Ringkasan Cerita: Babad Jawi Kartasura (Jilid Empat). Penipuan Belanda.
Serta dibebaskan menghadap secara
tetap ke Kartasura. Membaca itu, Panembahan Purbaya bersedia berdamai dengan
syarat, diampuni Natapura, Herucakra, dan Cakranegara beserta seluruh
prajuritnya. Tohjaya bersama Surapati kemudian menemui Komisaris VOC di Gombong.
Sementara itu, Kompeni marah sekali
mengetahui bahwa prajurit Citrasoma lari sebelum tugas mereka selesai. Dengan
demikian Citrasoma harus membayar ganti rugi senilai seribu real pada Kompeni.
Kompeni setuju dengan syarat yang diajukan oleh Panembahan Purbaya untuk damai.
Surat balasan langsung dibawa oleh Tohjaya.
Selain itu, Panembahan Purbaya yang
sedang sakit dibawa dengan tandu. Komisaris Dulkup menerima Panembahan Purbaya
di Gombong. Perjalanan berikutnya menuju Kartasura melalui Semarang. Dengan
demikian, rencana Belanda untuk menipu Panembahan Purbaya dan pengikutnya
berjalan lancar.
Saat menerima Panembahan Purbaya,
Panembahan Herucakra, Natapura dan Surapati di Semarang diterima dengan upacara
kebesaran. Tetapi Pangeran Adipati Anom Mangkunegara diminta untuk pergi ke
Kartasura lebih dahulu oleh Sunan (Panembahan Purbaya). Dengan alasan untuk
lebih leluasa membuat perjanjian.
Setelah itu, Panembahan Purbaya dibawa
ke Batavia melalui jalur laut. Panembahan Herucakra langsung dilayarkan
(dubuang) oleh Belanda ke Afrika. Beliau dituduh telah menghasut para pangeran.
Sedangkan Natapura, Jaka Tangkepan, Surapati, dan Suradilaga dibuang ke
Serandil. Semua tidak dapat berbuat apa-apa. Karena sebelumnya mereka dilucuti
persenjataannya.
Beberapa waktu kemudian, Pangeran Adipati
Anom Mangkunegara diangkat sebagai Pangeran Harya Mangkunegara dan diberi hak
menguasai wilayah seluas sepuluh ribu karya. Sedangkan Panembahan Purbaya
beserta keluarganya setiba di Batavia (Jakarta) langsung dimasukkan kedalam
penjara oleh Kompeni Belanda. Begitu juga dengan Raden Jimat yang menyusul sang
ayah ke Kartasura ditangkap dan dipenjara. Di dalam penjara dia bunuh diri, dan
dikubur di Sampang.
******
Tersebutlah seorang adik Surapati,
bernama Surahim. Dia tidak ikut Surapati karena terluka saat terjadi perang,
tinggal di Desa Dungkul. Dia telah sembuh dan mendengar kelicikan Kompeni
Belanda. Sehingga kakaknya Surapati dan sahabatnya tertangkap dan dibuang ke
Cylon. Surahim sangat marah, lalu melampiaskan kemarahan pada rakyat Pasuruan.
Tidak seorang pun di Pasuruan dapat menghentikannya.
Sunan kemudian mengirim pasukan untuk menangkapnya. Desa Dhukul diserang dan
dibakar oleh pasukan Sunan. Surahim menyingkir ke hutan dan lolos. Surahim
kemudian menyerang Kediri karena pasukan Kartasura tidak ada. Karena Sunan
sedang ziarah ke Mataram (Yogyakarta). Tugas pengamanan Kediri diserahkan pada
pasukan Sutayuda. Sutayuda dapat mendesak pasukan Surahim. Surahim beserta
pasukannya mundur ke Malang.
Tohjaya diperintahkan oleh Sunan untuk
memberikan bantuan pada Sutajaya. Kemudian diperkuat pasukan dari Surabaya,
Gresik dan Sedayu. Pasukan Surahim terdesak kembali dan kembali mundur ke dalam
hutan. Semua kesatuan pasukan kembali pulang tanpa hasil seperti semulah.
Sementara itu, temenggung di Pati meninggal dunia dan timbul kekacauan,
dipimpinan Suramenggala. Bahkan Suramenggala berhasil menyerang Kartasura pada
malam hari.
Suramenggala dan pasukannya berada di
alun-alun dan ingin berhadapan langsung dengan pasukan Pati Danureja.
Suramenggala ingin diangkat menjadi raja di Kartasura. Pati Danureja
menyanggupinya untuk mengangkat Suramenggala menjadi raja.
Dia hanya diminta sabar menunggu
sampai pagi hari. Suramenggala terlena
dan lengah sehingga dapat ditangkap oleh pasukan pengawal. Keesokannya
Suramenggala dan tujuh orang pengikutnya dihukum mati. Sedangkan rakyat yang
hanya ikut-ikutan dipulangkan ke Gunung Kidul.
******
Sunan memiliki dua puluh delapan anak,
dua puluh laki-laki dan yang beranjak dewasa dua orang dilahirkan dari istri
(selir). Yaitu, Harya Mangkunegara dan Sanidya Sigit. Anak yang dilahirkan dari
selir Dyah Kencana Wungu dua orang, yaitu Raden Mas Prabayasa dan seorang putri
yang sangat cantik. Dari selir Kadipaten lahir empat orang putra.
Sunan Prabu kemudian menderita sakit.
Telah banyak obat tidak mampu menyembuhkan penyakit. Sebelum wafat Sunan
meninggalkan wasiat agar sepeninggal beliau, agar putranya yang bernama, Raden
Prabayasa dinobatkan menjadi Sultan di Kartasura. Setelah wafat beliau
dimakamkan di Gunung Merak Pajimatan, Imogiri.
Dalam pada itu putra Sunan yang
bernama Pangeran Harya Mangkunegara telah menyiapkan diri untuk menggantikan
ayahandanya. Pati menyarankan pada Pangeran untuk pergi keluar istana terlebih
dahulu. Oleh karena Patih ingin berunding dengan pihak Kompeni Belanda.
Perundingan pun diadakan dan diperoleh
kesepakatan untuk mengangkat Pangeran Dipati Anom Mangkunegara menjadi Sultan.
Bergelar Sunan Mangkubuwono ke II dan bertahta di Kartasura. Saat pengangkatan
sama dengan tahunnya dengan wafatnya ayahandanya di Batavia.
Kemudian Pati Danureja mencarikan
calon permaisuri baru. Pilihan jatuh kepada Raden Ayu Supiyah, putri bungsu
Panembahan Purbaya. Setelah diangkat menjadi permaisuri Sunan, Raden Ajeng
Supiyah diberi gelar Ratu Kencana. Upacara perkawinan antara keluarga
dilaksanakan dengan upacara Jawa yang meriah.
Kemudian Pati Danureja berulang-ulang
meminta berita tentang Panembahan Purbaya kepada kompeni di Batavia. Karena
dulu beliau dipenjara oleh Belanda. Diperoleh kabar bahwa Panembahan telah
meninggal di dalam penjara. Sunan yang baru sekarang menjadi menantu Panembahan
Purbaya.
Meminta agar jenazah dikembalikan ke
Kartasura. Ki Saksana mendapat tugas untuk membawa jenazah beliau. Selain itu,
Ki Saksana juga mendapat tugas memungut pajak dari Kompeni di Semarang sambil
membawa jenazah Panembahan Purbaya ke Kartasura.
Panembahan Purbaya memiliki banyak putra
dan putri dari garwa selir. Dua orang dari garwa Padmi. Tiba-tiba garwa Padmi
meninggal dunia. Maka pangeran ingin mengawini janda almarhum Sunan MangkubuWono
I. Meskipun Pangeran itu kakak Sunan Mangkubuwono II tetapi marahnya tidak
dapat dipadamkan.
Mengingat janda tersebut bekas istri
almarhum Sunan. Hal itu diketahui oleh Pati Danureja. Dia mencari jalan
keluarnya, yaitu dengan cara membunuh wanita yang diinginkan Pangeran Harya.
Pangeran Harya tidak luput dari hukuman, dia kemudian dibuang ke Semarang lalu
ke Batavia.
Sebagai duta Sunan yang baru, Pati
Danureja disambut dengan upacara kebesaran. Selama beberapa bulan berada di
Batavia mempertanggung jawabkan semua yang dia kerjakan sebagai Pati di
Kartasura. Dalan setahun dia ditanyai oleh dua orang Gubernur. Yaitu, Matiyusdahan
kemudian diteruskan oleh Jendral Pakenir karena yang pertama mati.
Ketika masa pengusiran Pangeran Harya
ke Batavia. Kompeni Belanda meminta biaya pada Sunan untuk biayah Pangeran
Harya dan keluarganya senilai dua ratus real setahun. Selama Pangeran Harya
tinggal di Batavia.
Pati Danureja kembali ke Kartasura. Setahun
kemudian Sunan memperoleh seorang putra dan Ratu Kencana. Tapi putra beliau
meninggal diusia anak-anak. Akibatnya hubungan Sunan dan Ratu Kencana menjadi
retak. Dalam pada itu, Pati Danureja melampaui kewenangannya yang diberikan
Sunan. Dia memecat seorang pegawai tinggi tanpa sepengetahuan Sunan. Akibatnya
dia dihukum berat, dan dibuang ke Cylon.
Sunan Mangkubuwono II meminta kepada
Kompeni agar memulangkan putra almarhum, yaitu Mangkurat Mas yang juga dibuang
ke Cylon. Dengan harapan akan memperoleh kembali benda-benda warisan istana
Kartasura yang dibawa oleh Mangkurat Mas. Benda pusaka tersebut terdiri; baju
kebesaran, pedang, keris, dan gung kecil. Lalu dikirimlah tiga orang utusan ke
Cylon.
Tiga orang putra almarhum Mangkurat
Mas berhasil dibawa ke Jawa. Yaitu, Pangeran Mangkunegara, Pakuningrat, dan
Jayakesuma. Semuanya dibawa beserta keluarga mereka dan dijemput di Semarang.
Sunan merasa senang, karena semua benda yang diharapkan kembali. Pangeran
Mangkunegara kemudian diganti namanya menjadi Pangeran Riyamenggala. Untuk
keperluan hidup dia memperoleh tanah dari sunan seluas dua ratus karya.
Pangeran Pakuningrat diganti namanya
menjadi Pangeran Tepasam. Juga mendapat tanah seluas dua ratus karya. Raden
Jayakusuma diperkenankan menggunakan namanya semula dan mendapat tanah dari
Sunan seluas tigaratus karya. Pati Danureja yang dibuang ke Cylon meninggalkan
seorang putra, bernama Mas Gandewor.
Putra angkat Sunan Raden Mas Hurman
meninggalkan tiga orang anak yang hidup menderita bersama rakyat biasa, bernama
Raden Mas Sahid, Sambiyah, dan Sabar Semendhi. Sedangkan Pangeran Ngabehi putra
Sultan Mangkubuwono I meninggalkan dua orang putra, bernama Raden Gunung dan
Raden Mas Guntur yang dibesarkan oleh Pati Natakesuma.
*****
Demikianlah cerita singkat dari Babad Tanah Jawi jilid empat ini. Apabila Anda ingin mendalami lebih jauh lagi. Dapat membaca dan mempelajari pada buku alihaksara yang berjudu; Babad Jawi Kartasura 4 yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Oleh. Tim Apero Fublic.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 3 November 2020.
Sumber: Ny. Sri Soeharini. Babad
Jawi Kartasura 4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy. Apero Fublic.
Post a Comment