Kisah Perjuangan: Letjen (Purn) H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Kisah Singkat Perjuangan Kemerdekaan di Wilayah Komering.
Dimasa penjajahan Jepang, Alamsyah
mengikuti pendidikan militer Gyu Gun. Alamsyah memulai pengabdiannya
sejak tahun 1943 sebagai kepala staf kompi Gyugun Pengawal Pantai di Krui
Lampung, hingga di tahun 1972 beliau memperoleh kepercayaan sebagai Letnan
Jenderal TNI dan menjadi Duta besar RI untuk Belanda.
Alamsyah Ratu Perwiranegara juga pernah
menjabat sebagai Menteri Agama tahun 1978 – 1983 di masa kabinet pembangunan
III dan di masa kabinet pembangunan IV beliau pernah menjabat sebagai Menteri
Koordinator Kesejahteraan tahun 1983-1988. Dalam artikel ini penulis akan
membahas tentang perjuangan Alamsyah Ratu Perwiranegara di wilayah Komering
tahun 1945-1948.
Berita proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus1945, sampai di Provinsi Sumatera Selatan kota
Palembang, pertamakali di dengar oleh saudara Mailan, seorang operator radio
dari Palembang Shimbun pada tanggal 22 Agustus 1945. Kemudian berita ini
diteruskan kepada Dr. A. K. Gani salah satu tokoh Nasional dan merupakan
Gubernur pertama di Sumatera Selatan. Dr. A.K. Gani langsung menghubungi para
tokoh di Sumatera Selatan dan menyebarluaskan informasi tentang kemerdekaan.
Alamsyah Ratu Perwiranegara sejak mendengar
berita kemerdekaan Indonesia, beliau dengan tim nya langsung bergerak dan
datang ke pelosok-pelosok daerah Sumatera Selatan, untuk menyebarluaskan
informasi terkait proklamasi kemerdekaan Indonesia, salah satunya ke daerah
Ogan Komering Ulu dan sekitarnya.
Alamsyah Ratu Perwiranegara dengan
pidatonya membakar semangat juang rakyat, para pemuda serta Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang ada didaerah tersebut, mengajak untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 17 agustus 1945. Rakyat menyambut gembira berita proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang disampaikan oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara dan
timnya.
Dengan modal tekad yang bulat serta keberanian,
berkorban harta, tenaga, nyawa, bangsa Indonesia mulai menyusun barisan
perjuangan, mengorganisir sistem pemerintahan agar dapat mempertahankan
kemerdekaan, dengan semboyan perjuangan “Merdeka atau Mati”.
Pasca perang lima hari lima malam di
kota Palembang, yang menyebabkan pihak Indonesia (Sumatera Selatan), harus
mundur sejauh 20 Km. Peristiwa tersebut tidak melemahkan perjuangan Indonesia
untuk berjuang mempertahanakan kemerdekaan. Salah satu strategi di Sumatera
Selatan dalam menyusun gerakan perjuangan nya yaitu di daerah Komering Area,
dengan menjadikan Alamsyah Ratu Perwiranegara, sebagai pemimpin di daerah
Komering Area, dengan memimpin Resimen 44 Garuda Merah yang berkedudukan di
daerah Ogan Komering Ilir, pada saat itu pangkatnya adalah Kapten.
Ketika Belanda melanggar perjanjian
yang disepakati, Belanda memasuki batas wilayah garis demarkasi yaitu radius 20
Km dari kota Palembang, menyebabkan terjadinya pertempuran hebat, Belanda melalui
kekuatan senjata alat perang dan mobil pancernya untuk menggempur pertahanan
pasukan Indonesia di wilayah Komering Area, melihat banyak nya rakyat yang
gugur dalam perang, maka Kapten Alamsyah Ratu Perwiranegara menarik mundur
pasukan dan menjadikan desa Gunung Batu menjadi markas Resimen 44.
Strategi Alamasyah Ratu Perwiranegara
sebagai komandan Komering Area menggerakkan dan mengintruksikan pasukan Resimen
44, bersama rakyat bahu membahu untuk mendirikan dapur umum, menumbangkan
pohon-pohon besar sebagai rintangan dan penghalang jalan untuk Belanda,
kemudian membuat lobang-lobang perlindungan serta usaha-usaha menghancurkan
jembatan, untuk menghambat jalannya pasukan Belanda yang akan kembali memasuki
daerah Komering Area.
Meskipun demikian pada tanggal 27
Desember 1947, Belanda tetap melakukan penyerangan di wilayah Gunung Batu, dan mengancam
markas Resimen 44 Garuda Merah. Kondisi semakin memburuk karena serangan dari
Belanda dari berbagai penjuru yaitu darat dan sungai, kondisi perlawanan yang
tidak seimbang antara pasukan Indonesia mengalami kekalahan, menyebabkan pasukan
Resimen 44 batalyon garuda merah dibawah pimpinan Kapten Alamsyah Ratu
Perwiranegara harus mundur dan mengatur strategi kembali yang berkedudukan di
desa Campang Tiga, sehingga tanggal 28 Desember 1947 desa Gunung Batu telah kuasai
dan dijadikan markas pasukan Belanda.
Konsolidasi Kapten Alamsyah Ratu
Perwiranegara beserta timnya selalu dilakukan disetiap perpindahan pusat
kedudukan demi membuka ruang strategi untuk melawan pasukan Belanda yang sangat
lengkap dengan alat perang, konsolidasi strategi biasanya dilakukan di salah
satu rumah warga dan itu menjadi basis atau markas nya pasukan Indonesia yang
tergabung dalam Resimen 44.
Salah satu strategi serangan yang telah
dirancang yaitu intruksi Kapten Alamsyah kepada pasukan yang berjumlah 55 orang
dengan senjata kecepek dan bambu runcing untuk menyerang serdadu Belanda yang
sedang istirahat di rumah warga, perang ini disebabkan oleh, salah satu warga
Campangtiga terbunuh oleh pasukan Belanda, pertempuran dahsyat terjadi,
pasukan Alamsyah dengan strategi gerilya
nya, berlangsung di hutan Campangtiga atau dikenal dengan istilah Talang Gabul,
Cugumilang dan Pamorangan, namun di awal
tahun 1948 desa Camapang Tiga dapat dikuasai juga oleh Belanda, penguasaan
tersebut berlangsung hingga persetujuan Renville, dan Kapten Alamsyah Ratu Perwiranegara sebagai
ketua tim untuk menarik seluruh pasukan dari “Pocket Area” yang masih
berada di hutan-hutan di daerah front Komering, tugas tim ini dilakukan sampai
penyerahan kedaulatan Republik Indonesia.
Demikianlah tulisan singkat tentang
kisah perjuangan salah satu tokoh lokal Alamsyah Ratu Perwiranegara diwilayah
Komering, mesikipun selalu mengalami kemunduran dan kekalahan, tapi hikmah yang
patut kita ambil adalah semangat juang yang tak pernah padam, untuk menjaga dan
mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Oleh. Vixkri Mubaroq, S. Hum
Guru SD IT Bina Ilmi Palembang.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment