Mengenal Syekh Yusuf Al-Makasari Al-Bantani: Ulama dan Pejuang.
Pembawa
Islam terkenal di Sulawesi tiga orang ulama dari Aceh, yaitu Datok ri Bandang
atau Abdul Ma’mur, kemudian Datok Suleman dan Datok ri Tiro. Mereka berasal dari
Minangkabau tapi berdiam di Aceh. Mereka diundang oleh Raja Gowa dan masyarakat
Makassar untuk mengajarkan Islam.
Dalam
waktu enam tahun semua raja-raja besar-kecil di Makassar diislamkan oleh ketiga
ulama itu. Kemudian datang para pendahwah atau ulama-ulama dengan keahlian
berbeda. Pesantren pertama di bangun di Bontoala. Perlahan ajaran Islam menjadi
bagian dari adat istiadat (pangadakkang) yang di sebut sarak.
*****
Syekh
Yusuf Al-Makasari adalah seorang ulama, seorang sufi sekaligus seorang pejuang.
Beliau lahir di Makassar pada tahun 1626, semasa Kesultanan Gowa. Bernama
lengkap Muhammad Yusuf, ibu beliau bernama Siti Aminah anak dari Gallarang
MoncongloE. Sedangkan ayah beliau memiliki dua versi sebutan pertama dengan
istilah “orang tua” atau Nabi Khaidir. Yang kedua nama disebut adalah bahwa
beliau anak dari Sultan Alauddin, Sultan Gowa ke 14.
Mengapa
demikian, kelahiran beliau dirahasiakan dari permaisuri. Sebab beliau seorang
laki-laki tentu memiliki hak waris kesultanan dan akan membuat masalah internal
politik. Syek Yusuf dibesarkan dalam lingkungan istanah. Dia belajar ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Umur 18 tahun beliau pergi ke Banten
dan Aceh untuk belajar. Kemudian dilanjutkan ke Mekkah dan Damaskus (Suriah).
Selama
15 tahun belajar di Timur Tengah, mendapat ijazah tarikat Taju al-Khalwati
Hadiatullah dari gurunya Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub
al-Khalwati al-Quraisyi dalam Tarikat Khalwatiyah.
Tahun
1644 Syekh Yusuf meninggalkan tanah kelahirannya, dengan maksud pergi ke
Mekkah. Dari Makasar dia pertama singgah di Kesultanan Banten. Sepulang dari
Mekkah beliau kembali datang ke Banten, dan menikahi putri Sultan Ageng
Tirtayasa. Dari pihak ibu putri tersebut masih bersaudara dengan Raja Goa
Karaeng Bisei yang memerintah tahun 1674-1677 Masehi.
Kompeni
Belanda dan Kesultanan Banten berperang, Syekh Yusuf tentu berpihak pada
Banten. Sultan Ageng Tirtayasa dibantu Syekh Yusuf melawan Kompeni yang dibantu
Sultan Haji, adik dan lawan politik Sultan Tirtayasa. Ketikah kekuatan Sultan
Tirtayasa kalah, Syekh Yusuf memimpin perang gerilya dari hutan melawan Belanda
dan orang-orang Sultan Haji. Syekh dalam perlawanan bersama Pangeran Purbaya,
Pangeran Kidul, dan diikuti 5000 orang.
Syekh
Yusuf berada di Banten selama 20 tahun, dan memegang jabatan sebagai Mufti
(Hakim) Kesultanan Banten. Guru bagi sultan dan keluarganya, serta guru tarikat
bagi penduduk. Suatu hari, putri syekh bernama Asma ditangkap oleh Van Happel.
Kemudian dijadikan siasat jebakan untuk menangkap Syekh Yusuf. Beliau keluar
dari persembunyiannya, benar saja beliau ditangkap, lalu dipenjarakan di
Jakarta.
Pada
12 September 1684, Syekh Yusuf diasingkan ke Ceylon. Kemudian dipindahkan ke
Cape Town pada 7 Juli 1694 bersama 49 orang pengikutnya. Kelompk Syekh Yusuf
ditambah orang buangan lainnya membentuk kelompok Islam pertama di Afrika
Selatan (Cafe Town). Disana mereka bermukim di sekitar Zandvliet di dekat
Sungai Eerste. Syek Yusuf wafat (1699) dan dimakamkan di sekitar pertanian Zandvliet.
Pemindahan
Syek Yusuf dari Ceylon (Srilanka) bukan tanpa alasan. Terjadinya perlawanan
rakyat di Banten, di Sumatera Barat, dan oleh Sultan Gowa ke-19 bernama Sultan
Abdul Jalil dia menggugat perjanjian Bongaya dan mengembalikan benteng
Jumpandang. Belanda menyelidiki latar belakang dari peristiwa perlawanan rakyat
tersebut.
Di
Ceylon hubungan Syek Yusuf dengan Nusantara melalui jemaah haji yang singga di
Ceylon saat pergi dan pulang. Kemudian dari sana surat dan informasi Syek
dengan Sultan Banten-Sultan Gowa (Makassar) tejalin. Terjadinya surat menyurat
tersebut tercium oleh Belanda dan sampai ke Batavia (Jakarta). Tentu saja ada
penghianat yang membocorkan rahasia tersebut.
Di
Makassar dikenal dengan kittak-na Tuan LeoEta atau Pesanan Tuanta. Di
Banten dikenal dengan Ngelmu Aji Karang atau Tuan Seh. Dalam penelitian
dan pemahaman Belanda Pesanan Tuanta dan Tuan seh adalah nama samaran dari Syek
Yusuf atau istilah yang merujuk beliau. Kemudian dikhawatirkan dan adanya upaya
pembebasan syek dari Ceylon oleh keluarga dan pengikut beliau. Selama 9 tahun
di Ceylon beliau selalu dicurigai oleh Belanda sebagai penggerak perlawanan
rakyat di Nusantara. Lelaki tua yang hanya bersenjata tasbih pengaruh dan
wibawanya sangat besar.
Untuk
itu, Belanda memindahkan Syek Yusuf ke Kaap atau Afrika Selatan. Pada 7 Juli
1693 Kompeni Belanda memindahkan Syek Yusuf ke Afrika Selatan. Waktu itu umur
beliau sudah menginjak 68 tahun, dibawa dengan kapal layar bernama Voetboeg.
Terdapat 49 orang yang dibawa ke Kaap, terdiri dari dua orang istri, 12 orang
santri, 2 pembantu wanita, 14 orang sahabat beliau, putra-putri beliau, dan
hamba-hamba beliau. Lama pelayaran 8 bulan, 23 hari dan tiba di Afrika Selatan
pada 2 April 1694 Masehi.
Mereka
di tempatkan di muara Eerste River, tana milik Dominus Petrus Kalden.
Tempat tersebut sampai sekarang dinamakan Makassar Downs dan pantainya
dinamakan Macassar Beach (pantai Makassar) dalam teluk, False Bay.
Mereka baru menempati tempat tersebut pada 14 Juni 1694. Dalam dokumen Kompeni
Hindia Timur bertanggal 30 Oktober 1699 hari Jumat disebutkan:
Dua
istri Syek Yusuf Kare Kontu dan Kare Pane, nama pembantu wanita Mu’minah dan
Naimah. Anak-anak Syek Yusuf Muhammad Rajab, Muhammad Hayyi, Muhammad Jaelani,
Raden Boerne, Ramlan, Aisyah, Jahamath, Care Sangie, Sanda, Sitti, Sitti Romia,
dan Siti Habibah.
Nama-nama
lain yang mengikuti beliau diantaranya, Pia, Boeleengh, Care Nanangh, Abidah,
Hamidah, Sari, Bibi Aisyah, Daeng Maniko, Qasim, Kentol Saip, Ragoena, Abu Bahar,
Adullah Al-Rauf dan Abdullah al-Jaffar. Syek Yusuf di Afrika Selatan dihormati
oleh Guburnur Willem. Colvin bercerita dalam buku The Romance of South Afrika
halama 165 mengatakan bahwa penghormatan terhadap orang-orang Melayu di Cape
Town berlangsung selama 200 tahun. Komunitas Melayu di Afrika Selatan disebut
orang-orang barat dengan istilah Slammajer.
Di
Kaap Syek Yusuf menyatukan komunitas orang buangan dari Nusantara dan membentuk
komunitas Muslim. Beliau menetapkan pengajaran agama, dan berdakwa pada
orang-orang di sana. Ciri orang slammajer dulu memakai kopiah berjumbai. Syekh
Yusuf mengamalkan tarikat khalwatiyah dan menguasai tiga tarikat lainnya.
Syekh
Muhammad Yusuf al-Makassari al-Bantani wafat di Afrika Selatan, pada 23 Mei
1699 M, di Desa Macassar, 40 kilometer dari Cape Town. Di ceritakan oleh I.D.
Plessis dalam bukunya Kaapse Maleier tot die Afrikaanse Volkslied (1935),
letak makam Syek di Faure, disekitar daerah pertanian Zandvliet yang pada
awalnya milik pendeta bernama P. Kalden. Terletak diatas bukit pasir yang
terlihat dari jalur Easter River. Bukit-bukit pasir disana tetap dinamakan
dengan Makassar Downs.
Para
pengikut syekh Yusuf masih tinggal di sana sampai tahun 1704. Kemudian baru
diatur pemulangan mereka ke Makassar. Kecuali yang sudah menikah tetap
diizinkan tinggal di Kaap (Afrika Selatan). Komunitas yang tinggal tersebut
kemudian menjadi awal dari komunitas Islam Melayu di Afrika Selatan sampai
sekarang (2021).
Enam
tahun kemudian setelah meninggalnya beliau, VOC membawa keranda jenazah beliau
ke Makassar. Kemudian di makamkan di kampung halamannya, di Lakiung. Makam
beliau baik yang di Afrika Selatan dan di Sulawesi selalu ramai dikunjungi
orang berziarah.
Peninggalan beliau berupa 29 risalah yang dia tulis di Banten dan di Ceylon. Semasa beliau wafat banyak cerita tahayul yang tersebar di tengah masyarakat. Hal demikian disebarkan pihak Belanda untuk membodoh-bodohi umat Islam. Misalnya Syek Yusuf datang ke Afrika Selatan dengan terbang melayang di atas laut. Kemudian berbagai cerita tahayul yang dipercaya oleh kaum muslim awwam. Tersembunyi dari balik cerita tahayul adalah ilmu pengetahuan-ilmu agama Islam, dan perjuangan beliau.
Disusun:
Tim Apero Fublic
Editor.
Desti, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
2 Juli 2021.
Sumber:
Abu Hamid. Syek Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Sy.
Apero Fublic
Post a Comment