Puisi
Kulit ialah
jaring laba-laba
1
Gelayut langit
menyandera mendung kehitaman.
Ada rasa yang
telah mati
Di tengah hujan
Aku ingin desau
sajak-sajakku kau dengar tanpa perlu kuteriakkan
Takdir
mempertemukan kita bersama menjalani hari.
Ini malam.
Lentik titik
hujan memantik
Sebuah retorika:
Rewrite: Apero
Fublic
e-Antologi Puisi Sebuku: Sapardi Djoko Damono
APERO
FUBLIC.- e-Antologi
puisi sebuku adalah kumpulan puisi-puisi dari penyair terpilih pada buku
antologi puisi Menenun Rinai Hujan. Terdapat sepuluh puisi yang terdiri dari
berbagai tema. Berikut ini kumpulan puisi elektronik sebuku.
(1)
Daur
Kulit ialah
jaring laba-laba
memeluk janji
yang kau lupa sebab dewasa
atua juga,
tembok-tembok besar dermaga
menahan ombak
sebelum menjilat tambak
ialah rumah yang
terasa asing
sebab tiap inci
jiwa terpasung
II
Dan mata
hanyalah jendela
Menatap luar
namun tak mampu menyentuhnya
Dunia terlihat
semu dan apa-apa menjadi kelabu
Kecuali jika kau
memilih pulang
Dan mengubur
inkarnasi dalam-dalam
Kepada rumah
sendiri kau mengetuk pintu
Menjadi debu
III
Masih hening
saat kau datang
Juga ketika
melepas pakaian dan debu dari jalanan
Duduk di ruang
tamu dan menatap keluar
Sebab rumah
adalah apa-apa yang kau bawa
Saat tak ada
yang benar-benar tersisa
“Aku pulang”
Kau akan selalu
mampu mengatakannya
IV
Tadi pagi hujan
namun kau telah dirumah
Seperti
gelombang yang kembali ke peraduan
Tiap kehidupan
adalah daur lingkaran
Mandala dari
jiwa-jiwa yang turun dari kereta
Terjaga di balik
kulit dan matamu
Kau telah pulang
Dan kupikir kau
telah menghilang.
Oleh. Nur Annisa
Kusumawardani
(2)
Kepada Puisi Dan
Segala Yang Dirahasiakannya.
1
Mencintaimu
Pohon-pohon
tumabang dari dadaku
Daun-daun rontok
menyalakan api
Pagi-pagi
sekali. Orang-orang kehilangan diri.
Perlahan, waktu
memahat ingatanku
Menandai hari
dengan kepulan asap
Dengan
gerakan-gerakannya yang teramat liat.
Di wajahmu
kelaparan dan kelahiran tumpah
Membasahi
ranjang bumi dengan darah
Lalu kau
menggeliat dan melingkarkan sepi
Pada doa malam
dan tidur bayi
Kini ku melihat
ke dalam pagi yang pucat
Malaikat sibuk
berulang-ulang
Memenuhi jalan
raya
Menuruni
jembatan-jembatan layang
Tempat kematian
menghentikan laju kendaraan
2
Kekasih
Menandai jejakmu
digurun yang tuli
Telah
meghilangkan bola mataku sendiri
Hanya udara yang
panas mengepungku
Membangun
peradaban dengan sejarah yang patah-patah
Hari demi hari
Kusaksikan
tulang belulang
Bangkit dan
berjalan
Menuju pusar
keramaian
Di mana
kelaparan dan peperangan
Mengabadikan
diri di potret-potret iklan
Tapi mereka
tidak sadarkan diri
Sukma dari
jiwanya
Tergantung
disudut kamar
Kekasih
Diam-diam cahaya
matahari memisahkan kita,
Aku terjebak
pada kecemasan sendiri
Sedang kau tetap
berada di udara
Dan menyaksikan
semua
3
Kepada puisi
Bawalah aku
bersama kata-katamu
Mengendarai
huruf-hurufmu
Memasuki
lorong-lorong waktu
Dan menyelami
segala yang rahasia
Oleh. Huda
Agsefpawan
(3)
Mata Hutan Hujan
Gelayut langit
menyandera mendung kehitaman.
Embus laut
mendarat di bibir pantai.
Matanya menatap
pohon-pohon tumbang.
Kerontang dahan
tanggal.
Daun-daun
terpingkal.
Matanya memejam
pada lubang-lubang.
Gersang
tanah-tanah dikebumikan.
Asap-asap berkeliaran.
Retina menyerupa
gerimis kebasahan, kemarau membayangi musim-musim.
Kornea membias
rintik temaram, muram dan karam.
Bulu mata sayu
menopang ragu, manusia-manusia membisu.
Sesekali
berkedip menerka pertanda, menunggu reda.
Matanya memerah
Dilampiaskannya
masygul embunan awan pada angin
Angin pada
rintik, rintik pada rinai
rinai
khatulistiwa.
Akar-akar
kehilangan tambat, ranting tanggal dahan patah
Terapung
batu-batu hutan
Saling hantam
menikam keruh air kecoklatan
Hanyut tanpa
dermaga mengasing jauh
Jauh benar-benar
jauh.
Melaut sauh
dikedalam
Kedalaman air
mata
Air mata hujan
Oleh. Aan
Setiawan.
Banjarbaru, 20
Maret 2019.
(4)
Goa Api
Ada rasa yang
telah mati
Tanggal 20 Juli
2016
Dunia seketika
sunyi
Tubuh itu
terbaring sepi
Badan membeku
merobek halusinasi
Tangisan,
amarah, dan kutukan
Mair yang
terasah
Memburu setiap
yang fana
Tek menyapa
Hanya menyiksa
raga
Rindu itu racun
Lara
menanarkanku
Kala
menghancurkanku
Pusaramu
membisukanku
Tak ada sepatah
kata pun
Ingatan tentang
dirimu
Hangatnya
pelukmu
Restu dan petuah
sucimu
Pangkuanmu
adalah pengobat pilu
Ragamu memang
pergi, tetapi hatimu masih bernadi
Oleh. Achmad
Khoiruddin
(5)
Sunyi
Di tengah hujan
Tanganku gemetar
Dingin mencekam
Aku terbungkam
Dibawah langit
malam
Aku sendiri
Menahan perih
hati
Menangis tanpa
henti
Aku adalah sunyi
Berkawan pada
sepi
Oleh. Adam Duta
Dwiguna
(6)
Lonceng Tua
Aku ingin desau
sajak-sajakku kau dengar tanpa perlu kuteriakkan
Tak perlu riuh
bergemuruh
Biar sesamar
denting lonceng tua dirayu angin sore yang tak mengenal gaduh
Biar selirih
pamitnya dedaunan musim gugur yang memilih ruluh
Untuk menyambut
sang salju bergantian mendekap ranting-ranting tak utuh
Ketahuilah, tuan
Yang tak lantang
bukan berarti tak sangguh
Dan dalam diam,
aku mencoba untuk teguh
Oleh. Adista
Putri
(7)
Sederhanaya
Cinta
Takdir
mempertemukan kita bersama menjalani hari.
Perkenalan
singkat membuatku jatuh hati.
Cinta bukan
butuh janji, tetapi bukti.
Hari ini wajah
cantikmu terbayang-bayang
Tersenyum manis menatap
engakau yang tersayang.
Hatiku tak
pernah bimbang.
Pilihanku Cuma
engkau seorang.
Dulu engkau
sangatlah ceria.
Kumenangis
mengingatnya, seakan-akan bernostalgia.
Kau yang seindah
bunga dahlia.
Tuhanku terima
kasih mempertemukan aku dan dia.
Oleh. Aditya
Zadira
(8)
Sebening Mata
Yang Kutatap
Ini malam.
Di terpal biru
trotoar kota.
Kita berdua saja.
Memesan sepiring
penuh asa dan luka.
Tiap menyendok
asa, katamu,
“Jangan lupa kau
tambahkan acara itu. Esok lusa, kau lihat mereka berpendar serupa kuning
kunang-kunang yang kini mengangkasa”
“Tapi aku ingin
menyendok luka!”
“Tapi tetap, kau
harus bubuhkan acar!”
“Agar sekuning
pendar kunang-kunang yang kini mengangkasa?”
“Bukan, agar
hatimu tetap sebening mata yang kutatap sekarang.”
Oleh. Adristi
Shafa Widyasari
Pada 9 Maret
2019.
(9)
Sepi Kala
Lentik titik
hujan memantik
Bibir kelu yang
layu
Dalam lamunan
berayun
Bercanda dengan
waktu
Majnun membisu
diam tanpa bahasa
Lari menjauh tak
ingin patuh
Pada mata yang
berpeluh
Laila menangis
dalam tanda tanya
Yakin kepada
keyakinan cinta
Tulus tanpa
bersapa
Hingga...
Batu nisan
terukir nama “Laila”
Air mengalir di
balik semilir
Menerpa muka
menerka
Pilu pula pipi
pecinta
Pasrah bersimbah
pada tanah
Di atas pusaran
pembatas perasaan
Dalam diam ini
banyak bercerita
Sendiri sepi
kala semua berbicara
Oleh. Agus Fikri
N.A.
(10)
Kemerdekaan
Cinta
Sebuah retorika:
Tergambar sebuah
jagat raya
Di dalam sebuah
negeri berkuasa
Segalanya mereka
punya,
Mereka punya
segala yang belum ada
Hingga
mengada-ada yang tak pernah ada
Semuanya ada
terkecuali cinta
Kemerdekaan
cinta miliki setiap jiwa, tepatnya.
Apa gunanya
berkuasa?
Jika membiarkan
yang lain mencinta saja, kita tidak bisa.
Dan mengapa
cinta harus ada?
Inikah retorika
cinta?
Atau inikah
kemerdekaan rasa?
Retorika
dihasilkan oleh cinta
Yang tak ingin,
yang dicinta gunda gulana
Sebab
keniscayaan cinta yang entah seperti apa
Inilah
retorika...
Selamat bersua,
Semoga tetap
dalam irama bahagia
Oleh. @Afdhlq
Rewrite: Apero
Fublic
Editor. Tim
Redaksi
Palembang, 13
Januari 2024
Sumber:
Sebuku Sapardi
Djoko Damono dan Para Penulis Terpilih Indonesia. Menenun Rinai Hujan Jilid 8.
Surakarta: Oase Group, 2019.
Sy. Apero Fublic
Via
Puisi
Post a Comment