Tokoh Bangsa: Haji Agus Salim
Apero
Fublic.-
Haji Agus Salim lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukittinggi,
Sumatera Barat. Dia anak ke empat dari Sutan Moehamad Salim, seorang jaksa di
Pengadilan Negeri pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Sewaktu ayah beliau
bertugas di Riau sebagai Jaksa Kepala.
Agus
Salim dengan panggilan Agus sudah saat masuk sekolah. Karena ayahnya seorang
pejabat kejaksaan, dia mendapat kesempatan untuk masuk sekolah untuk anak-anak
orang Belanda, Europese Lagere School (ELS). Bakat kecerdasan Haji Agus
Salim sudah terlihat, itu diungkapkan oleh Kepala Sekolah tempat dia sekolah.
Setelah
tamat ELS, Haji Agus Salim meneruskan sekolah menengah pertama, Hogere
Burger School (HBS) di Jkarta, dan lulus tahun 1898. Setelah selesai
sekolah HBS dia bekerja di lingkungan Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai
Konsulat Belanda di Jedah. Dari tahun 1906 sampai tahun 1911. Dari sinilah
beliau belajar Bahasa Arab dan mendalami ilmu pengetahuan agama Islam dengan
membaca buku-buku yang terdapat di Konsulat.
Pada
tahun 1912 dia pulang ke tanah kelahirannya, dan mempersunting gadis satu
kampung dengannya. Bernama Zainatun Nahar binti Engku Almatsir. Satu tahun
kemudian (1913) dikaruniahi anak yang diberi nama, Dolly. Dari pernikahannya
mendapatkan delapan orang anak, Dolly, Totok, Jojet, Adik, Syauket, Islam, Bibsy
dan Ciddiq. Anak-beliau beliau memanggilnya Pakcik dan istrinya Makcik.
Bibsy
pernah tinggal di Kobe-Jepang bersama suaminya Sunharyo sebagai Konsul Republik
Indonesia di Kobe. Dalam waktu cepat Bibsy dapat menguasai bahasa Jepang, pasih
sebagaimana wanita Jepang lainnya. Sementara, anak beliau bernama Syauket
dikemudian hari gugur sebagai kesuma bangsa saat bersama kawan-kawannya
melakukan penyerbuan ke markas Jepang, Oktober 1945.
Haji
Agus Salim merupakan seorang ayah yang berhasil dalam mendidik anak-anaknya.
Tujuh dari anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan formal. Namun berkah
pendidikan beliau, anak-anak mampu menguasai ilmu pengetahuan umum dan agama
dengan baik. Anak beliau sejak lahir sudah mulai dia ajarkan, sehingga diumur
empat tahun sudah dapat berbahasa Belanda.
Ketika
Belanda sudah meninggalkan Indonesia dan masa pendudukan Jepang. Beliau menilai
sekolah-sekolah tidak lagi dalam pengaruh penjajah Belanda yang bersifat
kolonialis. Dengan demikian anaknya bernama Ciddiq barulah beliau memasukkan ke
sekolah formal, Sekolah Rakyat (SR).
Pendidikan
yang ditanamkan pada anak-anak beliau adalah membaca. Sebab membaca akan dapat
membuat orang berpikir logis karena banyaknya ilmu pengetahuan. Seperti Dolly
waktu umur 15 tahun dan Totok umur 13 tahun. Mereka sudah membaca apa yang
menjadi bacaan anak-anak sekolah AMS, seperti buku Mahabarata berbahasa
Belanda. Mengenal dan hafal berbagai puisi dalam beberapa bahasa. Masa itu,
mereka memilki buku bacaan Kun Je nog zingen dan lainnya.
Sementara
anak ketiga beliau yang bernama, Jojet. Jojet menikah dengan suaminya bernama,
Johan Sjahruzah yang pernah menjadi Sekjen Partai Sosialis Indonesi. Kemudian
dia dikenal dengan panggilan, Nyonya Johan. Dalam pembicaraan dengan
orang-orang sering Nyonya Johan memberi tahu kalau dia tidak pernah sekolah
seperti orang pada umumnya. Karena dia memiliki pengetahuan luas dan menguasai
beberapa bahasa asing.
Haji
Agus Salim dan Intergritasnya
Haji
Agus Salim adalah seorang pemimpin umat Islam dan negarawan pada masanya.
Kehidupan beliau penuh dengan perjuangan untuk rakyat Indonesia. Haji Agus
Salim mengajarkan pada kita bagaimana menjadi sederhana tidak menghalangi diri
kita menjadi orang besar dan dihargai orang. Karena integritas diri sangat
penting dalam menjalani hidup yang bermartabat.
Kehidupan
Haji Agus Salim tidak bergelimang harta. Dia hidup sederhana dan selalu
berpindah-pindah bersama keluarganya. Kemiskinan tidak membuat beliau menjadi
berpikir materialistis. Bahkan semakin berwibawa dan berilmu. Harta paling
berharga dirumahnya mungkin hanyalah buku-buku. Dari sinilah kita dapat melihat
beliau sudah mampu melepas paham neofeodalisme dalam kehidupannya. Dimana
kesuksesan dan keberhasilan, nilai diri dan kelebihan seseorang tidak diwakili
dengan kepemilikan materi dan kedudukan.
Pada
tahun 1923 setelah Agus Salim dan Tjokroaminoto menjadi Anggota Dewan Rakyat
setara Majelis Permusyawaratan Rakyat sekarang. Selama tiga tahun menjadi
anggota Dewan Rakyat mewakili Sarekat Islam mereka mengundurkan diri. Menurut
Haji Agus Salim Dewan Rakyat waktu itu hanyalah Komedi Ngomong. Serta hanya
memperkuat Pemerintahan Kolonial Belanda dan menghambat kemerdekaan Bangsa
Indonesia. Honor yang besar tidak menjadikan kedua tokoh itu lunak dan
menghentikan cita-cita perjuangan mereka.
Pada
tahun 1925 Haji Agus Salim menjadi pimpinan harian Hindia Baru. Milik
sekelompok orang diantara orang Belanda. Mereka mengenal sepak terjang Haji
Agus Salim, dalam politik dan kemampuannya. Waktu menerima tawaran menjadi
pimpinan harian Hindia Baru beliau mengajukan syarat. Yaitu, mengerjakan
pekerjaannya dengan kebebasan. Hasilnya harian Hindia Baru maju pesat.
Hindia
Baru tentu menjadi buah pemikiran dari Haji Agus Salim. Dalam memuat tulisan
dia tidak pandang bulu, menyalahkan atau memuji siapa pun. Tidak terkecuali
menyalahkan kebijakan Kolonial Belanda. Karena itu, membuat para pemilik Hindia
Baru tidak suka pada Agus Salim.
Mereka
meminta kritik-kritik beliau pada Kolonial Belanda disampaikan lebih lunak.
Oleh karena itu, Haji Agus Salim akhirnya mengundurkan diri. Dalam organisasi
Haji Agus Salim aktif dalam Syarekat Islam, perna menjadi penasihat di Jong
Islamieten Bond (JIB). Yang didirikan oleh Samsuridjal tahun 1925, bersifat
Islam nasionalis.
Tahun
1926 keluarga Haji Agus Salim kembali lagi ke Kota Jakarta. Beliau kemudian
berdirilah harian Fajar Asia, dia dan Tjokroaminoto menjadi pemimpin harian
tersebut. Tahun 1930 Haji Agus Salim menghadiri konferensi Buruh Internasional
di Jenewa sebagai nasihat delegasi buruh Nederland (Indonesia). Dalam kesempatan
pidato, pertama dalam Bahasa Inggris dan kedua dalam Bahasa Prancis. Berarti
beliau menguasai bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Prancis.
Haji
Agus Salim dalam karir politiknya pernah menjabat sebagai Menteri Muda Luar
Negeri dalam Kabinet Sjahrir II (1946), dan III (1947). Menjabat Menteri Luar
Negeri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), dan Kabinet Hatta (1948-1949).
Haji Agus Salim semasa Pemerintahan Kolonial Belanda pernah diasingkan ke
Brastagi bersama Seokarno dan Sjahrir.
Setelah Belanda menduduki Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Mereka dipindahkan ke Prapat. Kemudian mereka dipindahkan lagi ke Pulau Bangka berkumpul dengan Bung Hatta dan kawan-kawan. Beliau sangat bersyukur karena dia menjumpai Indonesia merdeka. Dia wafat pada tanggal 4 November 1954. Kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tanggal 27 Desember 1961, melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.
Oleh.
Tim Apero Fublic
Editor.
Desti, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra
Palembang,
26 Maret 2020.
Sy.
Apero Fublic
Post a Comment