Fenomena atau Kenyataan: Orang-orang Membenci Pertanian.
Doktrin inverior
dan efek penjajahan dan perbudakan telah merubah mental dan pikirian bangsa
Indonesia. Saat mereka melihat kehidupan kaum penjajah yang makmur, bekerja di
kantor dan berpakaian rapi. Saat itulah anggapan mereka muncul bahwa petani
adalah pekerjaan kelas rendah. Hanya menjadi PNS atau abdi negara yang mereka
doktrinkan pada anak-anaknya. Menjadi polisi, menjadi dokter, menjadi artis
atau lainnya.
Tidak satupun para
orang tua ingin anaknya menjadi petani. Padahal dunia pertanian adalah
pekerjaan paling penting. Dimana semua sektor kehidupan di dorong dan ditopang
oleh sektor pertanian. Kita tidak perlu membahas kekurangan beras. Saat cabai
harganya melambung sudah membuat panik seluruh masyarakat.
Kita lihat dunia
pertanian kita yang benar-benar tertinggal. Mulai dari SDM sampai ke teknologi
para petani. Semua tidak memadai dan amburadul dimana-mana. Pertanian
masyarakat kita sangat sederhana. Mengandalkan cangkul dan parang dalam
mengolah lahan mereka. Pengairan mengandalkan curah hujan atau air sungai
sekitar. Kemudian kesulitan dalam mengurus hama, pupuk, dan pemasaran. Sehingga
panen tidak menentu dan saat hasil panen melimpa. Harga turun dan menjadi
sangat murah.
Di sepanjang
jalan pedesaan kita menemukan perkebunan sawit atau perkebunan karet yang
ditanam tradisional. Sawit untuk beberapa tahun terlihat subur dan bersih.
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya akan mulai tidak terawat. Kesuburan
perkebunan sawit terus menurun. Panen telah menurun dan bahkan tidak ada lagi
hasil panen kemudian.
Karet yang
ditanam seadanya bermodal linggis dan pembersihan dengan parang. Hanya sebatas usaha
perkebunan tradisional yang bermodal kecil. Kelak, saat pembukaan kebun karet
rakyat mereka. Getah karet tidak begitu banyak dan hanya cukup di jual harian
atau mingguan. Dimana hasilnya hanya cukup dimakan sehari-hari.
Dalam kuwalitas
SDM masyarakat kita dibidang pertanian masih sangat rendah. Sistem tradisional yang
mereka kuasai dari meniru cara orang tua mereka. Demikian juga untuk lahan yang
telah digarap bertahun-tahun tentu akan menurun kesuburannya. Tak ayal lagi,
kehidupan petani terus merosot dan terpuruk. Kesulitan hidup terus melanda
mereka. Bahan-bahan pokok naik tak seimbang dengan pendapatan lagi. Jangankan
untuk mengkuliahkan anak di Perguruan Tinggi, makan sehari-hari pun seadanya.
Lalu adakah anak
muda yang bercita-cita menjadi petani. Ingin membangun dunia pertanian dan
mensejahterakan petani. Membuat orang menjadi bangga berprovesi sebagai petani.
Memang itu hal mustahil, tapi bukan tidak mungkin. Kita berharap suatu hari
nanti ada terobosan dalam dunia pertanian kita. Jangan seperti sekarang, pupuk
subsidi pun menghilang. Bukan karena tak dianggarkan. Tapi disulap dengan
sedemikian cara, itu tak ada tapi nyatanya ada. Hal ini, hanya tuhan yang dapat
menjawabnya.
Demikianlah, orang-orang tua yang berputus asah. Mereka mulai membenci kehidupan petani. Dari zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang. Ditambah lagi ada larangan membakar lahan, sehingga tambah sulit mereka menanam. Dengan alasan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Yang namanya petani pastilah orang miskin, hidup susah dan kekurangan. Lihat mereka PNS, Pekerja Kantoran yang bersih tampak gemuk dan sejahtera. Demikianlah kisah petani kita, yang semakin lama semakin sedikit. (Red)
Disusun: Tim Apero
Fublic
Editor. Rama
Saputra.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment