Melacak Ketergantungan Bahan Kain dan Pakaian pada Monopoli dan Pabrik Tekstil.
Ketergantungan
pada tekstil hasil industri adalah upaya-upaya monopoli penguasa Lokal dan
Penjajah. Penciptaan monopoli tekstil bentuk pembentukan pasar dari pabrik
tekstil. Dimana industri dipegang oleh negara-negara kolonial, Belanda di
Indonesia. Bukan hanya kemampuan menenun dan memintal benang yang musnah,
bahkan secara perlahan model berpakaian juga ikut berubah. Baik itu
penyederhanaan bentuk dan model juga terpengaruh budaya penjajah.
Pada
abad ke-18 (1738-1739) Sultan Mahmud Badaruddin melakukan monopoli perdagangan
merica (sahang) di pedalaman. Semua sahang hasil perkebunan masyarakat di uluan
diborongnya dan keluarga-keluarga sultan. Kemudian ditukar dengan bahan-bahan
yang diperlukan di pedalaman, terutama pakaian dan kain-kain. Semua harga telah
ditentukan oleh pihak Sultan. Keuntungan dari pakaian-pakaian tersebut sangat
besar, karena mereka beli dengan murah pada agen di Batavia (Jakarta). Disisi
lain perdagangan emas di Limun juga ditukar dengan kain dan pakaian. Pihak
Sultan menunjuk anatara 12 sampai 15 orang perwakilan mereka, disebut jenang.
Pada pondok-pondok sederhana yang baru dibuka penuh oleh kain-kain yang baru
dibawa dari Palembang. Sedangkan Palembang mendatangkan kain dari Batavia.[1]
Hal
demikian juga terbaca dalam kontrak perjanjian antara Sultan dan Belanda pada
1755. Dimana Sultan Mahmud Badaruddin setujuh mengambil langkah-langkah tegas
atas penyelundupan timah. Memperbesar produksi merica dan mengizinkan Kompeni
Belanda menginveksi kapal-kapal lain. Sultan juga berkata kalau dia juga akan
mencegah penanaman kopi, beras, dan kapas.
Pada
pencegahan penanaman kapas adalah bentuk pengembangan monopoli terhadap
pakaian. Hal demikian juga sangat menguntungkan Sultan dan Keluarganya untuk
memonopoli merica (sahang) dari pedalaman, dan belanda juga dapat pasar menjual
hasil industri tekstil mereka. Pencegahan penanaman padi atas beras juga bentuk
monopoli perdagangan beras dan mencegah energi rakyat terbuang pada tanaman
padi. Sehingga akan menurunkan produksi merica yang menjadi komoditas
perdagangan utama. Begitu juga penanaman kopi, selain Belanda yang akan
memonopoli penjualan kopi pihak Sultan dan Keluarga juga mencegah hilangnya
petani merica.
Akibat-akibat dari perjanjian dagang tersebut ternyata membuat ketergantungan masyarakat pada pihak Sultan dan Belanda. Pihak Sultan semakin kaya raya dan begitu juga orang-orang Belanda. Rakyat hanya menanam merica dan meninggalkan penanaman kapas. Mereka tidak lagi sibuk memintal benang dan pengolahan kapas untuk pakaian. Perlahan kreatifitas tersebut menghilang, sementara mereka dengan mudah mendapat kain dan pakaian yang dijual pihak Sultan. Keadaan demikian berlanjut dari tahun ke tahun. Dari satu penguasa ke penguasa lainnya sampai berakhir Pemerintahan Kesultanan, 1824.
Pada
masa kolonial Belanda juga demikian. Rakyat lebih sering menanam tanaman
perkebunan, seperti kopi, teh, padi, merica dan jenis rempa-rempah lainnya.
Perkebunan kapas juga diusahakan oleh pihak Kolonial Belanda. Sehingga
masyarakat menjadi buruh di perkebunan kapas atau menjadi buruh pabrik di
pengolahan kapas-tekstil. Dengan demikian, sistem kemandirian dalam memenuhi
kebutuhan pakaian telah punah. Ibu-ibu dan remaja putri tidak lagi pandai memintal
benang dan membuat kain atau pakain dari menenun.
Keadaan
demikian mencapai puncaknya ketika penguasaan Jepang di Indonesia. Banyak
orang-orang Indonesia kekurangan pakaian, sehingga banyak yang hampir
telanjang. Bukan tidak ada uang untuk membeli, tapi tidak ada suplai dari pusat
industri terhenti karena perang. Sementara disisi lain, kepandaian dalam
memintal benang dan menenun sudah tidak ada lagi. Kapas pun tidak mereka tanam
lagi, kecuali beberapa batang pohon kapas untuk keperluan kecil.
Alat
tenun tidak ada lagi, bahkan banyak masyarakat yang tidak lagi mengenal bentuk
alat tenun. Hanya sedikit lagi masyarakat yang masih dapat menenun di Sumatera Selatan.
Itu masih dapat ditemukan di Kabupaten Ogan Ilir, dimana masih banyak penduduk
yang pandai menenun. Namun kepandainya mereka hanya sebatas membuat kain
tradisional songket untuk dijual. Penduduk yang membeli digunakan sebatas
upacara adat pernikahan atau acara-acara resmi pemerintah.
Begitulah sedikit gambaran bagaimana monopoli tekstil terjadi dan menghancurkan kreatifitas menenun masyarakat. Masyarakat kehilangan kemandirian dalam bidang memproduksi pakaian mereka. Kalah oleh politik dan perjalanan sejarah, kalah pasar oleh industri, dan jangkauan ekonomi yang dapat memperoleh pakaian murah. Tanpa harus bersusah payah menanam kapas, memintal benang juga menenun.
Oleh. Joni
Apero.
Editor.
Arip Muhtiar, S.Hum.
Palembang,
29 Mei 2022.
Referensi.
Barbara Watson Andaya. Hidup Bersaudara: Sumatera Tenggara pada Abad XVII dan
XVIII. Ombak: Yogyakarta, 2016.
Sy. Apero
Fublic
[1]Barbara Watson Andaya. Hidup Bersaudara: Sumatera Tenggara pada Abad XVII dan XVIII. Ombak: Yogyakarta, 2016.
Post a Comment