HIKAYAT: si Sekeq Dari Lombok
“Wahai
cucuku, sekarang kamu sudah cukup umur. Sudah saatnya kamu menikah.” Kata
kakeknya pada suatu hari.
“Apa
arti dari kata menikah itu, Kek.” Tanya si Sekeq.
“Adu
memang benar-benar bodoh kamu cucuku. Menikah itu, kau memiliki seorang wanita
yang menjadi istrimu. Dia akan menemani hidupmu, mengurus keperluanmu termasuk
memasak nasi.” Jelas Kakek si Kekeq.
“Baiklah
Kek, kalau demikian. Kapan saya akan kawin.” Tanya si Sekeq.
“Sebulan
lagi, karena itu dari sekarang perlu kita mempersiapkan semua yang diperlukan
terlebih dahulu. Akan kita gunakan dalam pesta pernikahanmu.” Jawab Kakeknya.
Suatu pagi si Sekeq dipanggil Neneknya. Dia mendatangi neneknya dan bertanya
ada apa.
“Ini
uang, sekarang pergilah ke Memben, membeli periuk besar untuk wadah memasak
daging untuk pernikahanmu.” Ujar Neneknya, si Sekeq pergi membeli periuk. Dia
sampai di Memben dan membeli periuk, lalu pulang. Setiba di rumah, si
Sekeq meminta bantuan tetangga menurunkan periuk besar.
Neneknya
menghampiri bertanya periuk yang dia beli. Si Sekeq memperlihatkan pada
Neneknya. Tapi Neneknya terkejut melihat bagian bawah periuk berlobang.
Ternyata si Kekeq mengikat periuk dengan melobangi bagian bawah periuk. Kalau
orang mengikat periuk pada bagian tempat mengangkatnya. Nenek si Kekeq marah,
dan dia meminta si Sekeq untuk kembli membeli periuk ke Memben besoknya.
Keesokan
harinya, kembali si Sekeq membeli periuk. Hari ini dia mengikat periuk dengan
benar, pada bagian pengangkat atau leher periuk. Kemudian periuk dia angkat dan
diletakkan di bahunya. Dalam perjalanan si Sekeq berjumpa dengan orang-orang
mengangkut buah kelapa dengan cara dipikul juga.
Mereka,
saat tiba tujuan langsung melempar buah kelapa dari bahu mereka. Si Sekeq
melihat semua itu, dia berpikir kalau cara menurunkan barang yang dipikul
dengan cara di lempar saja dari bahu. Setiba di rumahnya si Sekeq akan
menurunkan periuk besar yang dia pikul. Terdengar suara barang pecah belah di
halaman rumah.
“Astaga,
suara apa pecah itu.” Ujar Kakek dan Nenek si Sekeq dari dalam rumah. Saat
mereka keluar keduanya melihat periuk besar telah pecah belah. “Si Sekeq,
mengapa kau hempaskan periuk itu.” Tanya Neneknya.
“Ya,
Nenek. Tadi saya melihat orang memikul kelapa. Kemudian mereka menurunkannya
dengan cara menghempaskan dari atas bahu. Aku pikir begitu cara menurunkan
barang yang dipikul. Aku tidak tahu kalau periuk akan pecah.” Jawab si Sekeq.
Bukan main kesalnya kakek dan nenek si Kekeq. Akhirnya orang lain diminta
membelikan periuk. Beberapa hari kemudian, kembali si Sekek diminta neneknya
untuk membeli sesuatu, kali ini garam di Jeroaru.
“Sekeq,
pergilah kau ke Jeroaru membeli garam.” Kata Neneknya. Tentu saja si Sekeq
mengiakan dan diabertanya. “Untuk apa membeli garam sebanyak itu.” Tanya si
Sekeq.
“Untuk
menggarami dedaunan hijau.” Jawab nenknyad dengan kata-kata istilah orang zaman
dahulu. Si Sekeq pun pergi ke Jeroaru membeli garam. Setelah membeli garam si
Sekeq pulang. Di sepanjang jalan tentu saja banyak dedaunan tumbuhan hijau.
Mengingat
kata-kata si Neneknya guna mereka membeli garam untuk menggarami dedaunan
hijau. Maka si Sekeq di sepanjang jalan menaburkan garam di dedaunan hijau
sepanjang jalan. Karena sepanjang jalan banyak dedaunan hijau, sampai di rumah
garam satu pikulan habis.
“Sudah
membeli garam, Keq.” Tanya si Nenek.
“Sudah,
Nek.” Jawabnya sambil istirahat kelelahan.
“Dimana
garamnya.” Tanya si Nenek yang tidak melihat garam sedikit pun.
“Sudah
habis Nek, saya gunakan menggarami dedaunan hijau di sepanjang jalan pulang.”
Jawan si Sekeq.
“Astaga,
betul-betul bodoh dirimu, cucuku. Bukan seperti itu maksudku. Menggarami
dedaunan hijau itu, seperti memasak bayam, kelor, atau sayur hijau. Garam bumbu
memasak sayur-mayur yang tentu warnanya hijau. Bukan menggarami dedaunan hijau
dimana-mana.” Jelas sang nenek. Lalu dia melanjutkan. “Ya, sudahlah nanti
meminta orang lain saja untuk membeli garam.” Ujar nenek si Sekeq.
Satu
minggu kemudian, giliran kakek si Sekeq yang meminta dia membeli sesuatu. Kali
ini si Sekeq di minta kakeknya membeli seekor kerbau untuk acara pernikahan si
Sekeq. Kakeknya memberinya uang sebanyak Dua Ratus Ringgit Perak. Kemudian
pergilah si Sekeq ke pasar untuk membeli kerbau. Di tengah perjalanan dia
berjumpa dengan dua orang anak yang sedang bermain.
“Kerbauku,
besar dan tanduknya panjang.” Kata salah satu anak-anak itu.
“Eh,
kerbauku yang lebih besar.” Jawab anak satunya. Si Sekeq mendengar percakapan
dua orang anak akak beradik itu. Dia mendekati dua anak-anak yang sedang
bermain-main itu. Lalu dia bertanya. “Apa yang kalian tarik itu. Kedua
anak-anak yang sedang bermain kerbau-kerbauan tentu saja menjawab kerbau.
“Kerbau,
kami sedang memberi makannya dengan rumput.” Jawab salah satu anak itu.
“Mari
saya beli kerbau kalian seharga dua ratus ringgit perak.” Kata si Kekeq.
“Apakah
kakak serius.” Tanya kedua anak itu. Si Sekeq mengiakan lalu dia memberikan
uangnya. Kedua anak-anak itu sangat gembira. Dia memberikan kerbau-kerbau
mainan mereka, lalu berlari pulang membawa uang yang diberikan si Sekeq. Si
Sekeq pulang dan tiba di rumah hari sudah malam.
Sesampai
di rumah dia menambatkan kedua kerbau mainan anak-anak itu di batang sayur
terung di belakang rumah. Dia memanggil Kakeknya dan memberi tahu kalau dia
sudah membeli sepasang kerbau dan dia ikat di belakang rumah. Kakek menengok
dimana kerbau yang dibeli si Kekeq. Dengan menggunakan lentera dia mencoba
melihat kerbau yang dibeli Sekeq. Tapi dia tidak melihat satu ekor kerbau pun.
“Sekeq
dimana kerbau yang kau maksud.” Tanya Kakeknya.
“Adu,
apakah kakek sudah buta. Itu, saya tambatkan di batang pohon terung di dekat
kaki Kakek.” Jelasnya. Begitu melihat mainan anak-anak kakeknya merasa sangat
heran. Kakek kesal dan dia bilang kalau Sekeq benar-benar sangat bodoh. Namun,
kakek dan nenek tidak jera-jera menyuruh Sekeq untuk membeli sesuatu.
“Besok
pagi, kembali kamu pergi ke pasar untuk membeli kerbau. Yang namanya kerbau
itu, badanya besar, tanduknya panjang, dan bisa berjalan sendiri. Kalau yang
kau beli itu, kerbau-kerbau mainan anak-anak namanya.” Jelas sang Kakek. Besok,
Sekeq pergi ke pasar untuk membeli sepasang kerbau.
Kali
ini benar-benar kerbau yang dia beli. Kemudian dia menuntun sepasang kerbau
dibawa pulang ke rumah. Di tengah jalan kerbau dia beli membuang kotoran. Sekeq
berkata pada kerbau agar membersihkan pantatnya sendiri dengan air. Tapi kerbau
yang tidak mengerti membersihkan kotoran dengan air, sekaligus tidak mengerti
bahasa manusia. Tentu saja kerbau tidak mengerti, dan diam saja.
Sekeq
terus memaksa kerbau yang dia beli untuk membersihkan anusnya karena sudah
buang kotoran. Dia kemudian mendorong kedua kerbaunya ke sungai sampai jatuh
kedalam sungai. Karena sungai dalam dan berair deras maka kedua kerbau akhirnya
mati. Setelah itu, dengan kesal si Sekeq pulang meninggalkan kedua kerbaunya
yang mati.
Setelah
tiba di rumah Kakeknya bertanya, tentang kerbau yang dia beli. Lalu Sekeq
menceritakan kalau dia sudah membeli kerbau. Tapi kedua kerbau itu sekarang
mati karena dia dorong ke dalam sungai yang berair deras dan dalam. “Mengapa
kau mendorong kerbau ke dalam sungai.” Tanya Kakeknya lagi.
“Salah
sendiri, setelah buang kotoran tidak mau membersihkan pantatnya. Aku tidak mau
membersihkan pantat kerbau.” Jawab Sekeq merasa benar. Kakek dan Neneknya tidak
bisa berkata apa-apa lagi, selain mengurut dadanya. Keesokan harinya keduanya
meminta orang lain untuk membeli kerbau di pasar untuk pesta pernikahan Sekeq.
Waktu
pernikahan Sekeq sudah sangat dekat. Untuk menjamu tamu, maka akan dihidangkan
daun sirih. Biasa budaya orang Indonesia zaman dahulu adalah mengunya sirih.
Neneknya meminta Sekeq untuk memetik daun sirih. Nama daun sirih dalam bahasa
Sasak adalah lelekat. Neneknya berpikir tidak mungkin si Sekeq
tidak bisa memetik daun lelekat. Sekeq mematuhi perintah neneknya,
pergilah dia ke kebun mereka untuk memetik daun lelekat. Namun,
lain yang dipikirkan oleh Sekeq.
“Sekeq,
cari lelekat di kebun.” Pinta Neneknya.
Pagi-pagi
Sekeq pergi ke kebun untuk memetik daun lelekat. Sampai dikebun dia
malah mendekap pada sebatang pohon dadap yang terdapat sarang semut merah
besar. Dengan maksud dia telah menemukan dan melekat atau mendekap. Tubuh Sekeq
dikerubungi semut sampai tidak ada lagi bagian tubuh yang terlihat. Hari sudah soreh,
api Sekeq belum pulang-pulang. Sehingga neneknya mengutus seseorang untuk
menjemput Sekeq.
“Sekeq
kau di mana, orang-orang sudah menunggu.” Panggil orang itu berkali-kali di
tengah kebun. Sekeq menjawab kalau dirinya sedang melekat pada sebatang pohon.
Dengan tubuh yang di kerubungi semut merah. “Kamu sedang mengapa di situ, Sekeq.”
Tanya orang itu.
“Saya
sedang melekat disuruh oleh nenek saya.” Jawab Sekeq degan kuat.
“Aduuu,
kau dimintah untuk memetik daun lelekat, bukan melekat. Benar-benar
bodoh kamu ini, Sekeq.” Kata orang itu. Kemudian dia menarik tubuh Sekeq dan
membuang semut merah di tubuhnya. Sementara itu, kakek dan neneknya gelisah
menunggu di rumah. Setiba di rumah kakek dan neneknya terkejut melihat tubuh
dan wajah Sekeq bengkak dan penuh bintik-bintik merah. Orang yang menjemput
Sekeq menceritakan apa yang terjadi, dan barulah mengerti Kakek-Nenek Sekeq.
Tibalah
hari pernikahan Sekeq. Tempat pernikahan di masjid. Sebelum pergi ke masjid
untuk menikah, Kakeknya berpesan. “Nanti kamu akan dinikahkan oleh penghulu di
masjid. Saat memulai akad nikah, apa saja kata penghulu kamu ikuti, jangan
sekali-kali kau membantah.” Pesan Kakeknya. Sekeq mengiakan dan mengingat
baik-baik kata-kata Kakeknya.
Akad
nikah Sekeq setelah shalat isyah. Banyak yang mengiringi, membawa dulang berisi
hantaran, ada yang membawa tikar dan bantal untuk infaqkan di masjid. Ada yang
membawa penerangan atau lentera. Sebelum masuk masjid, semua orang sudah
mencuci bersih kakinya dengan bersih. Tinggal Sekeq yang belum mencuci kaki.
Saat hendak masuk masjid dia dilarang penghulu. Diminta untuk mencuci kakinya
terlebih dahulu.
“Basuh
kakimu terlebih dahulu.” Kata Penghulu. Sekeq ingat pesan Kakeknya di rumah
agar mengikuti kata-kata penghulu dan jangan membantahnya.
“Basuh
kakimu dahulu.” Kata Sekeq mengikuti kata-kata si Penghulu.
“Astagafirullah,
engkau yang aku suruh.” Kata penghulu.
“Astagafirullah,
engkau yang aku suruh.” Jawab Sekeq meniru kata-kata penghulu.
“Mengapa
anak ini.” Ujar penghulu sangat heran sekali.
“Mengapa
anak ini.” Tiru Sekeq. Penghulu yang sudah tua tentu saja tersinggung
dipermainkan oleh anak muda. Dia tidak pantas untuk diajak bermain-main atau
bercanda.
“Nanti
saya pukul kepalamu.” Kata penghulu mulai marah.
“Nanti
saya pukul kepalamu.” Kembali Sekeq meniru kata-kata penghulu.
Percakapan
tiru meniru terus berlanjut, membuat keduanya jadi bertengkar. Tapi bagi Sekeq
dia merasa tidak bersalah sebab dia memang harus mengikuti atau meniru
kata-kata penghulu. Penghulu kemudian memukul kepala Sekeq.
Sekeq
juga berbalik memukul kepala penghulu tua itu. Akhirnya keduanya saling pukul
memukul. Penghulu memukul karena marah, Sekeq memukul karena mengikuti
penghulu. Orang-orang kemudian melerai keduanya. Sekeq akhirnya tidak jadi
dinikahkan malam itu.
Rewrite.
Tim Apero Fublic.
Sumber.
Shaleh Saidi, dkk. Sastra Lisan Sasak. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayan, 1987.
Sy.
Apero Fublic.
Post a Comment