Andai-Andai: Lubuk Lesung dan Raksasa Ompong
Masa itu, tersebutlah seorang datu yang baik hatinya. Dia memimpin dengan adil dan bijaksana, sehingga warganya menyayanginya. Nama beliau Tan Maranu, dan istrinya bernama Tan Manana. Namun, telah lama dia hidup berumah tangga dengan istrinya, namun belum juga mendapatkan seorang anak pun. Suatu saat bedoalah datu itu pada yang maha kuasa dengan sungguh-sungguh. Agar dia mendapat seorang seorang anak. Datu Tan Maranu sangat sedih, sebab umur sudah mulai lanjut. Doa sang datu dikabulkan oleh yang kuasa, dan hamilah istrinya walau sudah berusia agak lanjut. Dimana manusia biasa apa bilah seumuran dengnya tentu tidak lagi bisa hamil.
“Kanda, sepertinya adinda hamil.” Istrinya menceritakan di suatu hari. Bukan kepalang bahagianya suami istri itu. Mereka akhirnya merayakan kehamilan itu, dengan mengundang banyak warganya. Mengadakan jamuan makan-makan enak. Semua bahagia, dan mengucapkan selamat.
Waktu berlalu
cepat, sudah sembilan bulan umur kandungan. Namun belum juga ada tanda-tanda
akan melahirkan. Datu dan Datuna sang istri sudah tidak sabar ingin menggendong
anak mereka. Baru setelah sepuluh bulan umur kandungan, melahirlah istri Datu.
Dengan sangat kesakitan, proses berhari-hari istri datu melahirkan seorang anak
laki-laki. Datu menamakan anaknya dengan Punta Balarai. Arti dari namanya
adalah seorang pemuda yang cepat dan gesit.
*****
Bertahun-tahun sudah terlewati penuh kebahagiaan. Sekarang besarlah anak Datu, Punta Balarai. Sudah lima belas tahun umur Punta Balarai. Dia banyak belajar ilmu alam dan ilmu beladiri. Sehingga dia menjadi pemuda yang tangkas dan gesit. Selain itu, Punta Balarai juga pintar dan banyak akalnya. Semua pemuda di Talang Gajah Mati menjadi sahabatnya. Banyak pula gadis tergila-gila padanya.
Suatu, hari Punta Balarai berkeliling Talang. Dia ditemani dua sahabatnya, Kadra Puju dan Kadra Pacung. Yang menjadi aneh bagi mereka bertiga. Sejak kecil mereka selalu menyaksikan aktivitas, dimana semua penduduk Talang Gajah Mati sering menumbuk buah padi bersama-sama beberapa kali dalam setahun. Ratusan keranjang tepung beras entah dibawa kemana. Suara alu beradu dengan lesung bertalu-talu bagai musik yang luas.
Perlu diketahu
kalau masa itu buah padi masih besar-besar, sebesar buah kelapa. Belum
kecil-kecil seperti zaman kita sekarang, bertangkai berbulir-bulir. Punta
Balarai berhenti di depan rumah seorang warga, lalu bertanya. Dia sangat
penasaran, sebab dari kecil memendam keingin tahuan itu. Namun jawaban
orang-orang tidak ada yang meyakinkan Punta.
“Bibik, apa
yang menyebabkan warga kita menumbuk padi beberapa kali dalam setahun, dan
sebanyak ini.” Tanya Punta. Punta selalu bertanya pada orang yang berbeda-beda.
Namun jawaban juga simpang-siur tanpa ada penjelasan.
“Sudah, ini
pekerjaan orang-orang tua, nanti kalau kalian sudah dewasa, dan mulai menjadi
orang tua, akan diberitahu yang sebenarnya.” Jawab bibik itu, kemudian dia
mulai menumbuk padi lagi. Punta dan dua sahabatnya pergi dan bermain di sisi Talang
mereka.
“Aku merasa
aneh, mengapa warga kita menumbuk padi begitu banyak. Padahal warga talang kita
masih kekurangan makanan.” Tanya Punta pada dua sahabatnya.
“Aku juga tidak
mengerti, Punta. Mengapa orang-orang tua kita melakukan itu.” Jawab Kadra Puju.
“Ada baiknya
kita selidiki saja, Aku juga penasaran. Aku sering meminta Umak untuk menanak
nasi lebih banyak. Sebab di bilik banyak buah padi.” Kata Kadra Pacung.
“Setiap kali
bertanya, Umak-Bak selalu bilang, "untuk sesuatu dan keselamatan Talang
kita.” Ujar Kadra Puju.
“Betul katamu,
Pacung. Kita selidiki saja, sebab ada yang aneh dan semua ini merugikan warga.”
Kata Punta Balarai.
"Kasihan,
orang-orang tua kita." Sahut Kadra Puju, menanggapi. Mereka kemudian
bermain-main di sisi tebing sebuah lubuk yang tidak jauh dari Talang. Ada juga
beberapa pemuda datang untuk bersantai di sana, bertambah seruhlah mereka
bermain. Di Sungai Keruh sesekali lewatlah perahu atau rakit warga.
*****
Beberapa hari berlalu, penduduk selesai menumbuk buah padi. Sekarang buah padi sudah sudah menjadi tepung beras. Sudah dikemas di dalam bunang (keranjang besar). Jumlahnya dua ratus bunang, dan telah siap diberangkatkan. Dua ratus sepuluh orang laki-laki berkumpul di halaman rumah datu. Mereka, dipimpinan datu mulai bergerak. Masing-masing laki-laki menggendong satu bunang. Lima orang laki-laki membawa getuk dari cangkang kura-kura sungai. Mereka berjalan beriringan menuju suatu tempat. Lima lagi membawa perbekalan mereka.
Sementara itu, Punta Balarai dan dua sahabatnya mengawasi dari jauh. Mereka bertiga mengikuti, kemana tujuan Datu dan warga membawa tepung beras itu. Perjalanan berlanjut, siang dan malam. Jalan semakin lama semakin menanjak dan berbukit-bukit. Terdengar dari percakapan mereka kalau mereka menuju Bukit Pendape. Tiga hari-tiga malam sampailah di tempat tujuan. Di kaki Bukit Pendape. Meletakkan dan mengumpulkan keranjang di tanah terbuka berumput hijau. Lima orang warga memukul getuk (kentongan). Suara getuk bertalu-talu memekakkan telinga.
Dari kejauhan
terdengar suara bergemuruh makhluk besar berjalan. Pohon besar bergoyang-goyang
dan burung-burung berterbangan. Sosok besar itu semakin dekat, warga mulai
berlarian bersembunyi di balik pepohonan disekitar lapangan berumput itu. Hanya
datu yang masih berdiri di sekitar keranjang berisi beras yang sudah di tumbuk.
Tidak lama kemudian muncul raksasa yang sudah tua. Rambut putih, wajah keriput.
Ada tongkat besar, dan bercawat terbuat dari kulit hewan. Tampak berjalan
mendekati lapangan itu. Tanah bergetar saat kakinya melangkah.
“Kalian sudah
mengantar upeti kalian, wahai manusia?” Kata raksasa. Saat dia berkata,
terlihat kalau dia tidak lagi memiliki gigi dan taring, ompong.
“Benar Puyang
Raksasa Pendape, ini semua tepung beras sebagaimana permintaanmu setelah
panen.” Kata Datu. Raksasa menghitung dan jumlahnya seperti yang dia syaratkan,
200 bunang.
“Baiklah,
sekarang kalian boleh pulang. Ingat, 200 hari lagi kalian datang mengantarkan tepung
beras lagi, kalau tidak kalian yang akan Aku makan dan Talang kalian Aku
hancurkan.” Kata Raksasa itu mengancam. Sebagai gertakan dia memukulkan tongkat
kayu ulinnya ke tanah lapang itu. Terdengar suara seperti pohon besar yang
roboh. Datu mengiakan, kemudian dia pulang bersama rakyatnya. Sementara itu,
Punta dan kedua sahabatnya menyaksikan semua yang terjadi dari tempat
persembunyian mereka.
"Grubakkkkk.
Grubakkkk. Grubakkk." Bunyi langkah kaki raksasa itu membawa bunang ke
puncak Bukit Pendape.
*****
Waktu berlalu, sudah
mendekati dua ratus hari lagi. Sekarang warga Talang Gajah Mati bersiap menumbuk
buah padi lagi. Punta Balarai dan dua sahabatnya Kadra Puju dan Kadra Pacung
mulai menyusun rencana. Mereka ingin mengalahkan raksasa ompong yang selalu
makan bubur nasi hasil memeras warga. Menindas warta Talang Gajah Mati untuk
memenuhi kebutuhan makannya.
“Pantasnlah
raksasa itu meminta tepung beras karena dia sudah ompong.” Kata Kadra Puju.
“Betul, lalu
bagaimana kita menghadapi raksasa itu.” Tanya Kadra Pacung.
“Aku sudah
berpikir sejak lama, sepertinya Aku memiliki ide untuk mengalahkan raksasa
ompong itu.” Ujar Punta.
“Baiklah, apa
rencanamu Punta. Kami akan membantumu.” Kata Kadra Puju.
“Tapi, jangan
sampai warga talang dan ayahku tahu tentang ini.” Kata Punta. Lalu punta
memberi tahu rencananya dan mereka diminta mulai membantu untuk membuat jebakan
raksasa tua yang sudah ompong itu, agar tidak menindas masyarakat mereka lagi.
Pagi-pagi keesokan harinya mereka berangkat ke hutan, membawa parang
masing-masing.
“Mau kemana
kalian, koyong-koyong.” Tanya seorang wanita agak tua yang sedang menumbuk padi
di sisi jalan.
“Kehutan,
mencari onak rotan, Uwa.” Jawab Punta.
“Kenapa buah
padi semakin mengecil Aku perhatikan, Uwa.” Tanya Kadra Pacung basa-basi.
“Ya, beginilah
tak sebesar dahulu, Bujang. Kata orang tua buah padi sebesar keranjang pada
mulanya. Namun karena sering di tumbuk manusia di setiap tahun, membuat buah
padi mengecil." Jelas ibu-ibu itu.
"Mengapa
bisa demikian, Uwa." Tanya Punta.
"Karena
padi punya jiwanya. Dia mengecil sebab manusia selalu mengecilkan
buahnya." Jelas nenek itu. Punta dan kedua sahabatnya baru mengerti
mengapa buah padi terus mengecil. Bisa-bisa natinya sebesar buah embacang, atau
lebih kecil lagi pikir mereka. Sebab di tumbuk warga setiap tahun untuk
diberikan pada raksasa Bukit Pendape. Ketiganya juga kesal sekali, sebab buah
padi menjadi kecil karena ulah raksasa itu.
*****
Punta Balarai dan dua sahabatnya mengambil onak berduri sebanyak-banyaknya. Kemudian mereka menjalin seperti susunan jaring. Ada bagian yang mereka buat seperti tali dan melingkar seperti jerat tali. Ada juga onak yang mereka rangkai seperti tali-tali melintang. Kemudian mereka juga menjalin onak berduri seperti jala-jala. Banyak onak mereka ikatkan pada batang dan dahan-dahan pohon di sekitar sebuah lubuk dimana mereka sering bermain. Lubuk tidak bernama itu, kemudian mereka penuhi dengan onak berduri. Sekarang, jebakan onak berduri mereka sudah siap. Rencana mulai dilaksanakan.
Pekerjaan menumbuk padi mulai dilaksanakan. Pada malam harinya, Punta Balarai, dan dua sahabatnya mencuri semua lesung-lesung milik warga. Lalu mereka lemparkan semua lesung-lesung itu di dalam lubuk tidak bernama dimana mereka sering bermain. Lesung tersangkut dijalinan onak-onak berduri, sehingga tampak mengambang tapi tidak hanyut. Dua ratusan lesung berserakan di lubuk itu.
Setelah itu,
mereka juga mencuri bunang-bunang yang baru saja selesai dianyam untuk wadah
tepung beras, Kemudian mereka menghancurkannya. Keesokan harinya, ibu-ibu dan
warga semuanya menjadi ribut dan bertanya-tanya kemana kiranya lesung dan
keranjang besar (bunang) mereka. Semua warga menjadi, panik, takut dan khawatir
akan kemarahan raksasa yang tinggal di Bukit Pendape.
“Datu,
bagaimana ini. Sepertinya lesung kita telah dicuri. Begitu juga dengan bunang-bunang
yang kita anyam. Waktu kita tinggal satu hari lagi, tentu raksasa itu marah
sekali. Kita akan menjadi makanannya, dan talang kita akan dia hancurkan.” Kata
seorang warga, dan yang lainnya menjadi takut.
“Aku tidak
habis pikir, bagaimana ada orang mencuri lesung dan keranjang-keranjang itu.
Ini adalah perbuatan yang sangat membahayakan. Kalau dia perlu makanan atau
harta, tentu dia dapat memintanya daripada dia mencuri lesung-lesung itu.” Kata
Datu dengan rasa kesal dipenuhi rasa khawatir.
“Lalu
bagaimana, kita sekarang. Apakah kita perlu membuat lesung dan keranjang
kembali. Mungkin kita bisa bermusyawara dengan raksasa itu.” Kata seorang
ibu-ibu memberi saran.
“Iya, kita akan membuat lesung dan keranjang kembali. Tapi untuk berjaga-jaga ada baiknya, wanita, anak-anak dan orang tua kita sembunyikan terlebih dahulu. Kalau musyawara gagal tentu akan aman bagi mereka. Sementara yang lain mulailah membuat lesung dan menganyam keranjang. Aku da hulubalang juga lima orang prajurit akan menemui raksasa itu, untuk musyawara.” Kata Datu.
Lalu dia
memerintahkan lima orang prajurit untuk mengambil lima getuk dari cangkang
kura-kura untuk memanggil raksasa. Dia naik ke rumah, mengambil pibang kidau
dan pibang kanan, lalu dia selipkan di pinggangnya.
“Ampun Datu,
tiga buah getuk juga hilang.” Lapor seorang prajurit, sementara dua lainnya
membawa dua getuk yang tersisa.
“Kurang ajar,
siapa yang melakukan ini. Sepertinya mereka ingin kita semua mati oleh raksasa
itu. Akan Aku hukum berat mereka kalau ketahuan." Kata Datu sangat marah
sambil menggenggam telapak tangannya. Dia memerintahkan prajurit untuk
menyelidiki dan menggeledah seluruh Talang. Namun mereka tidak menemukan,
kemudian semua warga juga dikumpulkan. Tapi sia-sia, semua memang tidak tahu
menahu. Hanya ada yang aneh, Punta Balarai, Kadra Puju dan Kadra Pacung tidak
ada. Saat dicari juga tidak ada, dan timbul tuduhan kalau mereka bertigalah
yang berbuat. Tapi belum ada bukti, jadi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kalau
anakku, Punta Balarai adalah pelakunya, dia akan tetap di hukum." Kata
Datu Tan Maranu tegas, dia tidak pilih kasih. Walau anaknya dia tetap dihukum.
Menandakan dia pemimpin sejati yang bijaksana.
“Sudah dari
nenek moyang kita dahulu tidak pernah kejadian seperti ini. Kita selalu tepat
waktu menghantarkan tepung beras pada Raksasa Bukit Pendape.” Ujar seorang
Jurai Tue.
*****
Sementara itu,
Punta Balarai, Kadra Puju, dan Kadra Pacung sudah sampai di kaki Bukit Pendape.
Mereka berdiri di padang rumput luas dimana biasanya warga memberikan
persembahan dua ratus keranjang besar tepung beras. Raksasa ompong itu tidak
bisa menungu lagi. Karena dia memakan bubur yang terbuat dari tepung beras satu
keranjang dalam satu hari. Karena raksasa itu tidak bisa bertani dan tidak mau
berusaha. Maka dia memaksa masyarakat Talang Gajah Mati memberikan hasil panen
padi padanya. Sudah ribuan tahun pemerasan dan kejahatan raksasa itu. Bahkan
bua padi terus mengecil gara-gara ditumbuk terus menerus. Saatnya kita menghentikan
raksasa itu. Kata Punta geram dan jiwa mudanya yang memberontak berapi-api.
“Tungggg.
Tuuungggg. Tuuunggg.” Begitulah bunyi getuk yang dipukul berulang-ulang. Mereka
memanggil raksasa itu agar datang ke padang rumput. Sementara raksasa di atas
bukit mendengar suara getuk itu. Dia tersenyum, manusia telah datang mengantar
makanan untuknya. Maka dia bergegas bangkit dan berjalan menuju Padang Rumput.
“Wahai manusia,
di mana keranjang tepung beras untukku.” Tanya Raksasa dengan marah.
“Maaf raksasa,
kami datang mengadu padamu. Bahwa lesung-lesung penumbuk padi di Talang kami
telah dicuri oleh raksasa lainnya. Ayah dan banyak warga ditangkap olehnya.
Kalau kau ingin kami memberikan tepung beras lagi padamu, tolong ambilkan
lesung yang diambil Raksasa itu. Kami tidak bisa melawannya, hanya dirimu yang
sama besar dan sama kuat.” Kata Punta Balarai.
“Kalian ingin
menipuku, tidak ada raksasa lagi di dunia ini selain Aku.” Jawab Raksasa itu.
“Apakah kau
takut, pada raksasa itu sehingga kau begitu marah dan tidak mau melawannya.”
Ujar Kadra Pacung, sengaja memancing amarah raksasa.
“Kurang ajar,
Aku tidak pernah takut. Awas kalian berbohong akan Aku hancurkan Talang kalian
dan Aku makan kalian bertiga. Tunjukkan padaku raksasa lain kata kalian itu,
dan dimana lesung-lesung itu dia buang, Aku akan mengambilnya.” Kata Raksasa
ompong itu.
Raksasa itu, berjalan menju Talang Gajah Mati diikuti Punta dan dua sahabatnya. Setibanya di Talang mereka, Punta terus menunjukkan dimana lesung-lesung berada. Sementara penduduk talang menjadi takut dan mereka mulai berlarian bersembunyi. Mereka berpikir kalau raksasa itu mulai marah, sebab mereka terlambat memberikan upeti tepung beras dua ratus keranjang besar seperti biasa. Tibalah di dekat Sungai Keruh, Raksasa itu melihat lesung berserakan di dalam sebuah lubuk di Sungai Keruh.
Tanpa ragu raksasa itu melangkah masuk ke lubuk itu, dimana kedalam air Sungai Keruh sedang naik. Sungai sedalam itu, hanya sebatas pinggangnya. Saat dia mulai memunguti lesung-lesung itu. Tiba-tiba kakinya dibelit sesutau yang tajam dan banyak. Semakin lama semakin banyak dan terus berbelit belit. Aneh juga, semakin dia bergerak semakin rapat juga pada kaki dan pinggangnya. Rupanya, Punta dan kedua temannya membuka ikatan onak berduri yang sudah mereka siapkan di hulu lubuk. Lalu hanyut terbawa arus air yang deras. Semakin lama semakin banyak. Raksasa sulit bergerak sebab kaki sudah terpilin onak berduri. Saat dia ingin menarik terasa sangat sakit menggores kulitnya. Selain itu, duri onak yang melekuk juga saling mengait membuat onak tidak bisa dilepaskan.
Semakin lama semakin berat dan rapat, membuat tubuh raksasa roboh kedalam air sungai. Kemudian dari sisi tebing seberang melesat onak berduri seperti jala ikan. Tubuh raksasa itu sekarang dibaluti onak berduri dengan kuat. Sehingga dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Lesung-lesung mulai hanyut ke hilir. Begitu juga raksasa mulai tenggelam kedalam sungai.
Dalam waktu
cukup lama raksasa itu tidak dapat bernafas di dalam air. Lalu mati dan
jasadnya menghilang di dalam aliran sungai entah kemana. Mungkin hanyut terbawa
arus air. Kejadian tersebut disaksikan Datu ayah Punta beserta warga Talang
Gajah Mati. Punta dan kedua sahabatnya merasa gembira, begitu juga semua
masyarakat Talang Gajah Mati menjadi bahagia. Sekarang mereka terbebas dari
raksasa yang kejam itu. Semua memuji atas keberanian dan kecerdasan Punta dan
dua sahabatnya.
Setelah semua berlalu dan suasana tenang kembali. Barulah Punta Balarai menceritakan semuanya pada ayah dan warganya. Mereka meminta maaf karena telah mencuri lesung dan tiga getuk. Datu dan warga memaafkan mereka bertiga. Mereka juga bersyukur sebab memiliki calon pemimpin di masa depan. Kelak Punta Balarai akan menjadi seorang Datu yang hebat. Kadra Puju dan Kadra Pacung menjadi hulubalang yang luarbiasa.
Lubuk dimana
Punta Balarai dan dua sahabatnya Kadra Puju dan Kadra Pacung meletakkan
lesung-lesung untuk menjebak raksasa kemudian dinamakan dengan, Lubuk Lesung.
Sampai sekarang Lubuk Lesung masih ada, yang terletak di Sungai Keruh, di Desa
Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin. Karena seringnya
warga menumbuk buah padi. Akhirnya buah padi semakin kecil seperti sekarang.
Orang tidak lagi menyebut buah padi, tapi biji padi atau bulir padi.
Oleh.
Joni Apero.
Editor.
Desti, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
26 Agustus 201.
Sumber
Andai-andai: Sastra lisan masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh, Musi Banyuasin.
Arti Kata: Datu: Gelar pemimpin tradisonal Melayu. Puyang: Gelar Bangsawan/orang yang dihormati/tokoh agama/ketua adat. Lubuk: Bagian badan sungai yang terletak di pengkolan/tikungan aliran sungai, dimana kedalaman dan luas badan sungai lebih lebar dan dalam. Talang: Nama pemukiman tradisional zaman dahulu. Umak: Ibu. Bak: Ayah. Bilik: Tempat menyimpan hasil panen, terutama padi. Embacang: Nama buah-buahan sejenis buah mangga. Bunang: Keranjang besar yang dibuat dari anyaman bambu. Keranjang ini khusus untuk mengangkut padi karena rapat dan besar. Getuk: Kentongan, biasanya dibuat dari cangkang kura-kura atau labi-labi sungai.
Sy. Apero Fublic.
Post a Comment