Kemana ISIS Dimasa Pandemi Covid-19 ?
Amerika
Serikat yang mempunyai ambisi untuk menjadi negara adidaya tunggal, mencari
strategi untuk menguasai negara Timur Tengah.
Sejak sekutu utamanya Shah Pahlevi tumbang oleh revolusi Khomeini, Amerika
Serikat kehilangan hegemoninya atas Iran. Sedangkan Irak dibawah Saddam Hussein
mencapai zaman keemasannya. Konfrontasi Irak-Iran meruncing tatkala Saddam
Husein membatalkan perjanjian Algiers pada tanggal 18 September 1980 dan
menginvasi Iran pada tanggal 22 September 1980, hingga meletuslah perang
Irak-Iran.
Permulaan
perang, Amerika Serikat memposisikan dirinya sebagai negara netral. Tetapi
sikap netral tersebut hanyalah formalitas diplomatik saja, faktanya Amerika
Serikat lebih cenderung pro ke Irak. Tetapi pro-nya
Amerika Serikat kepada Irak hanyalah demi kepentingannya sendiri. Hingga
akhirnya, Irak dijajah oleh Amerika Serikat dengan tujuan untuk kepentingan
geopolitik Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, menguasai minyak Irak.
Sebab Amerika Serikat mempunyai cadangan minyak yang
sangat kecil, hanya 0,3% dari cadangan minyak dunia, sedangkan kebutuhan
konsumsi minyak Amerika Serikat mencapai 23%, serta menyingkirkan Saddam Husein
dan meneguhkan pengaruh politiknya di wilayah Timur Tengah. Setelah Saddam Husein digulingkan dalam
invasi Irak oleh Amerika Serikat, Islam Sunni, dihukum gantung, peranan
kelompok Syiah dikembalikan oleh Amerika Serikat.
Adanya
gesekan yang kuat antara aliran Islam Syiah yang cenderung revolusioner dengan
aliran Islam Sunni yang cenderung moderat. Sekarang yang berkuasa penuh di Irak
bukannya Saddam Hussein selaku Presiden, tetapi Haider Al-Abadi selaku Perdana
Menteri dari Islam Syiah, yang juga agama mayoritas penduruk Irak. Sedangkan
Islam Sunni yang pernah berkuasa di Irak (minoritas) semasa Saddam Hussein,
sekarang hanya diberi kewenangan di parlemen Irak. Itulah strategi atau politik
adu domba Amerika Serikat dan sekutunya di “Negara 1001 malam” itu.
Lama-kelamaan
dendam ini membekas di hati generasi-generasi Irak selanjutnya, mengingat ada
yang orang tua maupun keluarganya dianiaya, disiksa bahkan dibunuh oleh Amerika
Serikat. Hingga akhirnya, muncullah ambisi untuk balas dendam dengan Amerika
Serikat dengan diakomodir oleh sebuah organisasi yang bernama Al-Qaedah.
Al-Qaedah
adalah suatu organisasi paramiliter fundamentalis Islam Sunni yang salah satu
tujuan utamanya adalah mengurangi pengaruh luar terhadap kepentingan Islam. Melalui
organisasi inilah mereka berlatih dan belajar tentang kemiliteran, seperti cara
menembak, latihan berperang, dsb. Sampai akhirnya, mereka menjadi gerakan
sparatisme.
ISIS
digunakan sebagai bentuk pengalihan isu dari negara barat, terkhusus Amerika Serikat untuk
mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah-daerah negara Timur Tengah.
Irak, sebagaimana negara-negara Timur Tengah hingga saat ini merupakan pelaku
utama produsen minyak dunia. Jurnal Oil and Gas memperkirakan Irak mempunyai
cadangan minyak sebesar 115 miliar barel atau terbesar ketiga di dunia.
Ambisi
Amerika Serikat untuk menguasai sumber minyak Irak ini dapat diketahui dari
arsip yang dirilis oleh Arsip Nasional Inggris. Arsip itu menunjukkan pada
tahun 1973, Amerika Serikat telah berencana menguasai sumber-sumber minyak di
Arab Saudi, Kuwait, dan Abu Dhabi untuk menangkal minyak dunia Arab kepada
Barat.
Dimasa
kejayaan, ISIS yang memproklamirkan “kekhalifahan”, menguasai wilayah luas di Suriah dan Irak. Pada Maret 2019,
daerah kekuasaan mereka berhasil direbut kembali oleh Pasukan Demokratik Suriah
(Syria Democratic Force/SDF) dan
pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Setelah itu, ISIS melakukan
konsolidasi melalui jaringan rahasia dan terus meningkatkan kekuatan.
Sementara
itu, di akhir tahun 2019 dunia dihebohkan dengan munculnya virus jenis baru
yang mematikan, bernama Covid-19. Virus tersebut muncul pertama kali di Wuhan,
Cina. Hingga akhirnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Irak. Sejumlah pihak
khawatir masyarakat internasional mengabaikan perkembangan ISIS ini karena pikiran
yang teralihkan oleh pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia saat ini. Namun,
yang jadi pertanyaannya, apakah ISIS masih aktif ditengah pandemi Covid-19 ?.
Ketika
otoritas kesehatan dunia WHO (World Healthy
Organization) di seluruh dunia tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19,
kekacauan yang disebabkan oleh virus jenis baru ini tampaknya justru
“menguntungkan” bagi
Para
simpatisan dan milisi
Meski
demikian, pola serangan acak yang dilakukan seorang milisi dan simpatisan ISIS
masih menjadi ancaman. Propoganda ISIS secara daring juga tidak surut di tengah
pandemi. ISIS juga mengeksploitasi dampak pandemi terhadap kondisi ekonomi dan
politik di dunia.
Bertanya mengenai kemana ISIS dimasa pandemi Covid-19 ?.
Jelas
secara organisasi atau kelompok,mereka masih ada. Namun,
langkah-langkah untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19, seperti lockdown dan pembatasan pergerakan,
tampaknya mengurangi resiko serangan teroris dibanyak negara, khususnya gerakan
radikalisme dari ISIS.
Dan seperti yang kita ketahui, pandemi Covid-19 ini melanda seluruh negara yang ada didunia tanpa terkecuali. Khususnya negara-negara barat, seperti Amerika Serikat yang masih sibuk mengurusi perekonomian negara akibat dampak pandemi Covid-19. Jadi, propaganda politik dengan menggunakan isu radikalisme untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah-daerah negara Timur Tengah, baik itu gas, minyak, mineral, batubara, dsb sudah tidak gencar lagi digunakan, karena negara Amerika Serikat tengah sibuk memikirkan dan mencari cara untuk menstabilkan ketimpangan perekenomian negara, serta menurunkan angka kemiskinan dan jumlah kematian dari warga negaranya.
Oleh. Sheny
Agustina.
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 17 Juli 2021.
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang,
Fakultas Adab dan Humaniora, Prodi Politik Islam.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment