ANDAI-ANDAI: Asal Usul Cendawan Tikus dan Cendawan Kuping
“Jadilah anak yang baik dan jujur.
Jangan suka menuruti hawa nafsu dan berbohong. Karena akibatnya akan buruk
sekali pada dirimu sendiri. Jangan kalian pikir berbohong adalah perbuatan
pintar. Tapi berbohong adalah perbuatan jahat dan curang.” Nasihat sang kakek.
“Kami akan mengingat nasihat kakek.”
Kata Nalja.
“Kalau kalian bermain di hutan, jangan
bermain di dekat sebuah gaung besar.
Karena disana ada negeri suban.” Pesan sang kakek lagi. Gaung berupa lobang
besar pada tanah yang mengalir mata air. Hari pun sudah sore, kakek mau pulang
ke talang
kembali.
“Bak, hati-hati di jalan. Ini ada madu, ikan kering, pisang masak dan sayuran.” Kata menantu si kakek. Sedangkan ayah mereka turut mengantar kakek keluar pondok. Sang kakek berjalan menyusuri jalan di tengah ladang seraya menggendong keranjang yang penuh hasil ladang.
Waktu berlalu, padi mereka mulai berbuah dan sampailah masak menguning. Tebu pun mulai di panen untuk membuat gula. Sementara ibu dan ayah mereka sibuk memanen buah padi. Ketiga anaknya bermain di hutan pinggir ladang.
“Kalian mau kemana?.” Panggil ayah
mereka seraya menuai padi di tengah ladang.
“Kami nak bermain di hutan sebentar,
Bak.” Jawab Samdu. Ibu juga berkata kalau jangan bermain terlalu jauh dan cepat
pulang. Karena ada hewan buas seperti harimau atau beruang. Ketiganya mengiakan
dan terus berjalan, dan keluar pagar ladang.
“Tuttttt. Tuttttt. Tutttttt.” Begitulah
bunyi mainan mereka yang terbuat dari batang padi.
*****
Ketiga kakak beradik bermain dengan
gembira sekali. Mereka berayun-ayun di akar-akar pohon, dan berjalan menjelajah hutan. Mereka juga mencari
buah-buahan yang dapat dimakan. Tanpa sadar ketiganya telah masuk hutan dimana
ada gaung yang dilarang kakeknya. Sehingga mereka masuk kedalam dunia suban.
“Koyong, kenapa ada rumah orang dan ada kebun buah-buahan.” Tanya Samdu pada kakanya Antam.
Tampak sebuah rumah kayu besar beratap sirap papan. Di halaman tumbuh puluhan
pohon buah yang berbuah lebat. Dahan-dahan melentur ke bawah karena menahan
beban buah yang banyak. Buah berbentuk buah apel. Ada tiga warna buah, merah,
kuning dan putih. Rumah tampak sepi, pintu pagar yang terbuat dari bilah bambu
terbuka sedikit. Di atas pintu pagar berdiri gapura bertiang kayu dan
beratap ijuk.
“Iya, sejak kapan ada rumah orang di dekat
ladang kita.” Kata Antam. Keduanya tanpa curiga melangka mendekati rumah diantara pohon
buah-buahan.
“Jangan Koyong, ingat pesan kakek. Agar
kita menjauhi gaung yang ada negeri
suban. Mungkin kita sudah tersesat dan tidak sengaja kita masuk. Baiklah kita
kembali, pulang.” Kata Nalja dengan rasa khawatir.
“Ah, kau penakut sekali, anak jantan
pula.” Kata Antam. “Kita memang belum perna bermain ke hutan ini. Mungkin
memang ada ladang orang.” Lanjutnya.
“Benar juga.” Ujar Samdu.
“Ayo kita cari tahu dan meminta buah
yang enak itu.” Kata Antam. Kalau kau takut pulanglah, tapi saya tidak mau
memberimu buah enak itu.” Ujar Antam pada Nalja. Tentu saja Nalja takut pulang
sendiri dan dia juga ingin makan buah yang tampak enak itu.
“Permisi. Ada orang.” Teriak Antam
beberapa kali. Tapi tidak ada sahutan, oleh sebab itu Antam mengajak kedua
adiknya lebih dekat. Membuka pintu pagar dan melangkah masuk halaman. Mereka pikir rumah tidak ada
penghuninya. Nalja takut dan tidak mau. Tapi tangannya ditarik Samdu.
“Ada apa mau apa, cucu-cucu tiba di
sini.” Sapa seorang nenek tua tiba-tiba. Ketiganya terlonjak kaget bukan
kepalang dan wajah merah padam, ketiganya juga gemetaran. Nenek tua bongkok
berjubah coklat, bertongkat kayu, mulutnya komat kamit mengunya siri-pinang.
Kulit coklat yang sudah keriput dan matanya menatap tajam ketiga kakak beradik itu.
“Ka..kami sedang bermain dan tersesat
lalu tiba di sini.” Ujar Antam agak gemetar.
“Benar begitu. Tapi mengapa kalian masuk
halam rumah orang tanpa permisi.” Tanya si nenek lagi.
“Maaf Nek, kami panggil-panggil
tidak ada yang menjawab. Boleh kami meminta buah nenek yang tampak enak itu.” Kata
Samdu. Nenek itu tidak langsung menjawab. Dia memandangi ketiganya dengan
tajam, baru dia berkata.
“Itu buah budi namanya. Jangan berbuat
tidak baik, sebab akan menimbulkan hukuman. Aku mengizinkan kalian memakan tiga
bua untuk satu warna. Ambilah, setelah makan buah kalian pulanglah. Aku mau
pergi ke sungai mengangkat bubu.” Kata si nenek.
“Baiklah nenek, terimakasih.” Kata
Antam dengan gembira sekali. Nenek tua bongkok itu mengambil sebuah keranjang
dan pergi meninggalkan ketiganya. Tampak dia berjalan perlahan di jalan
setapak. Sementara Antam, Samdu dan Nalja mendekati sebatang pohon. Ketiganya memetik buah itu, dan
mulai memakannya.
“Buah ini sangat enak.” Ujar Samdu
sambil memakan dengan lahap sekali.
“Kita hanya boleh memakan tiga bua,
dalam satu warna, Koyong.” Kata Nalja mengingatkan.
“Ahhh, nenek itu sedang pergi. Buah ini begitu banyak, pasti dia tidak tahu berapa yang kita makan. Tidak ada yang melihat juga. Makanlah sepuasnya dan bilang kalau kita hanya makan tiga buah dalam satu warna.” Kata Antam. Samdu tersenyum dan sepakat. Nalja hanya mengambil tiga buah dalam satu warna. Lalu dia duduk di bawa pohon makan dengan perlahan dan lahap. Lima buah dia habiskan, dan empat buah sisakan untuk ayah dan ibunya. Setelah puas makan, mereka mau pulang. Antam dan Samdu juga membawa banyak buah itu dengan memetik dahan buah, lalu meninggalkan rumah si nenek.
Beberapa saat kemudian ketiganya tiba di pinggiran ladang mereka. Saat masuk ladang, Antam dan Samdu merasa kepalanya pusing. Keduanya bertanya pada Nalja apakah kepala pusing seperti kepala mereka. Nalja menggeleng dan terus berjalan. Karena pusing Antam dan Samdu terjatu dan bersandar pada batang pohon hitam di tengah ladang mereka. Keduanya memanggil ibu dan ayahnya. Sementara Nalja tampak takut dan menangis. Dia kemudian berusaha menarik-narik kedua kakaknya agar ke pondok segera. Namun tenaga anak umur delapan tahun tak dapat berbuat apa-apa. Lalu dia berlari-lari menyusuri jalan setapak di tengah ladang menuju pondok. Dia memberi tahu keadaan kedua kakaknya. Lalu ayah dan ibu mereka mendatangi keduanya diikuti Nalja.
“Makkkk. Bakkkkkk. Nalja adikkuuuu.”
Teriak Samdu dan Antam histeris ketakutan. Saat melihat kedatangan kedua orang
tuanya dan Nalja. Belum sampai kedekat keduanya. Tiba-tiba terdengar suara petir yang keras dan
angin bertiup kencang. Kemudian hujan turun dengan derasnya. Kabut muncul
menutupi tubuh Antam dan Samdu. Beberapa saat kemudian keduanya menghilang dari
pandangan mata.
“Anaakkkkuuuuuu.” Teriak ibu dan ayahnya. Lalu menangis mengenang keduanya.
Keesokan harinya Nalja menceritakan semua perbuatan
mereka kemarin.
Dimana mereka meminta buah budi pada seorang nenek-nenek. Mereka hanya diizinkan
memakan tiga buah dalam satu warna. Namun kedua kakaknya tidak jujur, dan makan
sesuka hatinya karena si nenek pergi. Mengertilah mereka kalau Antam, Samdu dan
Nalja tersesat ke negeri suban. Sejak saat itu Ibu mereka selalu menangis setiap hari.
Sampai pada suatu malam bermimpilah ibunya pada Antam dan Samdu.
“Umak jangan menangis dan bersedih lagi,
yang terjadi adalah kehendak tuhan. Kalau Umak, rindu pada kami datangi batang pohon
di mana
kami terjatu. Di batang pohon itu, akan tumbu cendawan kecil keabuan mirip
warna buluh tikus dan cendawan berbentuk telinga. Masaklah jamur itu, akan
terasa enak sekali. Dengan begitu akan mengobati rasa rindu Umak, Bak dan Adik
pada kami. Jamur akan tumbuh di musim hujan sepanjang tahun.” Kata
Antam.
“Umak, Aku dan Koyong pamit, nak pergi jauh.
Kami meminta maaf sebab melalaikan nasihat kakek dan nasihat Umak dan Bak.
Sebab itulah kami menerima hukuman ini. Kami bangga
dengan Nalja, dia jujur dan tidak seraka.” Kata Samdu. Sementara itu, dalam tidurnya Nalja juga bermimpi bertemu kedua
kakaknya.
“Adikku, tetaplah jadi orang jujur dan tidak seraka. Patu pada kedua orang tua, serta
selalu mendengarkan nasihat. Karena akan menyelamatkan hidupmu dan akan
membahagiakan semua orang. Koyong minta maaf sebab telah berbuat salah,
memberikan contoh yang tidak baik.” Kata Antam. Lalu ketiganya
berpelukan dan Nalja menangis sedih.
“Nalja. Nalja. Bangun, kamu bermimpi ya.” Ujar ayah Nalja Ayah Nalja membangunkannya.
Sejak saat itulah, jamur tikus dan jamur kuping muncul di dunia ini. Sering tumbuh di batang-batang pohon rapu di hutan, atau di tengah ladang warga. Jamur itu tumbuh kembang biasanya setelah hujan di pagi hari. Ibu-ibu berbondong-bondong memunguti jamur, yang sangat enak rasanya.
Oleh. Joni
Apero
Editor.
Melly.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
13 Februari 2021.
Arti Kata: Koyong:
Kakak. Umak: Ibu. Bak: Ayah. Pondok: Bangunan tempat tinggal sederhana. Getuk:
Kentongan. Gaung: tanah berongga atau lobang besar pada tanah dimana mata air
keluar dari dalamnya. Cendawan: Jamur. Talang: Kampung/desa. Nama pemukiman
tradisional di provinsi Sumatera Selatan. Embacang: Nama jenis buah sejenis
mangga.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment