SASTRA KLASIK: Geguritan Ni Sumala
Cerita singkat
Geguritan Ni Sumala menceritakan bahwa tokoh sastra yang bernama Ni Sumalah
adalah seorang anak yatim piatu. Tubuhnya cacat dan pekerjaannya selalu
mengemis dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu dia menjadi bahan
tertawaan dan cacian masyarakat di desanya. Oleh sebab itulah dia pergi
meninggalkan desanya, pergi tanpa arah dan tujuan. Dalam perjalanan tersebut,
tibalah Ni Sumala di sebuah bukit yang indah dan ada taman yang dihiasi
bunga-bungaan. Dia merasa tenang, juga mengetahui kalau tempat itu adalah
tempat tinggal para dewa.
Disana terdapat sebuah
kolam, Ni Sumala kemudian mandi dan membersihkan seluruh tubuhnya. Setelah
selesai mandi dan keluar dari kolam, ajaib sekali Ni Sumala berubah menjadi
wanita yang sangat cantik. Dengan cepat kecantikan Ni Sumala diketahui para
dewa, terutama Betara Siwa. Batara Siwa datang menemui Ni Sumala. Singkat
cerita, Ni Sumala kemudian hamil.
Setelah kejadian itu,
di Kayangan terjadi peristiwa dimana Betara Siwa bertengkar dengan istrinya,
Dewi Uma. Dia mengetahui atas hubungan Betara Siwa dengan Ni Sumala.
Kemudian Dewi Uma bersama seorang raksasa bernama Ni Kalika mendatangi Ni Sumala.
Namun, Ni Sumalah sudah tidak lagi di bukit itu. Dia sudah pergi dan kemudian
dia dipungut anak oleh keluarga petani, De Dukuh.
Di rumah De Duku Ni
Sumala kemudian melahirkan dua anak kembar laki-laki. Dua anaknya dinamakan
Sang Krepatmaja dan Sang Krepaputra. Ni Sumala kemudian berganti nama, Sang
Wedawati. Setelah kedua anaknya dewasa, mereka ingin menjumpai ayah mereka di
Kayangan atau Sorga Luka.
*****
Dalam buku Geguritan Ni
Sumala ada juga naskah geguritan berjudul, Dukuh Wanasara. Geguritan Dukuh
Wanasara dialih aksarakan dan dialihbahasakan oleh Nengah Medera milik Ida
Bagus Ketut Kajang, Desa Mambal, Badung. Pada hakekatnya geguritan tersebut
melukiskan nilai-nilai kehidupan manusia. Manusia pada hakikatnya memiliki tiga
sifat yaitu Satwan (kebenaran), rajah (kedinamisan), dan tamah (kelobaan).
Dalam geguritan Dukuh
Wanasara mempunyai tiga tokoh, dengan sifat-sifatnya masing-masing. Yaitu, I
Satwan, I Rajas, dan I Tamah. Masing-masing tokoh memiliki lakon yang berbeda
sekali. Walau ketiganya adalah saudara kandung. Penulis geguritan Dukuh Wanasara
penulis menggambarkan sifat dan kelakuan ketiganya dengan detail. Sehingga
tampak jelas sekali perbedaan watak ketiganya walau mereka saudara kandung.
Dinilai dari ajaran agama dan etika kehidupan. Geguritan Dukuh Wanasara dialih
aksara oleh Nengah Medera. Berikut cuplikan Geguritan Ni Sumala:
Bahasa Indonesia Puh
Ginada.
1.Tuhan Maha Pencipta,
sudi menyertai, maafkanlah (saya) manusia sengsara, memberanikan diri mengarang
lagu, bertembang ginada yang kurang baik, kurang lebih, hurupnya jelek sekali.
2.Sekarang akan
dilanjutkan diceritakan pada zaman dahulu, ada suatu kisah, seorang anak dari
desa, bernama Ni Sumala, anak perempuan, miskin, lagi pula cacat.
3.Seperti tak ada yang
menyamai, kejelekannya di daerah Bali, semua ada pada dirinya, kurus kering tak
bertenaga, keluarganya dan masyarakat membenci, karena sering mengemis ke
beberapa daerah.
Bahasa Daerah Bali, Puh
Ginada:
1.Singgih
paduka Hyang Kawia, sredah Hyang Kawia nyampurin, aksamanen wong kalaran,
langgia ingwang minta kidung, pralambang ginada nista, tuna lewih, aksaranya
bandung pisan.
2.Mangke woten gantia
nika, winursateng kawia nguni, singgih wonten gagempelan, carita mangkin wong
duson, Ni Sumala ngaranira, wong pawestri, ubuh tiwas, lintang malah.
3.Buka tuara ada
lepiha, malan jagate di Bali, onya di awake pondong, ludin berag tani mampuh,
kadang brayane mengingang, bane sai, ngagendongngilehin jagat.
Berikut cuplikan dari
Geguritan Dukuh Wanasara:
Bahasa Indonesia Puh Sinom:
1.Dengan iseng saya
menyusun nyanyian, dengan mendadak hari ini, bahasanya campur dan tidak
menuruti pasang aksara, semoga dapat dimanfaatkan, atas kebodohan dan
kekurangan saya, nakal dan tidak tahu malu ikut mengarang, ceriteranya mentah
tanpa awal, tidak berinduk tidak serasi, tentu tidak menarik, mohon
keikhlasannya untuk memaafkannya.
2.Memang karena
kehendak hati, bukan karena merasa diri tahu, menguasai ilmu pengetahuan,
mengartikan ilmu yang suci (rahasia) pada akhirnya jauh dari itu semua,
bagaikan kunang-kunang terbang, ingin mencari bulan, mustahillah akan berhasil,
bagaikan pula, berenang menyelusuri samudera.
3. Mustahil akan
berhasil, karena luas tidak bertepi, benar-benar dorongan keinginan,
demikianlah sedikit untuk ingatkan, sebagai pelita gelapnya pikirannya, semoga
dikasihi oleh mereka, orang yang telah mengetahui hakekat pengetahuan, semoga
tercapai melalui pikiran, mendapatkan penerangan, yang disebut terang yang
sebenarnya.
Bahasa Daerah Balih Puh
Sinom:
1.Iseng titiang ngawe
gita, dedadakan wawu mangkin, basa manduk pasang sasar, gusti gung ampura ugi,
kawimuda tuna sami, jengkal pongah milu ngapus, satwa matah tanpa purwa,
ceclantungan tani asin, boya lengut, seuca ugi ngampurayang.
2.Sujati mustining
manah, boyah negguh dewek uning, tatas ring tatua aksara, nyuksmayang
sastra pingit, wekasa doh iku sami, saksat kunang-kunang mabut, paksa manuju
wulan, duh kapan sida kapangguh, kadi mantuk, anglangeni si arnawa.
3.duh kapan sidaning
cita, dening jimbar tanpa tepi, tuhu pangaptining manah, samatra anggen
pakeling, maka suluh peteng hati, mugi sih para sadulur, sang wus tatasing
aksara, durus ugi saking cita, maweh suluh, sane mawasta puput galang.
*****
Buku geguritan Ni
Sumala ditulis dengan dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Bali.
Terdiri dari kata pengantar, daftar isi, dan isi yang diawali geguritan Ni
Sumala. Buku setebal 167 halam, dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan di Jakarta tahun 1986. Dialih aksara dan alih bahasakan oleh Drs.
Ketut Nuarca. Geguritan Ni Sumala terdiri dari dua pupuh (puh), yaitu ginada
dan Adri. Geguritan Dukuh Wanasara terdiri dari 12 pupuh, yaitu sinom, ginada,
ginanti, sinon, ginanti, durma, semarandana, pangkur, ginanti, ginada, sinom,
dangdang.
Disusun: Tim Apero Fublic
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 14 Oktober 2021.
Sumber: Ketut Nuarca. Geguritan Ni Sumala. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment