HIKAYAT: Awang Permai (Langkat)
Suatu
malam hujan turun dengan deras, air menetes dari atap rumah mereka yang bocor.
Istrinya terbangun dan menyadari keadaan dirinya. “Oh, Kakanda rasanya adinda
sudah mendekati waktu melahirkan. Tapi ada satu keinginan Adinda yang belum
terwujud. Selama ini, sudah lama Adinda mengidamkannya. Malu mengungkapkan
keingin ini pada Kakanda.” Kata istrinya.
“Apa
yang Adinda inginkan itu.” Tanya Suaminya. “Adinda ingin makan buah mangga yang
tumbuh di halaman istana sultan negeri kita. Jawab istrinya. “Oh, Adinda
bagaimana caranya Kakanda mengambil buah itu. Letaknya jauh di kota dan
penjagaan istana sangat ketat.” Jawab suaminya. Akan tetapi istrinya terus
mendesak terus. Sehingga suaminya dengan berat hati pergi ke kota, untuk
mengambil buah mangga di halaman istana sultan.
Dengan
memanjat pagar istana yang tinggi. Dia berhasil masuk kedalam istana. Kebetulan
malam itu hujan lebat. Sehingga penjaga tidak begitu ketat dan kebanyakan
pengawal berteduh. Menjumpai pohon mangga, dia menemukan sebuah yang masak.
Memetiknya, dan dia bungkus rapi dan diikat kuat-kuat. Pada masa itu, apabila
ketahuan mencuri buah mangga di halaman sultan hukumannya, mati.
Sesampai
di rumah, dia memberikan pada istrinya. Keduanya makan buah mangga berdua,
rasanya enak sekali buah mangga itu. Karena itu, terpikirlah kalau dia mau
menanam biji buah mangga itu. Beberapa bulan kemudian istrinya melahirkan, anak
laki-laki. Anak mereka memiliki keajaiban dimana anak mereka langsung dapat
berbicara.
“Wahai
orang tuaku, namakanlah aku Awang Permai. Jangan pula ayah dan bunda terkejut
jika besok rumah kita sudah berubah menjadi indah, berubah bentuk dan isinya.
Ayah dan bunda juga menjadi orang besar.” Kata anak mereka yang baru
dilahirkan. Benar saja besok keadaan rumah mereka sudah berubah. Ayahnya
menjadi sultan, dan ibunya permaisuri. Anak berubah menjadi Raja Muda atau
Pangeran Mahkota. Beberapa waktu kemudian, kembali ibu Awang Permai melahirkan
anak perempuan, bernama Putri Mayang Mengurai.
Pada
suatu hari, datanglah seorang tua menghadap sultan, ayah Awang Permai. “Ampun
Patik Tuanku, Patik datang kemari hendak melihat dan menujumkan putra dan putri
tuanku. Seperti yang lazim dilakukan oleh pada anak-anak raja.” Ujar orang tua
itu.
“Baiklah,
aku beri waktu tiga hari. Kumpulkan segera semua ahli nujum di negeri ini.”
Jawab sultan. Setelah tiga hari berkumpullah semua ahli nujum di negeri Awang
Permai. Namun, orang tua yang pertama menghadap ternyata adalah anak buah
seorang raja di negeri lain. Dia diperintahkan untuk mengaku menjadi ahli nujum
dan menjalankan sebuah misi.
Beberapa
waktu kemudian para ahli nujum mendapat kesimpulan dari terawangan mereka.
Berkatalah orang tua yang mengaku ahli nujum pertama datang.
“Ampun
Tuanku. Menurut penglihatan kami dua orang anak baginda harus disingkirkan
karena akan membawa celaka kepada taunku.” Katanya dengan sembah sujud. Sultan
atau ayah Awang Permai tidak percaya sedikit pun.
Begitu
juga dengan para mentri dan punggawa istana. Namun, karena semua ahli nujum di
negerinya sudah berkata sama akan ramalan itu. Sultan akhirnya percaya dan
mengikuti kata para ahli nujum.
Akhirnya,
Awang Permai dan Mayang Mengurai dibawa ke hutan, dan ditinggalkan disana.
Mereka berangkat pada malam hari, dan dikawal Datuk Panglima. Sebenarnya Datuk
Panglima tidak sampai hati meninggalkan kakak beradik yang masih anak-anak.
Untuk bekal makan mereka sementara, diberikan tujuh buah ketupat.
Kira-kira
pukul tiga malam berkatalah Mayang Mengurai. “Adinda lapar, Kanda. Oleh Awang
Permai diberikan ketupat sebelah. Lalu membujuk adiknya jangan menangis. Saat
mereka haus, mereka pergi dan Awang Permai menggendong adiknya. Beberapa saat
berjalan keduanya menemukan sebuah telaga di hutan itu. Mereka gembira dan
minum sepuasnya.
Tidak
jauh dari mereka minum, ternyata ada dua ekor singa. Keduanya berpikir akan
menerkam mereka. Yang dapat mereka lakukan hanya pasrah pada tuhan. Tapi dua
ekor singa itu datang ke hadapan mereka dan duduk meniarap di tanah. Tanda
keduanya tidak akan menerkam mereka.
Belum
hilang rasa terkejut dan heran Awang Permai dan Mayang Mengurai. Dari dalam
kolam muncul seekor naga yang mau menolong mereka. “Hai, Awang Permai masuklah
kau kedalam mulutku ini. Di dalamnya ada sebuah permata cincin, ambillah dan
gunakan kalau perlu. Ingatlah, permata ini harus dipakai turun-temurun.” Kata
sang Naga.
Setelah
diambil, benar cincin pas di jari Awang Permai dan Jari adiknya. Di kemudian
hari, saat diwariskan cincin juga pas dengan jari-jari keturunannya. Awang
Permai memiliki cincin pemberian ibunya. Kemudian dia berikan pada adiknya.
Cincin pemberian naga dia pakai. Tujuh buah ketupat habis, mereka sekarang
makam buah-buahan pemberian dua singa.
Suatu
hari, datanglah seekor burung murai. Adiknya ingin makan burung. Awang Permai
lalu membidik burung murai itu, dan jatuh. Awang Permai pergi untuk mencari
api. Dia bertemu dengan seorang yang tinggal di hutan. Tetapi orang itu menuduh
Awang Permai mencuri tanamannya. Tidak jauh dari mereka berjumpa, terdapat
sebuah sungai. Orang itu kemudian memukul Awang Permai. Dia jatuh pingsan dan
berguling ke dalam sungai, hanyut.
Awang
Permai ditemukan oleh seorang gadis bernama, Mah Dewa. Dia seorang putri raja
yang diculik raksasa. Dia memercikkan air pada wajah Awang Permai. Akhirnya
Awang Permai sadar dari pingsannya. Setelah itu, Awang Permai dibawa Mah Dewa
ke rumah raksasa.
Tiga
hari kemudian, si Raksasa pulang ke rumahnya. Dia curiga kalau ada orang baru
di rumahnya. Itu tercium dari bau manusia selain Mah Dewa. Mah Dewa berusaha
mengalihkan perhatian raksasa itu. Sehingga Awang Permai aman bersembunyi di
sebuah peti.
Waktu
berlalu dengan cepat, sehingga Awang Permai sekarang sudah berumur 17 tahun,
sedangkan Mah Dewa 15 tahun. Keduanya berusaha bagai mana mengalahkan Raksasa
itu. Dengan taktik hebat akhirnya Raksasa itu, mati.
Keduanya
pergi ke arah pantai, lalu berjalan menyusuri pantai. Saat berjumpa dengan
sebuah kapal, mereka meminta pertolongan. Nahkoda kapal berhenti, saat melihat
Mah Dewa yang cantik dia pun tertarik. Timbul niatnya mau mempersunting Mah
Dewa. Nahkoda bertanya Awang Permai, siapa dia Mah Dewa. Awang Permai mengakui
Mah Dewa sebagai adik angkatnya.
Nahkoda
yang tertarik pada Mah Dewa berusaha menyingkirkan Awang Permai. Nanti, setelah
Mah Dewa cukup dewasa akan dia nikahi. Di tengah lautan, Nahkoda kapal
kesultanan memerintahkan anak buahnya melemparkan Awang Permai ke lautan.
Beberapa saat kemudian Awang Permai ditelan ikan hiu. Ikan Hiu itu kemudian
terdampar di sungai, di dekat rumah Nenek Kabayan. Nenek Kabayan pergi ke
tepian hendak mandi.
“Nenek
Kabayan, turiskan perutku dengan daun ilalang sehelai. Nanti akan kau dapati
anak seorang raja yang bertuah. Nenek Kabayan menuruti permintaan ikan hiu itu.
Benar, dia mendapati Awang Permai di dalam perut hiu. Awang Permai akhirnya
tinggal di rumah Kenek Kabayan. Nenek Kabayan seorang perajin perangkai bunga.
Hasil bunga rangkaiannya sudah terkenal sampai ke kota dan istana sultan.
*****
Sementara
itu, adik Awang Permai yang dulu ditinggal di hutan saat dia pingsan dan jatu
kesungai. Mayang Mengurai yang menunggu dan mencari Awang Permai kemana-mana
tidak bertemu dan tidak kunjung kembali, hanya dapat menangis. Tangisan Mayang
Mengurai terdengar oleh seorang putra raja yang sedang berburu. Oleh putra raja
itu, Mayang Mengurai dibawa ke istana. Raja dan ratu pun sangat menyayangi
Mayang Mengurai. Sekarang Mayang Mengurai sudah besar, dan dia menjadi menantu
raja.
*****
Suatu
hari Nenek Kabayan bertanya pada Awang Permai. “Awang Permai, siapakah kau
sebenarnya. Apakah benar kau anak seorang raja.” Tanya Nenek Kabayan seraya
mengunya siri. Awang menjawab. “Tidak Nek, saya anak orang biasa.”
“Besok
ada kapal yang merapat di pelabuhan. Dalam penyambutan sudah biasa mengalungkan
bunga pada Nahkoda kapal.” Kata Nenek Kabayan. Dia juga menceritakan memang
sering orang-orang memesan rangkaian bunga padanya. Tapi rangkaian bunga yang
dipesan belum dibuat. Maka Awang Permai diminta membatu merangkai bunga agar
cepat selesai.
Saat
itu, datang lalat hijau besar. Awang Permai menyarankan Nenek Kabayan mengikuti
lingkaran yang dibuat oleh lalat hijau itu. Setelah selesai jadilah rangkaian
bunga yang sangat indah. Keesokan harinya, Nenek Kabayan pergi ke pelabuhan dan
memberikan rangkaian bunga.
Sementara
Awang Permai menyamar menjadi nelayan. Dia memancing dan mendapat ikan yang
banyak. Nahkoda kapal membeli ikan pada Awang Permai. Tahulah Awang Permai
kalau nahkoda itulah yang melemparkannya ke laut. Dia juga melihat seorang
gadis di geladak kapal, Mah Dewa. Keesokan harinya kapal itu kembali berlayar.
*****
Suatu
hari terkabarlah permaisuri sultan negeri Nenek Kabayan sakit keras. Permaisuri
itu adalah mertua dari Mayang Mengurai adik Awang Permai. Kemudian diadakan
sayembara menyembuhkan permaisuri dari penyakitnya. Siapa yang dapat
menyembuhkan akan diberikan hadiah yang besar.
Banyak
dukun dan tabib yang datang. Namun tidak satupun yang dapat mengobati. Dalam
keadaan putus asah keluarga sultan. Awang Permai datang untuk ikut mengobati
permaisuri. Beberapa saat kemudian, permaisuri mulai membaik dan sembuh dari
sakitnya. Saat ditanya hadiah apa yang Awang Permai inginkan. Awang Permai
tidak mau apa-apa, dia ikhlas menolong.
“Baiklah
kalau begitu, Awang Permai. Tapi, saya minta sudilah kau tinggal di istana
bersama Nenek Kabayan.” Pinta Sultan. Awang Permai akhirnya menerima tawaran
sultan, dia juga merasa tidak enak menolak ketulusan sang sultan. Suatu hari,
Awang Permai melihat putri cantik di taman istana. Awang Permai ada firasat
kalau itu adalah adiknya. Dia meminta Nenek Kabayan menemani putri mandi dan
melihat di punggungnya, apakah ada tanda. Benar sekali, memang terdapat tanda
lahir di punggung tuan putri.
Awang
Permai memiliki banyak kemampuan, termasuk ilmu silat. Sultan menyadari
kehebatan Awang Permai, lalu dia mengangkatnya menjadi Panglima pasukannya.
Waktu pernikahan Mayang Mengurai dengan Putra Mahkota yang menemukannya di
hutan, tiba. Banyak tamu yang diundang, pembesar negeri, orang kaya, dan salah
satunya nahkoda yang melemparkan Awang Permai ke laut beberapa waktu lalu.
Karena
tidak ada wali Mayang Mengurai. Maka Kadi (hakim) kesultanan yang akan
menikahkannya. Saat itu, Awang Permai berkata kalau dialah wali dari Mayang
Mengurai. Sebab dia adalah kakak kandungnya. Namun, sultan dan semua orang
tidak langsung percaya. Awang Permai mengeluarkan cincin pemberian naga dulu
sewaktu di hutan. Dia meminta Tuan Putri mengeluarkan cincin permata delima.
Tuan
Putri terkejut karena Awang Permai tahu dia memiliki cincin itu. Dia juga yakin
kalau Awang Permai kakaknya. Awang Permai menerangkan kalau kedua cincin mereka
dapat menyatu apabila dimasukkan kedalam air. Dia mengambil gelas berisi air
dan meletakkan kedua cincin mereka. Saat melihat itu, semua menjadi yakin kalau
Awang Permai dan Mayang Mengurai adalah kakak beradik kandung.
Bertemulah
kakak beradik yang saling merindukan. Awang Permai menikahkan Mayang Mengurai.
Setelah acara pernikahan selesai, berceritalah keduanya tentang kejadian yang
menimpa mereka. Mulai dari dibuang ke hutan oleh orang tua mereka. Kemudian
Awang Permai dipukul orang, pingsan dan sampai disandera di rumah Raksasa.
Awang
Permai juga menceritakan pertemuan dengan Mah Dewa yang disandera Nahkoda kapal
kesultanan. Bagaimana dia dilempar ke laut dan dibantu Nenek Kabayan. Mendengar
cerita itu, menangis semua orang mendengarnya. Begitu juga Mayang Mengurai yang
merasa telah ditinggal oleh kakaknya. Dia pernah berpikir kalau Awang Permai
tidak sayang padanya.
Mendengar
itu, sultan menjadi marah pada Nahkoda kapal kerajaan. Kemudian dia
memerintahkan prajurit untuk menangkap Nahkoda jahat itu dan dihukum mati. Mah
Dewa kemudian dibebaskan dari sanderaan Nahkoda. Berjumpalah Awang Permai dan
Mah Dewa kembali. Kembali pernikahan diadakan di istana. Kadi kesultanan
menikahkan keduanya. Akhirnya Awang Permai dan adiknya Mayang Mengurai hidup
bahagia bersama keluarga baru mereka.
Rewrite. Tim Apero
Fublic.
Editor.
Desti, S. Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 16 Desember 2020.
Sumber. M. Jusuf Djamil, lahir di Stabat tahun 1931 berbahasa Melayu. Masindan,
Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1987.
Sy. Apero Fublic.
Post a Comment