SURAT SAKTI
Dunia pendidikan bersaing secara sehat, memilih siswa–siswi
terbaik yang bersekolah di sekolah mereka. Berbagai upaya dan usaha yang di
lakukan demi yang terbaik. Masa penerimaan peserta didik baru di mulai dengan
bermacam–macam syarat tertulis dan tak tertulis. Syarat tertulis rata–rata
dapat di penuhi oleh peserta didik baru sepert, nilai yang sudah di tentukan,
Nomor Induk Siswa yang resmi, pas photo, map warna dan lain–lain.
Mengikuti tes tertulis dan wawancara Syarat tidak
tertulis biasanya di bicarakan ketika wawancara berlangsung, seperti berapa
dana yang dapat orang tua siswa berikan atau sumbangkan untuk pembangunan
sekolah. Dana ini seperti wajib dan wajib harus di penuhi. Tinggal kespakatan
antara pihak sekolah dan orang tua siswa.
Di akhir akan ada pengumuman diterima atau tidak diterima
sekolah yang dituju. Pada saat inilah
biasanya berlaku ”Surat Sakti” yang mengatasnamakan pejabat ataupun pembesar
negeri ini. Masuknya keluarga pejabat ke sekolah favorit menimbulkan perasaan
campur aduk di masyarakat.
Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai peluang untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dan mendapatkan dukungan dari keluarga yang
memiliki pengaruh. Namun, ada juga potensi perasaan ketidakpuasan jika dianggap
ada penyalahgunaan kekuasaan atau
ketidaksertaraan dalam akses pendidikan.
Surat ”Surat Sakti” ini dapat mengubah keputusan akhir dari pengumuman yang sudah ada. Bagi yang tidak sepantaasnya di terima akhirnya dengan mudah dapat di terima, begitulah kenyataan di negeri kita, negeri seperti dongeng dalam cerita. Suka tidak suka, mau tidak mau rakyat jelata harus menerima kenyataan yang ada.
Oleh: Rindra Diani
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Fakultas Adab & Humaniora, Jurusan Ilmu Perpustakaan.
Editor. Rama Saputra, S. Hum
Sy. Apero Fublic
Post a Comment