Memahami Simbol-Simbol Dalam Masyarakat Islam: Simbol Islam dan Simbol Ketaqwaan.
APERO
FUBLIC.- Kita
kaum muslimin dizaman sekarang masih terjebak oleh simbol-simbol yang menutup
pandangan kita terhadap sesuatu keimanan yang ikhlas dari hati. Memang sulit
lepas dari simbol-simbol tersebut. Sebab kurangnya pemahaman masyarakat Islam
kita tentang ilmu pengetahuan keislaman. Dari ilmu syariat, budaya Islam,
sejarah Islam Itu disebabkan malasnya belajar terutama mengkaji Al-Quran dengan
artinya.
Simbol-simbol
dalam bentuk status sosial dengan gelar-gelar. Dalam masyarakat kita ada banyak
gelar untuk pemuka agama kita. Misalnya Ustadz, Kiyai, Ulama, haji, haja, Imam
dan sebagainya. Dengan gelar tersebut masyarakat Islam menilai dan mencap
mereka itu sebagai orang yang beriman, jujur dan baik akhlaknya. Masyarakat
lupa dan tidak tahu kalau gelar itu mereka sebutkan sendiri. Zaman kita sudah
berbeda dengan zaman dahulu dimana orang munafiq berkeliaran dimana-mana.
Biasanya
karena orang tersebut bisa cerama, sering tampak ibadah ke masjid atau memiliki
pesantren. Gelar kiyai sudah ada sejak zaman hindu-budah, ustadz (dosen) itu
sama artinya dengan pengajar atau guru, haji dan haja sebab sudah berangkat
haji. Gelar haji mulai diberikan pada saat penjajahan Belanda. Karena dulu
Belanda ingin mengawasi orang tersebut, kalau-kalau melakukan perlawanan.
Karena orang berangkat haji zaman dahulu disertai belajar dan adanya pengaruh
Pan Islamisme.
Jadi, tidak ada hubungannya gelar-gelar mereka itu dengan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mereka. Sehingga kita dapat mempercayai segalah sesuatu pada mereka tanpa pengawasan. Misalnya uang khas masjid atau uang pembangunan masjid. Atau kalau dipesantren mempercayakan 100 persen anak gadis kita pada kiyai atau ustadz di pesantren tersebut.
Dimana kita meminta penerapan hukum Islam secara
menyeluruh. Berlaku, baik itu ustadznya atau pemimpin pesantren. Tidak ada
hukum Islam yang membolehkan yang bukan mahram berdua-dua ditempat sepi atau di
dalam ruangan tertutup atau berdua-dua walau di dalam masjid. Begitu juga
shalat malam berdua antara santriwati dengan kiyai (ustadz) yang bukan mahram.
Contoh:
dalam firman Allah SWT yang tidak membedakan manusia satu sama lain, seperti
dari warna kulit, ras, bangsa, suku dan lainnya kecuali ketaqwaannya.
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di
sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (Al-Hujurat: 49:13).
Oleh
sebab itu, gelar-gelar bukanlah ukuran untuk ukuran ketaqwaan seseorang. Gelar
bukan jaminan untuk kejujuran dan bebas dari syawat dan nafsu duniawi. Gelar
berlaku untuk menghormati dan menghargai seseorang, misalnya dia lebih tua atau
guru kita.
Simbol-simbol
keimanan denga tanda hitam di kening, ibadah yang berlebihan tanpa perhitungan
lalu mengabaikan kewajiban lainnya, berjanggut dan simbol-simbol lainnya. Dalam
hal ini bukan menyalahkan, tapi membuang sifat atau pemahaman bahwah hal
demikian menandakan orang tersebut beriman (bertaqwah). Kalau hal demikian
memang adanya dari hatinya ikhlas, tidak masalah. Begitu juga masyarakat Islam
jangan memandang yang demikian tandanya bertakwah atau orang suci. Kalau belum
berjanggut, belum ada tanda sujud di kening berati belum berislam dengan
sempurnah. Adalah pemikiran yang keliruh.
Simbol-simbol
dengan benda-benda misalnya dengan kopiah, peci, busana Timur Tengah, Asia
Tengah, memakai kain, baju koko, dan lainnya. Asal kita tahu, orang Mianmar
kemana-mana memakai kain, bahkan saat pergi kuliah, kepasar, keladang, dan
lainnya, mereka beragama buddha. Kita sebagai muslim beriman harus lepas dari
atribut-atribut demikian, agar hati kita bersih dan bebas dari simbol keimanan
yang membuat kita riyah atau merasa lengkap ketaqwaan keislaman kita sebab
simbol-simbol demikian.
Tidak
salah kita mengenakan busana demikian, tapi jangan sampai kita menjadikan hal
tersebut sebagai tanda kelengkapan iman atau merasa sudah sangat saleh. Begitu
juga sebagai masyarakat Islam kita jangan sampai menganggap orang-orang yang
mengenakan pakaian-pakaian demikian, mereka lebih dari kita keimananannya atau
mereka orang yang dapat dipercaya 100 persen. Dari itu, kita haruslah bersifat
biasa-biasa saja, dengan budaya kita. Hanya Allah yang tahu kadar keimanan
ketaqwaan seseorang dan keimanan kita. Berbeda dengan muslima, apa pun keadaan
keimanannya memang harus menutup aurat dengan baik sesuai ajaran Islam.
Selain
itu, ada juga simbol umum masyarakat Islam. Simbol umum adalah simbol yang
mewakili komunitas Islam secara menyeluruh atau luas. Misalnya masjid yang
berkubah, kubah dengan bulan bintang, bendera dengan gambar bulan dan bintang,
kaligrafi dengan hurup Arab, memakai nama-nama orang Arab. Adalah bentuk simbol
umum yang harus diketahui oleh masyarakat Islam secara luas. Agar pemikiran
kita tidak buntu dan seolah-olah Islam terpisah dari komunitas manusia
diseluruh dunia.
Kubah
masjid berkembang dari sistem arsitektur kuno Timur Tengah diantaranya
peradaban Babilonia. Di Turki berkembang dari arsitektur kuno Hagia Sophia dan
lainnya. Perlu diketahui penggunaan bulan bintang dimasjid bentuk pengaruh pan
Islamisme Turki dan pengaruh Kekhalifaan Turki Usmani. Di Asia Tenggara zaman
sebelum pergerakan Pan Islamisme diatas atap masjid berupa memolo dengan hiasan
dari perunggu atau tanah liat. Hal demikian tedapat pada masjid-masjid kuno
Indonesia.
Penyimbolan
juga dengan kaligrafi hurup Arab pada bangunan masjid atau atribut masyarakat
Islam. Sesungguhnya kaligrafi masyarakat Islam boleh menggunakan aksara Arab,
aksara Cina, aksara latin, aksara Korea, aksara Rusia dan sebagainya. Asalkan
dengan kata-kata yang menjelaskan keislaman. Selain itu, penggunaan nama dalam
Masyarakat Islam. Penggunaan nama boleh nama-nama selain nama orang Arab.
Penggabungan nama Arab dan non-Arab, atau nama sesuai bahasa masyarakat di
suatu tempat atau negara. Seorang mualaf juga tidak perlu mengganti namanya,
saat menjadi muslim.
Apa
alasan dalam tulisan ini, yang tentu akan sangat berbeda bagi sebagian orang.
Pertama agar masyarakat Islam mengetahui sehingga tidak mudah ditipu dan
dibohongi orang. Agar tidak muncul kecemburuan budaya antar satu budaya dengan
budaya lainnya. Menyadari kalau Islam adalah untuk seluruh manusia tanpa ada
golongan yang ditinggikan, mengingat hanya ketaqwaanlah yang menjadi ukuran di
hadapan Allah.
Salah
satu pelajaran yang saya dapati dari tulisan hoax. Pada tulisan itu, memuat
gambar kubah gereja dengan simbol salib di atas kubah. Dalam tulisan itu, agar
hati-hati karena ada kelompok kristen yang mengikuti cara Islam beribadah untuk
memurtadkan umat Islam. Kalau kita menyadari kubah bukanlah milik masjid saja.
Tentu kita tidak akan tertipu, sebab gereja tersebut adalah sebuah gereja di
Palestina dimana terdapat makam Yesus menurut kepercayaan umat Kristiani.
Begitu juga gereja di Rusia banyak juga yang berkubah-kubah.
Masjid
hanyalah tempat ibadah kita umat Islam. Pada dasarnya seluruh muka bumi ini
adalah masjid. Umat Islam boleh beribadah shalat dimana saja asal memenuhi
ketentuan sahnya, misalnya tidak di atas kuburan, tidak ada najis, tidak di
dalam rumah ibadah non muslim yang ada patung dan tidak mengganggu aktivitas
orang. Masjid yang dibangun Rasulullah pertama hanyalah berupa bangunan
sederhana terbuat dari tanah liat yang beratap daun kurma. Tentu saat membangun
masjid kita perlu merumuskan ketentuan umum, bukan ketentuan fisik gedung.
Ketentuan umum misalnya, menghadap kiblat, tidak mengganggu baik non muslim
atau saudara kita muslim, tidak di atas kuburan, tidak menyerupai rumah ibadah
non muslim, tidak ada berhalah, bentuk yang sesuai sebagai tempat ibadah serta
ramah lingkungan (masjid hijau).
Ketika
membangun masjid di Eropa kita sesuaikan dengan arsitektur Eropa. Agar tidak
ada kecemburuan budaya. Pernah muncul statmen “arabisasi” menurut orang Eropa
saat membangun masjid berkubah di Eropa. Begitu juga misalnya di Cina, atau di
Korea juga mengikuti pola arsitektur budaya mereka dan kaligrafi aksara mereka.
Agar fitra Islam untuk semua manusia, bukan hanya untuk suatu kaum tertentu
saja hadir.
Demikianlah
sedikit pembahasan tentang simbol keislaman kita. Semoga ada pengembangan dalam
pengertian keislaman secara global. Namun tetap berpegang pada kaidah Islam,
yaitu Al-Quran, As-sunnah dan Ulama. Masih banyak kekurangan dalam tulisan ini.
Silakan berkomentar dan memberikan masukan. Terutama untuk melepas paham
sepihak kita dan membuka pemikiran kita dalam memahami antara budaya masyarakat
Islam dan mana Syariat Islam. Mari belajar bersama-sama dalam Islam.
Disusun: Tim
Apero Fublic
Editor.
Joni Apero
Palembang, 2 Februari 2022.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment