DONGENG WOLIO: Asal Usul Pohon Enau
Pada
suatu hari diadakan sebuah acara keramaian di kampungnya. Putri cantik itu
datang untuk melihat-lihat. Dalam kesempatan itulah seorang pemuda menyatakan
perasaannya dengan sindiran-sindiran. Tapi sudah menjadi sifat wanita, kalau
dia tidak akan mau menjawab langsung. Tetapi gerak dan tingkah lakunya menandakan
keinginan yang tersembunyi di dalam hatinya
Menurut
dugaan pemuda itu, putri cantik itu juga menyukainya. Kemudian dia memutuskan
mengajak orang tuanya untuk melamar si putri. Putri itu, akhirnya menerima
lamarannya. Dengan adat dan istriadat yang berlaku di kampong mereka. Karena
tidak baik menolak hajat orang yang bertujuan baik. Karena hal tersebut akan
membawa dampak buruk padanya di kemudian hari. Maka dari itu, keluarga si
pemuda pulang dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk pernikahannya.
Di
luar dugaan dua hari kemudian datang juga seorang pemuda dan keluarganya dan
melamar si putri cantik. Karena lamaran pemuda pertama belum resmi dan pasti
sekali. Maka terpaksa si putri cantik juga menerima lamaran si pemuda kedua.
Dua hari kemudian kembali datang pemuda melamar lagi. Sampai akhirnya pelamar
si putri sudah mencapai empat puluh orang. Keempat puluh pemuda tidak ada yang
saling mengenal dan mengetahui kalau si putri sudah dilamar banyak pemuda.
Hingga pada suatu hari semua pemuda yang melamar si putri hadir secara
bersamaan di rumah putri untuk memastikan lamaran dan kapan pernikahan. Mereka
bertanya satu sama lain, dan terkejut karena tujuan sama.
Putri
yang cantik itu kebingungan, siapa yang akan dia terima jadi suaminya. Dia
tidak dapat menentukan siapa yang akan dia pilih. Oleh karena itu, putri
meminta waktu selama tujuh hari untuk menentukan pilihannya. Maka semua pemuda
itu pulang dan datang kembali tujuh hari kemudian.
Saat
ke empat puluh pemuda itu tiba di rumah putri cantik itu. Keadaan tubuh si
putri telah berubah bentuk lain. Kakinya telah tertanam ke dalam tanah dan
muncul akar-akar yang kita kenal dengan akar pohon enau.
“Kakanda
semua, datanglah tujuh hari lagi. Aku akan menentukan siapa yang akan menikah
denganku.” Kata si putri cantik. Keempat puluh pemuda itu kemudian pulang.
Tujuh hari kemudian hanya setengah dari mereka yang tiba. Dua puluh orang
pemuda menemui tubuh si putri sudah setengah berubah menjadi pohon enau.
“Kakanda
semua, datanglah tujuh hari lagi agar Aku bias menentukan siapa yang akan
menikah denganku.” Kata putri itu.
Tujuh
hari kemudian seluruh tubuh putri cantik itu telah benar-benar berubah. Kuku
menjadi akar, badannya menjadi batang, bagian dadanya menjadi buah enau muda,
kepala menjadi daun, sedangkan rambutnya menjadi ijuk. Dalam tujuh hari itu
juga, sudah ada kemayang yang menggantung dan siap di sadap.
Pada
hari yang ketujuh terakhir itu. Yang datang hanya seorang pemuda, dialah yang
melamar pertama kalinya. Sedangkan pemuda yang lainnya tidak mau lagi dan mengundurkan
diri dari lamarannya. Pemuda itu, akhirnya merawat pohon enau itu. Dia memanen
buah enau dan dibuat kolang-kaling. Dia juga menyadap bungah dan mendapat air
nira. Kemudian dia jadikan gula merah dan semacam minuman memabukkan. Daunnya
dia jadikan sapu lidi. Ijuk dia gunakan menjdi sapu dan atap rumah.
Sebelumnya putri cantik itu menjadi pohon enau, dia bersumpah, “barang siapa meminum airku besok lusa, dia akan merasa pusing dan ketagihan.” Itulah yang kita kenal dengan tuak enau. Pemuda itulah yang benar-benar mencintai si putrid an semua pemuda yang lainnya hanyalah tertarik sebab kecantikannya. Seburuk apa pun rupa kalau disyukuri pastilah ada maknanya.
Rewrite. Tim
Apero Fublic
Editor.
Joni Apero.
Tatafoto.
Dadang Saputra
Palembang,
21 Juli 2022.
Sumber.
M.Arief Mattalitti, Dkk. Sastra Lisan
Wolio. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: 1985.
Sy. Apero
Fublic
Post a Comment