Mengenal Sastra Lisan Lamut (Banjar)
Masyarakat
yang sangat percaya hal-hal tahayul. Sehingga dalam perkembangannya dalam hal
penghilang sial, rasa takut, mengobati orang sakit maka sastra lisan Lamut
sering dikorelasikan karena sistem sastra lisan lamut begitu melekat pada pola
pemikiran masyarakat. Sebaliknya, terdapat pula sorotan tajam agar menghindari
sastra lisan lamut. Maka seiring zaman masyarakat Banjar mulai mencari dan
mengembangkan kebudayaan lain.
Sastra
lisan lamut berkembang dari dasar jiwa masyarakat Banjar. Muncul dari
pengalaman pribadi penutur dan pemaduan dengan realitas sekitar seperti
kehidupan manusia, alam dan fenomena yang terjadi. Selain itu, seni lamut
berkaitan dengan sikap kelompok masyarakat Banjar dalam menganut kepercayaan.
Dalam seni lamut ada juga unsur-unsur kebudayaan Hindu.
Kemudian
masyarakat Banjar menjadi penganut Islam yang taat. Lalu masuk juga pengaru
Islam dalam seni lamut. Tokoh-tokoh dalam seni lamut seperti para dewa dan
mahkluk halus. Dalam pelaksanaan pelamutan sebagai bentuk komunikasi dengan
para Dewa. Pihak penyelenggara selalu menyiapkan piduduk sebelum gelar lamut
dimulai.
Pelamutan
dimulai dengan pembacaan matera-mantera. Mantra tersebut menurut palamut cukup
penting. Juga beranggapan dengan mantera tersebut dia mampu dan lancar dalam bercerita atau
bertutur. Selain matera juga dilengkapi sesajian yang ditujukan pada mahkluk
halus secara tradisional hanya diketahui oleh palamut.
Seiring
waktu banyak juga unsur-unsur yang ditinggalkan karena bertentangan dengan
ajaran Islam. Apabila dalam rangkaian membayar nazar atau hajat, pagelaran
harus menyiapkan seperangkat piduduk dan sejumlah kue tradisional. Secara
tradisional piduduk ini menjadi simbol pembayaran nazar. Setelah semua
perlengkapan tersedia, barulah palamut mulai bercerita tutur.
Pelamutan
selalu dimulai dengan ritual kecil, seperti membakar kemenyan. Sebelumnya
palamut juga melakukan persiapan batin. Dimaksudkan agar palamut kuat selama
membawakan cerita. Saat pembakaran kemenyan, palamut membaca mantera untuk
memikat para penonton. Apabila selesai membaca mantera dan pembakaran kemenyan,
palamut kemudian membelah sebiji buah kelapa muda. Kemudian meminum airnya.
Kemudian palamut mengakat tarbang, sejenis alat musik. Palamut kemudian
membisikkan sesuatu pada tarbang. Bisikan tersebut tidak lain adalah mantera
agar tarbang saat digunakan dapat bersuara nyaring dan merdu didengar para
penonton.
Palamut
adalah pelaku dari penutur cerita dalam tradisi lamut. Balamut adalah orang
yang menyelenggarakan tradisi lamut. Dengan demikian, sastra lisan lamut
berpadu dengan, kepercayaan, budaya, dan kesastraan. Banyak seniman lamut
muncul dari darah Hulu Sungai Utara serta tersebar di daerah Banjar.
Seni
lamut memiliki dua fungsi, pertama sebagai seni tontonan atau hiburan, dan
kedua sebagai bagian dari upacara adat.
Pada
saat sekarang tradisi lisan lamut dapat dikembangkan sebagai garapan kreatif,
seperti pengolahan naskah drama, teori berlakon, atau penciptaan karya sastra
dengan pemanfaatan media tradisi sastra lisan lamut. Seni sastra lisan lamut
memiliki kemiripan dengan wayang . Hanya saja seni wayang menggunakan media
bayang-bayang dari tokoh yang terbuat dari media kulit atau lainnya. Sementara
seni lamut menggunakan sistem ritus pemujaan pada hyang.
Sebagaimana
diketahui dalam pagelaran seni lamut adanya piduduk. Piduduk bermaksud
membangun hubungan antara manusia dan alam semesta, antara mahkluk hidup dengan
penciptanya. Anatra tua dan muda, antara suami dan istrinya, antara kiri dan
kanan, dan keseimbangan lainnya. Sajian kue dengan aneka ragam rasa adalah
gambaran kekayaan jiwa dalam menjalani kehidupan di dunia.
Sejadian terdiri dari kue keras, kelapa, gula merah, pisang, kopi manis atau kopi pahit, rokok, dan air putih. Merupakan tawaran komunitas rohaniah, jiwa dan rasa agar dapat menyelami kehidupan yang tidak menentu (variatif). Sebelum memulai cerita lamut, pelamut membuka kelapa muda dan meminum airnya menandakan untuk membersihkan segala karat dan kotoran hati nurani manusia. Mereka yang meminum air kelapa muda berarti mendapat air kehidupan. Berikut contoh dari sastra lisan lamut berjudul, Kasan Mandi Raja Negeri Palinggam.
Bismillah
itu ma lapang kubilang kartas dan dawat jualan dagangan kartasnya putih selain lapang
pena pang manulis tangan bagoyang. Tintanya titih di kartas lapang bukan
badanku pandai mangarang hanya taingat di dalam badan.
Ka
pulau bakara pulang pupang dibilang satu pang tali, dua pang lalaran, katiga
pang tungkat, ampat ukuran, kalima jarum, anam kulintang, katuju pos, delapan
padoman, kasambilan juri pulitis, nomor sapuluh dengan aturan.
Sapuluh
tadi dengan aturan, dimana tali awal permulaan kena saya membuliliakan.
........................
Dahulu
itu zaman dewa, banyak batuhan, nabinya Dewa, tuhan sangiang di Jumantara.
Dahulu itu jamannya dewa banyaknya manyambah patung babarhala, di alam
pawayangan.
Adapun
di alam pawayangan, pawayangan itu sama awan di alam kita jua. Apa sababnya
sama-sama, atikad di alam pawayangan, karena di alam beda langit, bumi,
matahari, bulan bintang dan sebagainya itu, di alam pawayangan.
..........................
Alkisah
awal carita sebuah banua.
Jar
carita sabuah banua, yakni namanya Nabi Palinggam. Palinggam, namanya kota
Palinggam. Kota Palinggam lebar, tanahnya tinggi, kartaknya panjang, alun-alun
luas, babatuan padir, nalam biduri. Di Banua Palinggam, makmurnya negeri
Palinggam kaya urang di Banua Palinggam, subur di negeri Palinggam, siapa yang
nang manjadi di Banua Palinggam namanya Raden Hasan Mandi, adilnya murahan,
urang maminta dibari, maminjam diinjami, bautang apa lagi, itulah keadilan
raja, apa di Negeri Palinggam apa?
Sarang
samut mengambang kapas.
Mariannya
labai babaris-baris.
Terbangku
handak kulapas.
Waktunya
sampai jamnya habis.
Demikianlah sedikit cuplikan permulaan atau pengantar dari seorang palamut dalam mengawali cerita tuturnya yang berjudul Kasan Mandi Raja Negeri Palinggam. Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih banyak tentang sastra lisan lamut dapat membaca buku berjudul Struktur Sastra Lisan Lamut yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta pada tahun 1997, ditulis oleh Jarkasi, H. Djantera Kawi, H. Zainuddin Hanif.
Rewrite: Tim
Apero Fublic
Editor.
Joni Apero
Palembang,
16 Juli 2022.
Sumber.
Jarkasi, Dkk. Struktur Sastra Lisan Lamut.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.
Sy. Apero
Fublic
Post a Comment