Anaknya juga masih kecil, pantas kalau ditarik dengan upih pinang. Setelah
mendapat upih pinang Pak Pandir langsung saja meletakkan jenaza anaknya di
dalam upih pinang. Lalu dia tarik menuju lobang kubur yang sudah digali warga.
Pak Pandir juga yakin pekerjaannya sudah benar dan istrinya akan senang.
Saat
sampai di lobang kuburnya yang sudah digali. Ternyata jenaza anaknya terjatuh
di jalan. Tapi Pak Pandir kemudian menguburkan upih pinang saja. Lalu dia
pulang dan melapor pada istrinya kalau sudah menguburkan jenaza anaknya. Dia
menceritakan saat pulang dia menemukan ada orang membuang jenaza ankanya. Istri
Pak Pandir curiga dan dia mencarinya. Ternyata itu, adalah jenazah anak mereka.
Lalu dia membawa ke kuburan dan warga datang kembali untuk membantu menguburkan anak mereka. Semua warga menggeleng-geleng mengetahui kebodohan Pak Pandir dan ditambah berpikir pendek. Padahal jenaza anak mereka siap ditandu warga setelah mendapatkan upih, tapi pak pandir membawa sendiri dengan upih pinang. Capek dehhhhh. Itulah kata warga di Kampung Pak Pandir.
Rewrite.
Tim Apero Fublic
Editor.
Desti, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
19 November 2020.
Sumber:
T. Rahman, lahir di Binjai tahun 1920, berbahasa Melayu dan beragama Islam.
Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1987.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment