Membohongi Malaikat: Pembual Yang Sok Pintar.
APERO FUBLIC.- Pada zaman dahulu, ada sebuah cerita tentang seorang Melayu yang meninggal. Sewaktu masih hidup, dia adalah orang yang suka membual. Maka orang-orang menjulukinya si Tukang Bual. Tidak pernah shalat dan tidak suka belajar ilmu agama. Ketika sudah meninggal, di alam kubur dia merasa kalau malaikat dapat juga dibualinya.
Setelah
tujuh langkah orang meninggalkan kuburan si Tukang Bual. Maka datanglah dua
orang malaikat, menanyai ruh Tukang Bual. Si Tukang Bual mulai berpikir
bagaimana membual dengan harapan malaikat tidak marah dan dia diperlakukan
dengan baik.
“Hai
manusia, Siapa Tuhanmu?.” Tanya Malaikat.
“Ah,
jangan begitu Abang Malaikat. Kau tahukan kalau aku ini tidak perna ikut
pengajian dan tidak belajar dengan ulama.” Jawab ruh Tukang Bual. Malaikat
penanya merasa kesal dan geram sekali dengan bualan itu. “Man Rabbuka?.
“Nah,
bahasa Arab. Tuhanku, Allah Subhana Wataalah.” Bukan main panasnya malaikat,
seolah-olah pintar bahasa Arab. Kemudian malaikat bertanya lagi dengan bahasa
Melayu. Tapi si Tukang Bual pura-pura tidak mengerti. Malaikat mengalah dan dia
rubah setiap pertanyaan dengan bahasa Arab.
Si
Tukang Bual memang pernah mendengar cerita-cerita orang sehingga dia tahu
tentang pertanyaan malaikat berbahasa Arab. “Ma dinuka?. “Agama saya
Islam abang Malaikat. “Man Nabiyyuka?.” Tanya malaikat lagi.
“Ini
nabi umat Islam Abang Malaikat.” Tanya balik pembual. Malaikat yang menjalankan
tugas dan bersungguh-sungguh mulai mendidih darahnya. “Jawab saja.” Bentaknya.
“Adam,
Idris, Nuh, Hud, Soleh, ...” Belum habis nyanyian nama-nama nabi yang imani
umat Islam, langsung saja bentakan keras lagi. “Nabi agama kamu?.” Ujar
malaikat dengan mata melotot.” Ya, tidak ngomong dari tadi. Nabi Muhammad,
lahhh.” Jawab si Pembual.
“Ma
Kitabuka?.” Lanjut Malaikat. “Kitab yang mana Abang Malaikat?.” Tanya balik
ruh Tukang Bual. “Jawab, apa kitab agamamu?.” Tegas malaikat.
“Zabur,
Injil, suhub,....” Jawab si Tukang Bual dengan tenang. Malaikat penanya kembali
membentak, dan cambuknya mulai memukul lantai kubur si Tukang Bual. “Itu kitab
yang dipercaya umat Muhammad pernah diturunkan pada umat sebelum umat
Muhammad.” Kata malaikat dengan marah besar, karena si Pembual menjawab
bermain-main. “Kitab yang digunakan mengaji sewaktu kecil?. Tanya balik si
Pembual. Malaikat penanya hanya melotot saja. “Kalau yang itu, kitab suci
Al-Quran.”
“Aina
qiblatuka?. Malaikat menanyakan arah kiblat. Kali ini, ruh si Pembual kaget
bukan main. Sebab dia tidak pernah salat dalam hidupnya. Dia hanya tahu orang
solat di dalam masjid dan menghadap arah yang sama setiap kali shalat. Pernah
sekali waktu dia ikut shalat hari raya dalam hidupnya. Sehingga dia
menerka-nerka bagaimana kira-kira arah kiblat itu.
“Kiblat
itu, kalau tidak salah, dari rumah hendak menghadap ke sana.” Jawab ruh si
Pembual mencoba menjelaskan arah kiblat. Tangannya menunjuk ke kiri dan kanan.
Mendengar jawaban yang tidak karuan itu, malaikat penanya menggeleng-geleng.
“Aina
qiblatuka?. Dimana arah kiblatmu?.” Dua malaikat bertanya dalam bahasa Arab dan
Bahasa Melayu. Ruh si Pembual mulai gemetar ketakutan. Kali ini dia benar-benar
tidak tahu arah kiblat. Begitulah orang yang tidak pernah shalat. Lalu dia
menjawab lagi. “Kalau dari rumah Uncu dahulu, balik ke kiri sedikit.” Jawab si
pembual menjelaskan arah kiblat.
Dua
malaikat sudah tidak dapat menahan kemarahannya. Amarah sudah memuncak atas
jawaban si pembual. Malaikat mengira kalau si Pembual masih bermain-main
seperti tadi. Sehingga malaikat tidak mau pengertian kalau maksud jawaban si
pembual adalah arah kiblat.
Dengan penuh amarah, kedua malaikat penanya di dalam kubur menghukum si pembual. Cambuk bertubi-tubi tanpa henti menyasar dirinya. Membuat si pembual meraung-raung kesakitan bukan main. Begitulah, akhir kisah si Pembual yang ingin membohongi malaikat tapi justru dirinya yang menjadi sasaran cambuk.
Rewrite.
Tim Apero Fublic.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
2 November 2020.
Sumber:
Informan Ahmad Dahlan Khatib, lahir di Stabat tahun 1929. Laki-laki beragama
Islam, Berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy.
Apero Fublic
Post a Comment