HIKAYAT: Wa Lancar (Langkat)
Lancar
tidak belajar seperti anak-anak lainnya, seusianya. Melihat teman-temannya
belajar, timbul hasrat Wa Lancar mau belajar. Wa Lancar meminta restu ibunya
untuk belajar. Dengan berat hati ibu Wa Lancar mengizinkan dia pergi
belajar. Pergilah Wa Lancar menemui Syeh yang ternama di daerahnya.
“Ada
apa kau datang, bujang.” Tanya Syeh itu. Wa Lancar dengan memohon meminta
diangkat menjadi murid syeh itu. Dia tidak dapat membayar, untuk itu dia
mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Namun bertahun-tahun Wa Lancar tidak
pernah belajar seperti murid-murid lain.
Wa
Lancar hanya belajar dari murid-murid Syeh itu. Wa Lancar terus bersabar dan
terus hanya belajar dari murid-murid syeh tanpa setahu Syeh itu. Karena
kesabarannya terbatas bertanyalah dia pada syeh itu. Karena Wa Lancar datang
untuk belajar bukan hanya bekerja di rumah syeh itu, tanpa di gaji.
Wa
Lancar kemudian menjelaskan pada syeh itu kalau dia mau belajar seperti
anak-anak lainnya. Kemudian syeh memberinya pelajaran dengan sebuah kalimat.
“Kalau sudah lapar, jangan makan.” Setelah memberikan kalimat itu syeh
menyatakan kalau Wa Lancar sudah tamat mengaji. Wa Lancar tidak mengerti dengan
maksud kata-kata itu. Rasa herannya ditekannya didalam hatinya. Kata-kata syeh
itu, kemudian dia ingat baik-baik. Kemudian Wa Lancar pergi meninggalkan rumah
syeh itu.
Kemudian
Wa Lancar pergi menemui seorang syeh yang lain. Dia bermaksud untuk belajar
dengan syeh itu. Kembali Wa Lancar melakukan aktivitas seperti di rumah syeh
yang pertama. Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah syeh itu,
bertahun-tahun.
Tapi
Wa Lancar belum juga di angkat menjadi murid dan belajar seperti anak-anak
lain. Diam-diam Wa Lancar belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu.
Beberapa tahun kemudian Wa Lancar menghadap syeh dan menegaskan kalau dia ingin
belajar seperti murid-murid lainnya.
Ketika
Wa Lancar datang menghadap dan meminta pelajaran ilmu pengetahuan dan ilmu
agama. Syeh itu kemudian berkata. “Kalau lelah berjalan, berhentilah. Wa Lancar
tidak mengerti dengan perkataan itu. Tapi dia akhirnya pergi juga meninggalkan
rumah syeh itu. Dia kembali pergi mencari guru untuk belajar. Saat dia
menemukan seorang syeh di daerah lain, dia juga datang menghadap.
Wa
Lancar kemudian kembali bekerja di rumah syeh itu, tanpa gaji. Dia hanya ingin
belajar ilmu pengetahuan. Bertahun-tahun lamanya namun dia belum juga mendapat
pelajaran. Sebagaimana saat dia berada di rumah syeh sebelumnya. Wa Lancar
hanya belajar dan bertanya pada murid-murid syeh itu. Tidak pernah diangkat
murid atau diberikan pelajaran.
Wa
Lancar kembali menghadap dan menegaskan dia meminta diberi pelajaran. Syeh itu
kemudian berkata. “Ambil batu, ambil pisau, asah tajam-tajam.” Kembali
keheranan Wa Lancar juga pergi pulang ke rumah ibunya. Wa Lancar mengingat
kata-kata syeh terakhir itu, juga. Waktu berlalu Wa Lancar terpikir untuk
mengabdikan pengetahuannya di tengah masyarakat.
Pergilah
Wa Lancar ke sebuah Kampung. Dia menuju sebuah masjid untuk beribadah.
Memutuskan tinggal di masjid untuk sementara. Terlebih dahulu Wa Lancar meminta
izin pada pemuka kampung itu. Selain ibadah, Wa Lancar juga membersihkan
masjid.
Karena
ketekunan dan ketaatan Wa Lancar membuat warga kampung tertarik. Mereka meminta
untuk mengajar ilmu agama di masjid. Wa Lancar tidak menolak karena memang itu
yang dia rencanakan. Wa Lancar mengajar, waktu demi waktu muridnya bertambah
banyak. Dia pun terkenal sebagai seorang ulama yang berilmu. Sampai juga berita
itu pada syeh tempat dia mau belajar dulu, tapi tidak diterima-terima.
Kadi
kerajaan menjadi iri atas kemajuan mengajar Wa Lancar. Banyak murid Kadi
kerajaan pindah tempat belajar ke Wa Lancar. Kepindahan itu membuat kadi
kehilangan sebagian pemasukannya. Kemudian Kadi mengadukan Wa Lancar kepada
Sultan dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat.
Pengaduan
itu, menyebabkan Wa Lancar di hukum. Dia dihukum menikahi putri sultan yang
sudah menikah sebanyak 17 kali. Tujuh belas suami putri sultan itu meninggal
dunia sehari setelah ijab kabul. Walau takut terpaksa Wa Lancar menikahi putri
sultan itu.
Pertama-tama
Wa Lancar dan temannya dijamu di istana. Ketika itu, perut Wa Lancar terasa
begitu lapar. Wa Lancar pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk
belajar. “Kalau sudah lapar, jangan makan. Dengan segera Wa Lancar tidak
makan. Beruntung Wa Lancar tidak makan. Sebab ternyata hidangan telah
diracuni. Sehingga dia tidak mati, sementara temannya meninggal setelah makan.
Melihat
Wa Lancar selamat, kembali rencana pembunuhan dilakukan. Kemungkinan Kadi
kerajaan yang menjadi otak pembunuhan Wa Lancar. Keesokan harinya Wa Lancar
diperintahkan ke suatu tempat. Di kawal oleh seorang prajurit. Karena
perjalanan jauh membuat Wa Lancar menjadi lelah.
Dia
pun teringat pesan syeh yang pernah dia datangi untuk belajar. “Lelah berjalan,
berhentilah. Dia pun berhenti dan pengawal itu terus berjalan. Tidak seberapa
lama pengawal itu menjerit dan mati. Ternyata tempat yang diperintahkan itu,
telah dipasang perangkap membunuh.
Setelah
melewati dua aksi pembunuhan, tibalah Wa Lancar untuk masuk kamar putri yang
sudah dia nikahi. Karena tuan putri sedang tidur dan keadaan sepi. Wa Lancar
kemudian duduk berdiam diri di salah satu sudut kamar.
Saat
itu, dia teringat pesan syeh yang ketiga yang dia datangi. “Ambil batu, ambil
pisau, lalu asahlah.” Maka dari pada melamun Wa Lancar melakukan apa yang dia
ingat. Pisau tajam, ketika itu, tiba-tiba datang lipan putih yang hendak
menggigit Wa Lancar. Lansung saja, Wa Lancar menikam lipan putih sampai mati.
Lipan itulah yang selama ini menewaskan suami-suami tuan putri karena mereka
terlalu ceroboh dan terburu nafsu.
Akhirnya
sang Kadi kerajaan yang dianggap membawa ajaran sesat. Sedangkan Wa Lancar
setelah diuji pihak kerajaan tidak terdapat tanda mengajarkan ajaran sesat.
Kemudian pernikahan Wa Lancar dirayakan karena tuan putri telah lepas dari
lipan putih, penunggu badannya.
Rewrite. Tim
Apero Fublic.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra
Palembang, 22 November 2020.
Sumber: Informan Amir Bintang, lahir di Tanjung Pura 1927 bergama Islam dan
berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Sy.
Apero Fublic.
Post a Comment