Hikayat Si Buyung: Nasihat Buat Para Guru
Tidak
jauh dari rumahnya, ada seorang guru mengaji. Kebiasaan anak-anak di desa
setiap malam setelah magrib belajar mengaji. Setiap malam berpuluh-puluh murid
datang belajar mengaji, termasuk si Buyung yang miskin dan bodoh. Saat masuk
mengaji, si Buyung diantar oleh ibunya. Di halaman rumah si Buyung terdapat
sebatang pohon jambu, yang selalu berbuah. Kalau anak-anak lain selalu membawa berbagai
macam barang untuk diberikan pada guru mengaji. Sedangkan si Buyung hanya
membawa buah jambu saja, selama dia belajar mengaji untuk guru mengajinya.
Bertahun-tahun
Buyung belajar mengaji, tapi tidak ada yang dia mengerti. Dia hanya bisa
membaca basmallah saja. Sedangkan teman-temannya sudah pandai semua mengaji dan
ilmu agama lainnya. Selama itu hanya basmallah yang dia bisa, bertahun-tahun
belajar. Selain basmallah dia juga bisa wudhu dan shalat saja. Karena yang dia
bisa hanya itu-itu saja, membuat guru mengaji juga bosan mengajarkannya.
Bukan
hanya itu, si guru ternyata juga tidak begitu peduli pada si Buyung yang
miskin, bodoh dan hanya memberinya jambu saja. Sehingga si guru bertambah segan
mengajarinya yang sangat bodoh itu. Guru tidak simpati lagi pada si buyung.
Pada suatu malam setelah semua murid selesai, berkatalah si Buyung pada
gurunya.
“Jadi
bagaimana Tengku, tolong ajarkan Aku semua tentang sembahyang ini.” Pinta si
Buyung. Buyung ingin belajar semua tata cara shalat wajib dan sunnah.
“Em,
eh. Begini sajalah Buyung. Kau susa menerima pelajaran. Ini Aku ajarkan saja
doa sajalah terlebih dahulu.” Ujar gurunya. Dalam hati gurunya berkata kalau
tidak ada gunanya mengajarkan si Buyung, sebab dia tidak akan bisa juga, menghabiskan
waktu saja. Selain itu, Buyung juga hanya membawa buah jambu saja setiap hari
untuknya. Buyung mengiakan, dan doa apa yang akan gurunya ajarkan.
“Kau
dengar baik-baik dan kau hapalkan, setelah hapal lalu kau amalkan “Bismillahirrahmanirrahim,
tebang birah iko lesung, si Buyung pande ngaji, ade aye ade ikan, yang mati
diidupkan.” Ujar guru Buyung, dan buyung mengingat serta menghafalnya.
Kalau dalam bahasa indonesia bira tanaman sejenis keladi, iko:ini,
pande=pandai, aye:air, ade:ada, idup:hidup. Hanya itulah yang berhasil Buyung
hafalkan.
*****
Suatu
hari, si Buyung pergi berjalan-jalan disekitar desanya. Di tengah jalan pulang
dia menemukan seekor burung puyuh mati tergelatak. Buyung menghampiri dan
memperhatikan, mengapa kiranya burung puyuh itu mati. Kemudian dia ingat apa
yang di ajarkan gurunya.
Buyung
berpikir mungkin apa yang diajarkan gurunya dapat membantu burung puyuh itu.
Dia bawak pulang bangkai burung puyuh, kemudian dia berwudhu seingatnya yang
dia bisa. Setelah itu dia duduk di dekat bangkai burung puyuh, dan dia
mengucapkan apa yang diajarkan gurunya. “Bismillahirrahmanirrahim, tebang
birah iko lesong, Si Buyung pande mengaji, ada aye ade ikan, yang mati idup
lagi.” Ucap si Buyung.
Beberapa
detik kemudian bangkai burung puyuh itu bergerak-gerak, lalu melompat dan
terbang. Buyung terkejut, dan dia merasa gembira sekali. “Nah, sudah mapan
ilmuku.” Kata Buyung dengan ceria. Buyung semakin yakin dengan keilmuan gurnya.
Semakin rajin buyung membawa buah jambu ke rumah gurunya, sebab itulah yang dia
dapat berikan pasa sang guru. Walau bodoh, Buyung suka bertanya-tanya pada
gurunya. Oleh gurunya si Buyung tidak dianggap serius. Sesuka hatinya saja dia
menjawab.
“Tengku,
bagaimana caranya orang pergi ke Mekkah, naik haji.” Tanya si Buyung dengan
serius, dan banyak lagi yang dia pertanyakan tentang Mekah dan haji pada
gurunya.
“Mengapa
kau bertanya, kau mau naik haji?.” Kata guru Buyung dengan remeh.
“Iya
Tengku, sepertinya Aku mau pergi haji.” Jawab Buyung.
“Oh,
tidak susah-susah kalau kamu mau pergi haji ke Mekkah.” Jawab gurunya, dia tahu
kalau ke Mekkah perlu biaya yang tidak sedikit. Sementara si Buyung makan saja
kurang, dan bodoh minta ampun. Belajar hanya membawa jambu, dan tidak pernah
membawa hal yang lebih seperti murid-murid yang lain.
“Bagaimana
caranya, Tengku?.” Tanya si Buyung dengan serius sekali. Dia yakin dan percaya
apa yang dikatakan dan diajarkan gurunya.
“Kamu
sudah Aku ajari shalat.” Kata Gurunya. Buyung mengiyakan dan berkata kalau dia
belum aktif lima waktu shalatnya, dua atau tiga waktu saja dia laksanakan.
“Ada
pohon kelapa di dekat rumahmu?.” Tanya sang guru. Buyung jawab ada. Lalu gurnya
melanjutkan. “Besok sebelum subuh kamu bangun, kemudian wudhu. Panjat pohon
kelapa dan jangan lupa baca basmallah sebelum memanjat. Sampai di atas pohon
kelapa kau shalat subuh. Setelah shalat subuh, kau berdiri dan pejamkan mata.
Kemudian kau baca doa yang aku ajarkan waktu itu. Setelah selesai membaca doa
itu, kau melompat dari atas pohon kelapa, dan sampailah kau ke Mekkah. Kalau
kau mau pulang, begitu juga caranya. Kau naiklah pohon kurma yang banyak di
Mekah.” Kata sang guru dengan nada mengolok-olok. Dia berkata demikian hanyalah
mempermainkan si Buyung saja, mungkin juga bercanda. Sementara si Buyung sangat
yakin dan percaya apa yang dikatakan gurunya.
Si
Buyung pulang dari rumah gurunya, dia tersenyum dan bergembira. Sesampai di
rumah dia menceritakan pada ibunya, bahwa dia diajarkan oleh gurunya cara pergi
haji ke Mekkah. Ibu Buyung agak kurang yakin apa yang diceritakan si Buyung.
Namun si Buyung tampak begitu yakin dengan apa yang dikatakan si guru. Melihat
keyakinan anaknya, ibu si Buyung mengizinkan anaknya pergi haji ke Mekkah.
“Entahlah
anakku, tapi kalau kau begitu yakin dengan apa yang dikatakan gurumu seperti
itu, kau cobalah?.” Ujar ibu si Buyung dengan ikhlas. Keesokan pagi, sebelum waktu
subuh si Buyung bangun. Dia kemudian berwudhu dan berjalan mendekat pohon
kelapa di samping rumahnya. Sebelum memanjat pohon kelapa dia membaca
basmallah. Sampai di atas pohon kelapa, ayam berkokok dan waktu subuh tiba.
Si
Buyung mengetahui waktu subuh tiba, dia shalat subuh. Setelah shalat subuh dia
berdiri diatas pelepah-pelepah daun pohon kelapa. Kemudian memejamkan matanya
dan mengucapkan doa yang diajarkan gurunya. “Bismillahirrahmanirrahim,
tebang birah iko lesong, Si Buyung pande mengaji, ada aye ade ikan, yang mati
idup lagi.” Kata Buyung. Setelah selesai membaca doa, si Buyung tanpa ragu
sedikit pun kemudian melompat dari atas pohon kelapa.
“Wussss.”
Si Buyung melompat dengan mata terpejam.
Dalam
waktu melompat buyung terpejam. Hanya angin agak deras dan tanpa disadari tubuh
si Buyung melesat bagaikan kedipan mata. Beberapa waktu kemudian si Buyung
membuka mata. Si Buyung terkagum-kagum bukan kepalang, sekarang dirinya sudah
berada di Mekkah. Dari jauh dia melihat Masjidil Haram.
Si
Buyung akhirnya mengikuti haji dengan cukup rukun hajinya di tahun itu. Setelah
selesai ibadah hajinya, si Buyung mau pulang. Tapi sebelum pulang dia mau
membeli oleh-oleh untuk ibunya. Tapi dia tidak punya uang, dan diam berpikir.
Dalam waktu itu, tanpa sengaja dia menyentuh kantong sakunya. Dia merasa ada
sesuatu dan dia mengambilnya.
Ternyata
itu kantong uang dinar emas. Maka banyaklah si Buyung memberi oleh-oleh untuk
dia bawak pulang. Setelah selesai, dia menunggu waktu subuh. Buyung membawa
naik semuanya satu per satu ke atas pohon kurma. Karena di waktu subuh ramai
orang keluar hendak shalat subuh ke masjidil haram. Ada juga yang melihat si
Buyung diatas pohon kurma. Mereka merasa aneh dan heran mengapa ada orang
shalat di atas pohon kurma.
Belum
habis keheranan mereka, setelah selesai shalat subuh tubuh buyung bersama
barang bawaannya melesat cepat ke langit dan menghilang. “Subhanallah.” Itulah
ucapan orang-orang, mereka berpendapat pastilah orang tersebut bukan orang
sembarangan. Beberapa saat kemudian, buyung tiba di halaman rumahnya. Matahari
tampak kemerahan di langit timur. Ibu buyung tampak sedang memasak di dapur.
“Assalamualikum,”
Mak, Buyung sudah pulang dari Mekkah.” Kata Buyung. Ibu Buyung terkejut dan dia
buru-buru keluar dan membuka pintu.
“Waalaikum
salam, Alhamdulillah kau sudah pulang anakku.” Ibu Buyung memeluk anak
satu-satunya itu. Kemudian dia membawa semua barang yang dibawa si Buyung. Ada
buah kurma, kain tenun, baju gamis untuk ibunya, dan jenis kacang-kacangan, dan
air zam-zam. Semua benda-benda yang dia bawah asli dari Mekkah.
*****
Teman-teman
si Buyung yang awalnya mengejek, sekarang menjadi kagum pada si Buyung. Sebulan
Buyung menghilang, tenyata benar-benar pergi ke Mekkah. Sekarang tersiar kabar
kalau si Buyung sudah pulang dari Mekkah. Teman-teman Buyung ingin membuktikan
kalau dia memang benar-benar dari Mekkah. Maka bertandanglah mereka ke rumah si
Buyung. Sesampai di rumah si Buyung mereka dihidangkan buah kurma dan minum air
zam-zam. Percayalah mereka kalau Buyung benar-benar dari Mekkah berhaji.
Hari
menjelang siang, tamu dan si Buyung mulai lapar. Maka Buyung meminta ibunya
untuk memasak. Untuk menjamu teman-temannya. Buyung bertanya pada ibunya, apa
yang ada dapat dimasak.
“Kalau
beras ada sedikit, cukuplah ibu rasa. Hanya lauknya tidak ada.” Kata ibu
Buyung. Buyung bertanya apakah ada buah kelapa. Ibu menjawab ada di dalam bilik
penyimpanan hasil panen. Buyung kemudian turun kebawa rumahnya, lalu mengupas buah
kelapa. Setiap kali hendak membelah buah kelapa, dia membaca doa yang diajarkan
gurunya.
““Bismillahirrahmanirrahim,
tebang birah iko lesong, Si Buyung pande mengaji, ada aye ade ikan, yang mati
idup lagi.” Keajaiban muncul lagi, dari dalam buah kelapa melompat ikan
cukup besar, ikan Lamedok. Buyung berkata perlu berapa membuka buah kelapa.
Ibunya meminta sekalian dibuka lima biji. Mungkin ibu si Buyung mau buat kue
nantinya selebih memasak. Buyung membuka buah kelapa lima biji, bersamaan itu
lima ekor ikan besar juga muncul. Mereka, makan siang dengan nasi dan gulai
pindang ikan Lamedok, yang lezat sekali.
*****
Buyung
juga memberikan oleh-oleh pada gurunya. Baru sekali itu saja dia memberi
gurunya yang lain dari buah jambu. Guru si Buyung menjadi heran dan dengki. Dia
pada awalnya hanya mengolok-olok si Buyung dengan doa yang dia ajarkan. Begitu
juga dengan apa yang dia ajarkan bagaimana cara pergi ke Mekkah.
Suatu
hari, bertandanglah guru si Buyung ke rumahnya. Buyung dan ibunya begitu bangga
dikunjungi oleh guru si Buyung. Setelah banyak berbincang-bincang, bertanyalah
guru si Buyung bagaimana dia dapat pergi haji ke Mekkah.
“Buyung,
bagaimana caranya kau pergi ke Mekkah waktu itu?.” Tanya gurunya.
“Yah,
seperti yang Tengku ajarkan waktu dululah. Begitulah caraku pergi dan
pulangnya.” Jawab si Buyung.
“Ohhh,
hanya begitu saja.” Jawab guru si Buyung singkat. Di dalam hati guru si Buyung
dia ingin mencobanya. Dia berpikir, dia pasti dapat seperti si Buyung, sebab si
Buyung dia yang mengajarkannya seperti itu. Walau sebenarnya duluh dia hanya
mengolok-olok si Buyung. Di rasa cukup guru si Buyung permisi pulang. Di tahun
kemudian saat musim haji tiba, guru si Buyung akan mencoba sebagaimana si
Buyung lakukan. Dia ingat bagaimana cara dia mengajarkan pada si Buyung.
Sebelum
subuh guru si Buyung bangun, dia berwudhu dan mendekat batang pohon kelapa di
samping rumahnya. Membaca basmallah, lalu memanjat ke atas pohon kelapa. Ayam
berkokok, waktu shalat subuh tiba. Shalatlah guru si buyung di atas pohon
kelapa. Setelah itu, dia memejamkan matanya dan membaca apa yang dia ajarkan
pada si Buyung.
““Bismillahirrahmanirrahim,
tebang birah iko lesong, Si Buyung pande mengaji, ada aye ade ikan, yang mati
idup lagi.” Kata guru si Buyung. Kemudian dia melompat dari atas pohon
kelapa.
“Wussss.”
Kemudian terdengar suara benda jatuh. “Gedebukkk.” Guru si Buyung jatuh ke
tanah dan berakibat buruk. Tulang-tulang badannya patah, dan dari mulutnya
keluar darah. Kemudian guru si Buyung meninggal dunia. Dia tidak tiba di
Mekkah, tapi tiba di alam barzah. Mendengar kabar meninggal gurunya, dia
terkejut dan sedihlah hati si Buyung.
Demikianlah kisah seorang guru yang membeda-bedakan diantara muridnya berdasarkan harta, dan mengajar tidak ikhlas. Jadilah guru selalu berkata-kata baik walau pun murid bodoh dan sulit mengerti. Guru, tugasnya hanya mengajarkan ilmunya. Membuat mengerti dan membuat pandai bukan tugas guru. Sebab Allahlah yang memberikan hidayah pemahaman dan hikmanya.
Rewrite:
Tim Apero Fublic
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 9 Juli 2021.
Sumber:
Wildan, Dkk. Struktur Sastra Lisan Tamiang. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment