PUYUH BETINA: Tradisi Memelihara Burung Puyuh di Sumatera Selatan
Nah
kalau memelihara burung puyuh justru terbalik yang dicari dan dipelihara adalah
puyuh betina. Puyuh betina lebih pemberani dan pandai bertarung. Penduduk
sering melakukan adu burung puyuh. Tapi mengadu buru puyuh tidak seperti
mengadu ayam yang bertarung ditengah lapang. Adu burung puyuh dengan cara
mendekatkan dua sangkar burung puyuh. Kemudian dua puyuh di dalam sangkar
saling menerjang, mematuk dan mengembangkan bulu-bulunya. Banyak penduduk yang memasang
taruhan sehingga menjadi arena judi.
Mengapa
diadu tetap di dalam sangkar. Karena burung puyuh liar saat dilepas tentu akan
terbang pergi. Burung puyuh betina hanya bertelur, yang mengerami telur sampai
menetas dan menjaga anak-anak puyuh adalah pasangan puyuh betina yaitu si puyuh
jantan. Sementara puyuh betina tidak memiliki tugas lagi.
Dari
mempelajari kehidupan burung puyuh itulah. Muncul kata-kata istilah jantan
puyuh atau lak-laki yang takluk atau tunduk dengan perempuan. Begitu juga saat
seorang pemuda tidak mampu mengungkapkan isi hatinya pada seorang perempuan
dijuluki, bujang puyuh (tidak jentel). Seseorang yang tidak mau bertanggung
jawab atas perbuatannya juga termasuk, jantan puyuh. Mengolok-olok laki-laki
yang selalu mengerjakan pekerjaan perempuan juga disebut, jantan puyuh.
Budaya
memelihara burung puyuh sudah ada sejak lama, sebelum abad masehi. Karena
budaya ini sangat tradisional dan merupakan tradisi yang sangat dekat dengan
alam dan kehidupan masyarakat masa lalu. Misalnya sangkar yang dibuat dari bila
bambu, jalinan dari sejenis akar yang rumit, wadah air minum dari bambu. Di
dalam sangkar burung puyuh diletakkan tampiungan. Tampiungan nama sarang serangga
sejenis rayap yang berbentuk memanjang. Tersebar dihutan-hutan tropis disekitar.
Foto Tampiungan. Tampiungan juga banyak jenisnya ada juga yang berdiri tegak tanpa perlu bersandar pada batang pohon dan struktur sarang lebih halus.
Tampiungan
sering dibuat menjadi tungku api. Saat tampiungan dipecah-pecah maka semut penghuninya
akan keluar. Saat diletakkan di dalam sangkar puyuh, semut tampiungan tidak
keluar sangkar. Tapi masih bersembunyi dibawah pecahan-pecahan sarang mereka
yang hancur. Kemudian burung puyuh yang dipelihara mengais-ngais dan memakan
semut. Pecahan tampiungan juga dijadikan kubangan oleh puyuh peliharaan. Selain
semut tampiungan, belalang dan ulat juga menjadi makanan. Untuk menangkap belalang
penduduk membuat pukulan dari rotan atau bila bambu. Kemudian bagian ujung
dianyam melebar untuk memukul belalang.
Burung
puyuh ditangkap biasanya saat petani ladang berpindah membuka ladang. Burung
puyuh berdatangan terutama musim padi mulai di tanam. Banyaknya serangga
membuat burung puyuh tinggal di tengah ladang. Penduduk menangkap burung puyuh
dengan cara menjebak, dan menjerat. Jebakan yang sangat sederhana adalah
meletakkan daun keladi tertelungkup sehingga ada rongga. Hari yang panas burung
puyuh suka bertedu dan tanpa sengaja berteduh di bawah daun keladi yang
diletakkan manusia. Bersamaan dengan itu, pemasang jebakan menangkap langsung.
Pada masanya pemeliharaan burung puyuh merupakan keharusan. Para puyang dan pemimpin di masyarakat masa lalu memiliki peliharaan burung puyuh. Tampak sangkar burung puyuh menggantung di serambi-serambi rumah atau serambi pondok di ladang atau kebun. Saat pergi ke ladang mereka membawa serta sangkar burung puyuh yang bundar kecil seperti buah labu.
Sangkar bundar kecil memang didesain agar mudah dibawa kemana-mana. Sambil berjalan mereka memukul serangga seperti belalang dan memberikan pada burung puyuh peliharaannya. Saat ini (2023) budaya purba ini masih dapat dijumpai di pedalaman Sumatera Selatan. Terutama di Musi Banyuasin dimana masih banyak masyarakat yang tinggal di talang dan kebun serta berladang. (Red)
Oleh.
Joni Apero
Editor.
Arip Muhtiar, S. Hum
Sy. Apero Fublic
Post a Comment