Dongeng Toraja: Bue Manik dan Asal Burung Tekukur
“Ibu,
siang ini kita memasak sayur apa.” Tanya Bue Manik pada ibunya.
“Sayur
saja, yang disebelah adikmu Kalisu.” Kata ibunya sambil menenun. Ibu Bue Manik
sebelumnya memetik sayur dan dia letakkan di sisi anaknya bernama Kalisu yang
baru berumur 10 bulan. Ternyata Kalisu
tidak lagi duduk ditempat semulah, dia memang selalu merangkak ke seluruh ruangan.
Kebetulan, Kalisu baru saja buang kotoran dan kotorannya bercecer di
sampingnya. Melihat itu, Bue Manik adalah orang yang sangat penurut dan polos.
Dia pun salah pengertian dengan apa yang dikatakan ibunya. Hari pun telah
siang, ibunya sudah lapar. Dia ingin makan dan pergi ke dapur. Ibu Bue Manik
heran, mengapa sayur begitu aneh bentuknya. Bagaimana anaknya dapat memasak
sayur demikian, pikirnya.
“Bue
Manik, bagaimana kau memasak sayur demikian. Seharusnya berwarna hiaju mengapa
warnanya kuning-kuning, seperti kotoran adikmu.” Tanya ibu Bue Manik, dia
mencicipi satu sendok kedalam mulutnya, rasanya sangat aneh.
“Itu
memang kotoran adik, Ibu. Ibu tadi bilang agar menyayur yang berada di samping
adik. Waktu Aku menemuinya di ruang depan hanya kotorannyalah yang ada di
sampingnya. Jadi Aku sayur kotoran adik sesuai perintah ibu.” Jawab Bue Manik.
Bukan main marahnya ibu Bue Manik. Dia mengambil sapu lalu melangkah ke ruang
tengah. Ibu Bue Manik berteriak marah-marah dan dia berkata kalau yang dia
maksud sayuran yang ada di dalam keranjang dimana dia letakkan tadi di samping
adiknya, Kalisu. Melihat ibunya sangat marah dan akan memukulnya dengan gagang
sapu. Bue Manik berlai dari rumah dan menuju sebuah arah. Tampak ibunya berlari
mengejarnya dari belakang dengan membawa sapu. Sambil mengejar tampak ibunya
selalu meludah membuang sesuatu dari mulutnya. Bue Manik kemudian menemukan
sebuah batu bagaikan manusia yang sedang duduk (batu tongkong), Bue Manik duduk
di dekat batu lalu berkata.
Batu tumbek
batu tumbek.
Terbukalah
jalan saya jalan ke situ.
Saya dikejar
oleh ibuku.
Bersama orang
tuaku.
Kemudian
batu itu membuka mengnganga dan melompatlah Bue Manik ke dalamnya. Setelah Bue
Manik berada di dalam batu, batu kemudian menutup kembali. Saat ibunya tiba di
dekat batu dia tidak dapat lagi mencega Bue Manik masuk batu. Sehingga
menangislah ibu Bue Manik terseduh-seduh.
“Tiga hari tiga malam kemudian barulah kau dapat mengambil anakmu.” Sebuah suara berkata-kata seperti suara manusia tapi tidak ada wujudnya. Mendengar itu, ibu Bue Manik pulang dan menunggu selama tiga hari tiga malam. Kemudian dihari ketiga, dia datang untuk mengambil anaknya, Bue Manik.
Batu Tumbek
batu Tumbek.
Tolonglah
bukakan saya.
Saya mau
mengambil anak saya.
Mengejar darah
dagingku.
Setelah berkata demikian, ibu Bue Manik menunggu beberapa saat. Kemudian perlahan terdengar suara gemuruh batu itu terbelah dan membuka lebar. Namun aneh, didalam batu itu tidak ada Bue Manik. Melainkan puluhan burung tekukur dan terbang meninggalkan batu itu dan ibu Bue Manik. Mengertilah ibu Bue Manik, kalau anaknya telah berubah menjadi burung tekukur. Dalam kisah ini, sampai sekarang di daerah Tondon, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Tanah Toraja ada batu yang bernama, Batu Tumbek.
Rewrite. Tim
Apero Fublic
Editor.
Joni Apero
Palembang, 30 Mei 2022.
Sumber:
Muhammad Sikki, Dkk. Struktur Sastra Lisan Toraja. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.
Sy. Apero
Fublic
Post a Comment