RADEN KAMANDAKA: Patih Reksanata Dari Kadipaten Pasirluhur (3)
Sementara
itu, Patih Reksanata sedang duduk-duduk di beranda istana berbincang-bincang
dengan istri beliau. Duduk menghadap taman yang penuh bunga-bunga mekar. Tampak
prajurit berjaga dan beberapa prajurit berlalu lalang patroli memastikan keamanan
istana. Dalam pembicaraannya terdengar beliau begitu sedih karena tidak mendapatkan
seorangt anak laki-laki. Dia sudah tua, siapa yang akan meneruskan tahtanya di Kadipaten
Pasirluhur. Dari arah depan bangunan istanah, seorang abdi istana datang
menghadap.
“Ampun,
baginda saya memohon menghadap.” Ujar kepala abdi istana sambil membungkuk
memberikan sembah hormat. Abdi istanah berwenang mengatur rumah tangga istana,
dan memimpin semua pekerjaan harian di istana.
“Ada
apa, Paman.” Ujar Patih Reksanata dengan berwibawa dan lembut.
“Begini
Baginda, di luar istanah ada seorang pemuda yang memaksa berjumpa dengan baginda.
Bahkan dia sudah bertarung dengan beberapa orang penjaga gerbang istana.” Jawab
abdi istanah yang berumur lima puluhan tahun itu.
“Oh,
siapa anak muda ini.” Pikir Patih Reksanata, tampak istri beliau juga penasaran
dan menoleh ke arah patih dengan penuh tanda tanya. “Adakah kau bertanya asal
usulnya, namanya atau tujuannya ingin menghadap.” Tanya Patih Reksanata.
“Dia
mengaku bernama, Kamandaka. Dia bermaksud ingin mengabdi pada kadipaten dan
bernaung dibawah perlindungan keadilan baginda. Itulah yang dia katakan saat
saya berbincang-bincang.” Jawab abdi istanah yang setia itu.
“Baiklah,
persilahkan dia menghadap. Kesini saja, tidak perlu ke aulah istana.” Ujar Patih
Reksanata. Kepala Abdi istanah pergi, menuju gapura dimana seorang pemuda
menunggu. Dua orang dayang datang menghantarkan makanan ke hadapan patih. Patih
Reksanata tampak tenang dan berbincang dengan istrinya. Dari jauh mereka
melihat putrinya yang sedang bermain ditemani beberapa dayang istana dan
berlalu menuju taman yang ada kolam berair jernih.
*****
Kepala
abdi istana kembali diikuti seorang pemuda dan dikawal delapan prajurit
bersenjata lengkap. Mereka akan memastikan keamanan Patih Reksanata. Patih
Reksanata melihat pemuda yang tampan, dan bertubuh tegap. Dari perilaku dan
tindak tanduknya tampak kalau dia seorang pemuda yang terpelajar. Kepala Abdi, pemuda
itu, datang menghadap lalu duduk bersimpuh dihadapan Patih Reksanata. Patih
Resanata berkata di dalam hatinya, “kalau Aku memiliki anak laki-laki, pasti
usianya juga seumuran dengan pemuda ini.” Kata hati Patih Reksanata, dia tampak
tertegun beberapa saat sehingga suasana hening.
“Anak
muda, siapa namamu.” Tanya Patih Reksanata.
“Nama
hamba, Kamandaka Prabu.” Jawab Raden Banyakcatra dengan mantap.
“Sepertinya
kau bukan rakyat di Pasirluhur.” Kata sang prabu.
“Ampun
baginda patih, saya rakyat di Kadipaten Pasirluhur. Hambah berasal dari Desa
Kalipucang.” Jawab Raden Banyakcatra yang menyamar dengan nama Kamandaka.
“Lalu
apa tujuanmu.” Tanya Patih Reksanata.
“Ampun,
beribu ampun atas kelancangan hamba, Patih. Hamba datang ingin mengabdikan hidup
saya pada Kadipaten Pasirluhur. Saya ingin belajar ilmu perang, keprajuritan,
ilmu tatanegara, dan ilmu pengetahuan lainnya.” Kata Raden Banyakcatra atau
Kamandaka.
“Oh,
demikian rupanya. Apakah tekad sudah sangat kuat dengan tujuanmu itu. Sebab,
tugas negara bukan hal mudah dan bukan pulah hal ringan. Harus serius, dan
mementingkan urusan negara dan keselamatan negara dibanding urusan pribadi.”
Ujar Patih Pasirluhur denga penuh wibawah.
“Hamba
siap denga semua tanggung jawab demikian, Patih.” Jawab Kamandaka atau Raden
Banyakcatra.
“Aku
meminta waktu untuk mempertimbangkan permintaanmu. Harap kau sabar menunggu,
dan akan Aku sampaikan melalui Paman Kepala Abdi keputusanku nantinya.” Ujar Patih
Reksanata. Kemudian Kepala Abdi istanah dan Kamandaka kembali keluar. Kemudian
Kamandaka di antar kembali keluar istana, dan dia diminta untuk menunggu
beberapa hari.
*****
Tujuh
hari berlalu, Patih Reksanata berpikir dengan bijak. Dia mendiskusikan dengan
beberapa penasihat kadipaten dan dihadiri Kepala Abdi. Semua juga setuju, sebab
memang memerlukan tenaga muda dalam beberapa urusan kenegaraan. Selain itu,
beliau juga merasa prihatin dengan si pemuda yang menghadap bernama Kamandaka
itu. Patih Reksanata juga tertarik melihat anak muda itu, setidaknya dia akan
terhibur dari kesedihannya karena tidak memiliki anak laki-laki sebagai pewaris
tahtanya di Kadipaten Pasirluhur. Akhirnya Kamandaka diizinkan untuk mengabdi
di istana dan belajar tentang ilmu pemerintahan.
Sementara
Raden Banyakcatra menunggu dengan harap-harap cemas. Dia tidak pergi jauh dari
gapura istanah kadipaten. Setiap hari dia berada disana menunggu sampai kepala
Abdi istana datang memberi tahu keputusan Patih Reksanata. Akhirnya yang
ditunggu muncul, dan Raden Banyakcatra menghampiri dengan dada berdebar.
“Kamandaka,
kau diminta menghadap oleh Patih Reksanata.” Ujar Kepala Abdi istana Kadipaten Pasirluhur.
Raden Banyakcatra mengiakan, dan menuju aulah istana Kadipaten Pasirluhur.
Sesampai disana, Raden Banyakcatra menghadap dan terjadi dialog disaksikan
pembesar kadipaten.
“Apakah
kau sudah menikah.” Tanya Patih Reksanata.
“Belum
Patih, saya masih bujangan dan belum memikirkan hal itu.” Jawab Kamandaka atau
Raden Banyakcatra.
“Baiklah,
apa kau sudah siap dengan keputusanmu. Menjadi abdi kadipaten sama halnya
menjadi abdi negara adalah hal yang serius, kalau kau main-main seperti
anak-anak. Kau akan dihukum peggal kepala.” Kata Patih Reksanata.
“Saya
siap bertanggung jawab, Patih.” Jawab Raden Banyakcatra.
“Semua
keperluanmu akan ditanggung kadipaten, dan semua keperluanmu diurus Kepala
Abdi.” Jelas Patih Reksanata.
Sejak
hari itu, Raden Banyakcatra di Kadipaten Pasirluhur dikenal dengan nama,
Kamandaka. Dia menjadi siswa belajar ilmu administari pemerintahan dan
keprajuritan di Kadipaten Pasirluhur. Dia dipersiapkan sebagai tenaga masa
depan di kadipaten. Selain itu, dia juga memiliki tugas-tugas lain membantu
kepentingan istana kadipaten. Seperti menjadi tukang kebun, pengurus kuda,
pengurus ternak, atau pengambil kayu bakar, pemanen padi dan lainnya. Karena asrama
siswa kadipaten penuh, terpaksa Kamandaka tinggal sekamar dengan petugas taman
istana Kadipaten Pasirluhur.
Suatu
hari, Kamandaka mendapat tugas membantu menata taman bunga istana Kadipaten
Pasirluhur. Kamandaka bekerja sejak matahari terbit dengan punuh semangat. Dia
membuat ide baru dalam menata taman bunga agar bertambah cantik dan indah.
*****
Suatu
pagi, Patih Reksanata ditemani istrinya berjalan-jalan keliling istanah.
Menikmati matahari pagi yang bersinar hangat lembut. Patih akhirnya tiba di
taman bunga di sisi istana kadipaten. Dia dan istrinya begitu kagum dengan
penataan baru. Para prajurit, dayang-dayang, dan semua abdi istana juga
mengakui keindahan taman itu. Banyak bagian-bagian bunga dibuat plang papan dan
ditulis juga nama-nama bunga atau pohon.
Beberapa
hari kemudian patih memanggil kepala petugas kebun yang tinggal sekamar dengan
Kamandaka. Patih menanyakan abdi mana yang mengerjakan tugas kebun bunga beberapa
hari lalu. Abdi itu berkata jujur, kalau Kamandaka yang melakukannya. Selama
bertahun-tahun menjadi kepala abdi pengurus taman, baru kali ini katanya dia
menemui abdi yang pandai dan rajin.
“Patih,
saya amati sepertinya anak muda ini bukan orang sembarangan. Saya merasa ada
sesuatu yang tersembunyi pada Kamandaka.” Ujar Kepala taman istana. Mendengar
itu, Patih Reksanata menjadi kagum dan semakin tertarik dengan Kamandaka. Dia
juga merasakan hal yang sama dengan si abdi kebun istana. Namun mereka tidak mengetahui
dan memiliki bukti tentang Kamandaka.
“Sampaikan
pada Kamandaka, agar dia segerah menghadap saya.” Ujar Patih, dan kepala abdi
taman menyampaikan pesan itu. Membuat Kamandaka bertanya-tanya dan merasa
khawatir. Melihat kekhawatiran Kamandaka tampak dari wajahnya si kepala taman
istana memberi penjelasan yang baik. Sehingga Kamandaka menjadi cerah kembali,
dia pun segerah menghadap malam itu juga.
*****
“Ampun
gusti patih, apakah ada kesalahan hamba, sebelumnya saya memohon maaf.” Kata
Kamandaka dengan rasa khawatir.
“Tidak
ada Kamandaka, duduklah dengan tenang. Saya ingin bicara hal yang serius.”
Pinta Patih, yang duduk ditemani istri beliau.
“Baiklah
patih.” Jawab Kamandaka. Mereka duduk biasa, tidak formal seperti biasa.
Kamandaka menjadi bingung, tapi dia menuruti perintah sang Patih. Lama mereka
berbincang satu sama lain. Sampai akhirnya patih membicarakan inti dari
pertemuan mereka.
“Kamandaka,
kami berdua sudah tua dan tidak mendapatkan seorang anak pun. Jangankan anak
laki-laki, seorang anak perempuan pun tidak dikaruniahkan Hyang Widi pada kami.
Telah banyak usaha selama ini untuk mendapat seorang anak. Berdoa, berobat dan
bersamadi namun kami memang ditakdirkan tidak memiliki seorang anak. Kami pun
pasrah, dan menerima takdir ini. Kami mencari beberapa anak muda untuk diangkat
anak. Tapi belum satu pun menemukannya. Kalau sekedar anak tentu mudah, tapi
untuk mewariskan tahta kadipaten bukan pekara mudah. Sebab ini urusan
pemerintahan yang menyangkut hidup rakyat.” Jelas Patih Reksanata. Kamandaka
mengerti masalah keluarga patih Reksanata.
“Lalu
apa yang dapat saya bantu untuk masalah Patih.” Ujar Kamandaka dengan penuh
rasa prihatin.
“Saya
dan istri sudah sepakat, kalau kami ingin mengangkatmu sebagai anak kami.” Ujar
Patih Reksanata. Kamandaka terkejut bukan alang kepalang, dia tidak menyangka
sama sekali dengan keputusan sang patih.
“Gusti
Patih, baginda yang muliah. Apakah tidak salah berkata, atau hamba yang salah
mendengar. Saya hanya anak desa yang rendah dan miskin. Bagaimana bisa menjadi
anak gusti patih dan nyai Patih yang mulaih.” Ujar Kamandaka sambil bersimpu di
lantai, di hadapan Patih Reksanata.
“Kemuliaan
manusia tidak diukur dari kedudukan, jabatan, tahta, atau kekayaan. Tapi diukur
dari ahklaknya yang muliah, dari ilmu yang dia miliki dan dia gunakan untuk
kebaikan manusia. Kejujuran, rasa tanggung jawab, berjiwa kesatria, yang dia
miliki merupakan harta yang paling berharga. Manusia yang memiliki semua itu,
merupakan manusia yang muliah. Kami melihat itu ada pada dirimu, Kamandaka.”
Ujar Patih dengan berwibawa, membuat Kamandaka tidak bisa berkata-kata lagi.
Akhirnya,
Kamandaka menerima keputusan sang Patih. Keesokan harinya diumumkan pada
seluruh rakyat di Kadipaten Pasirluhur. Kamandaka, kemudian diperlakukan
sebagai seorang bangsawan, dia pun dipanggil Raden Kamandaka. Memiliki kamar
yang indah, dan mendapat wewenang sebagai wakil patih. Di istana Kepatihan
(istana pribadi patih) semua abdi menghormatinya sebab baik ahklak dan budi
pekertinya. Begitu juga rakyat diseluruh Kadipaten Pasirluhur.
Bersambung ke part 4.
Sumber:
Radjiati, BA. Raden Kamandaka; Cerita Rakyat Dari Daerah Banyumas, Jawa Tengah).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sy. Apero Fublic
Post a Comment