MARI BUDAYAKAN LITERASI INFORMASI DI KALANGAN MASYARAKAT
Agar literasi daapat dikuasai secara
maksimal sehingga mampu membantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka, budaya
literasi perlu dilaksanakan. Seperti apakah budaya literasi itu? Secara
sederhana, literasi atau literer istilah lain dari melek huruf secara
fungsional adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berhitung, dan
berbicara serta kemampuan mengidentifikasikan, mengurai dan memahami suatu
masalah.
Budaya literasi merupakan salah satu
aspek penting yang harus diterapkan di lembaga-lembaga sekolah guna memupuk
minat dan bakat yang terpendam dalam diri mereka. Apalagi saat ini indonesia
masih menghadapi sindrom buta huruf yang kerap kali menjadi penghambat kemajuan
pendidikan nasional sehingga di butuhkan strategi laternatif yang bisa
dilakukan untk menopang peningkatan kualutas sumber daya manusia Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
literasi adalah kemampuan menulis dan membaca. Sesuatu yang dibaca dapat
dikatakan sebagai “teks”. Teks tidak selamanya harus berbentuk tulisan. Teks
dapat pula dalam bentuk (audio) dan pandang-dengar (audio-visual).
Dalam paradigma berpikir modern
literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk
mengartikulasikan segala fenomena spsial dengan huruf dan tulisan. Bahkan
menurut Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy: Profiles of
America’s Young adult, literasi kontemporer merupakan kemampuan seseorang dalan
memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan
sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.
Namun sebagaimana kita cermati di
kalangan masyarakat sekarang dalam kehidupan sehari-hari budaya lisan sudah
menjadi darah daging atau sudah melekat hampir setiap stratifikasi sosial
sehingga mengalahkan budaya literasi. Proses transfer budaya lebih cenderung
lewar dari mulut ke mulut seperti bercerita dibandingkan tulisan. Budaya lisan
semakin menguat dengan hadirnya media elektronik seperti radio, televisi dan
internet. Jelas dengan kondisi seperti ini, menciptakan budaya literer secara
menyeluruh akan semakin sulut terwujud.
Mirisnya di Indonesia salah satu
tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi
lisan untuk memasuki tradiso baca tulis (Suroso, 2007:11). Padahal era
teknologi informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh
kembangnya media baca tulis.Rendahnya budaya literasi Indonesia, salah satu
penyebabnya karena pejabat dan birokrat pendidikan tidak paham tentang literasi
itu sendiri.
Akibatnya, literasi tidak menjadi bagian dari kurikulum
termasuk dalam Kurikulum 2013. Memang hal ini menjadi masalah yang sangat
kompleks ketika minat baca orang Indonesia baik di kalangan pejabat
Indonesia sudah sangat rendah dan berkurang sebagaimana dicatat dalam
penelitian UNESCO.
Berdasarkan studi Most Littered Nation In the Word yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada
Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal
minat membaca. Indonesia tepat berada di bawah Thailand yang berada di
peringkat ke-59 dan di atas Bostwana yang berada di peringkat ke-61.
Padahal, dari segi penilaian
infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas
negara-negara Eropa. Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur indonesia ada
di urutan ke-34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan.
Menurut data dari The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD),
budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52
negara di Asia. Bagaimana membangun budaya membaca (literasi ) di era digital
saat ini? Hampir semua orang selalu menyalahkan teknologi sebagai penyebab anak
tidak mau membaca, apalagi menulis.
Apakah memang seperti itu kondisinya?
Teknologi tidak sepenuhnya menjadi penyebab rendahnya literasi di Indonesia.
Beberapa penyebab lainnya antara lain belum terbiasa, belum termotivasi, dan
sarana yang minim. Akan tetapi, hal tersebut semestinya tidak menjadi persoalan
jika diimbangi dengan usaha untuk membangun budaya literasi.
Menumbuhkan kesadaran membaca dapat
dimulai dari keluarga. Misalnya, orang tua menyediakan buku bacaan di rumah.
Hal tersebut tentu saja diimbangi dengan kerelaanorang tua menyisihkan uang
untuk membeli buku. Di sinilah peran orang tua sangat diperlukan untuk
membangun budaya literasi.
Untuk membangun budaya literasi
diperlukan beberapa langkah kongkrit yaitu; menumbuhkan kesadaran pentingnya
membaca, membudayakan membaca di sekolah, mengoptimalkan peran perpustakaan,
membentuk komunitas baca.
Untuk menggairahkan program literasi
ini tentu diperlukan kerjasama semua elemen. baik itu pemerintah, dinas terkait,
sekolah, guru maupun masyarakat.Selain itu, gerakan literasi ini harus dimulai
dari keluarga, sekolah sampai lingkup yang lebih besar. Semoga generasi muda
kita yang terdiri dari siswa maupun mahasiswa benar- benar mampu berliterasi di
tengah arus modernisasi saat ini.
Upaya pemerintah dalam meminimalisir
rendahnya minat baca masyarakat Indonesia yakni dengan mengeluarkan suatu
kebijakan seperti yang tertuang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, menggunakan
15 menit waktu sebelum pembelajaran dimulai untuk membaca buku selain buku mata
pelajaran (setiap hari). Hal tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan minat baca
masyarakat Indonesia.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang
menjadi salah satu langkah pemerintah dalam menanamkan serta menumbuhkan minat
baca. GLS selain bertujuan untuk membangun karakter peserta didik juga
bertujuan untuk menjadikan lingkungan sekolah menjadi lingkungan pembelajar
sepanjang hayat dengan membudayakan membaca dan menulis (literasi). Kebijakan
mengenai GLS telah banyak diimplementasikan di dunia pendidikan kita saat ini.
Tanpa melakukan upaya perbaikan terhadap tingkat pendidikan baik di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK harus lebih serius lagi. Dan tingkat literasi akan sangat sulit bagi Indonesia untuk dapat menurunkan angka kemiskinan dan menurunkan tingkat kesenjangan.Oleh karena itu kunci dalam meningkatkan produktivitas bangsa dan menurunkan angka kemiskinan serta menurunkan tingkat kesenjangan terletak pada keberhasilan kita dalam meningkatkan literasi itu sendiri.
Oleh:
Risma Ayunita Pratiwi.
Editor. Melly
Tatafoto. Ahmad, RE.
Palembang, 4 November 2021.
Mahasiswi Universitas Islam Negeri,
Raden Fatah Palembang, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Ilmu Perpustakaan.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment