Kamandaka: Si Penyabung Ayam (Bagian 8)
APERO FUBLIC.- Beberapa hari setelah keberangkatan
Silihwara atau Raden Banyak Ngampar yang
menyamar dalam misi menemukan Raden Banyak Catra (Kamandaka) di Daerah
Pangembatan ada pertandingan adu ayam. Silihwara mendengar tentang acara adu
ayam itu. Tentu saja Silihwara yang didampingi punggawa Nitipraja dan puluhan
pasukan mendatangi tempat adu ayam itu. Mereka semua memakai pakaian biasa
seperti rakyat umumnya.
Kamandaka sudah pasti berada di arena adu ayam, karena dia
memang salah satu anggota adu ayam. Suasana sekitar ramai sekali oleh penonton
dan orang-orang berlalulalang. Ayam jantan diadu, dan kalah menang berlanjut
terus seiring sorak sorai penonton. Dalam kesibukan serta hiruk pikuk itu,
Silihwara, punggawa Nitipraja dan pasukan mereka datang berbaur diantara warga.
“Itu orang yang bernama Kamandaka dan temannya.” Bisik
punggawa Nitipraja pada Silihwara. Silihwara melihat dengan tajam, lalu memberi
isyarat pada semua pasukannya. Di dalam hati Silihwara merasa ada yang aneh
dengan Kamandaka. Dia merasa mengenal dan merasa pernah berjumpa tapi dia tidak
bisa ingat. Sepertinya penyamaran Raden Banyak Catra sangat sempurna
sampai-sampai adiknya tidak dapat mengenalinya lagi. Silihwara kemudian
melompat ke dalam arena adu ayam setelah usai satu sesi adu ayam pengadu
lainnya.
“Heeiiii, hari ini ayam orang itu berlawanan dengan ayamku
yang hebat ini dan Aku yakin ayamnya segerah kalah.” Ujar Silihwara yang
menunjukkan sikap sombong. Melihat perilaku Silihwara yang sombong membuat
Kamandaka tidak mau mengadu ayam jagonya dengan ayam jago Silihwara.
“Hari ini si Mercu tidak akan Aku adu. Aku akan menonton
saja.” Jawab Kamandaka.
“Ayo Den Bagus, lawanlah ayam orang itu.” Teriak puluhan
orang bergantian.
“Ada apa denganmu, Den. Lawanlah ayam orang sombong itu, si
Mercu pasti menang.” Kata seorang penonton. Si Mercu nama ayam jago milik
Kamandaka yang sudah terkenal di Desa Pangembatan.
“Ayo. Ayo Den Bagus jangan takut.” Teriak para botoh atau
penonton meminta Kamandaka mengadu ayamnya dengan ayam Silihwara. Kamandaka
yang didukung banyak penggemar akhirnya melompat ke dalam arena adu ayam.
Silihwara dan Kamandaka berhadapan di dalam arena adu ayam dan sama-sama
memegang ayam masing-masing.
“Wusssss.” Tiba-tiba Silihwara melemparkan ayam jagonya ke
arah Kamandaka. Karena diluar dugaan Kamandaka atas perbuatan itu membuatnya
tidak sempat mengelak. Kaki ayam jago Silihwara mengenai perut sebelah kanan.
Bersamaan itu juga, taji ayam jago menggores kulit perut dan terluka,
meneteskan darah.
Melihat itu, semua penonton menjadi merasa aneh dan marah
pada Silihwara yang dianggap mereka kurang ajar dan tidak sopan. Mereka semua
mulai berkata-kata yang mengkritik Silihwara. Sementara Kamandaka tetap tenang,
dia melirik perutnya yang terluka. Perlahan dia menangkap ayam jago Silihwara.
Lalu..
“Buukkkkk.” Suara bantingan.
“Keeeeeeooookkkk.” Suara jeritan ayam jago Silihwara
kesakitan karena dibanting Kamandaka dengan kuat, lalu mati seketika. Silihwara
sangat terkejut dan marah besar. Dia tidak bisa lagi menahan amarahnya. Lalu.
“Sriiiingggg.” Dia mencabut keris, dan menyerang Kamandaka.
Dalam beberapa serangan tusukan dielakan Kamandaka dengan mudah.
“Tangggg.” Seran keris Silihwara akhirnya ditangkis
Kamandaka dengan senjata sakti miliknya, Gagang Tampek Wasiat. Karena tenaga sakti
Tampek Wasiat membuat Silihwara terpental dan jatuh tidak sadarkan diri.
Punggawa Nitipraja yang melihat atasannya terjatuh pingsan, akhirnya menyerang
Kamandaka juga. Dalam beberapa jurus terjadi pertarungan sengit, tapi akhirnya
Nitipraja terkenah tusukan Tampek Wasiat dan dia tewas seketika. Semua orang
disana menjadi terdiam dan takut bahkan mulai menyingkir melihat terjadinya
perkelahian itu. Puluhan prajurit yang menyamar mulai menampakkan diri mereka
dengan mencabut pedang masing-masing. Kamandaka akhirnya melarikan diri Bersama
temannya Rekajaya. Para prajurit kemudian mengejar mereka yang melarikan diri.
Beberapa saat keadaan di sekitar arena adu ayam sudah sepi.
Saat Silihwara tersadar dari pingsan, dia melihat ke sekeliling yang tampak
sepi. Dia melihat mayat Punggawa Nitipraja yang tergeletak begitu saja.
Silihwara menemukan prajuritnya yang sedang mencari Kamandaka dan Rekajaya.
“Kalian semua, jangan melawan Kamandaka si pencuri itu.
Tetap di belakangku saja. Biar Aku yang melawannya. Ayo kita acari dia.”
Perintah Silihwara, kemudian dia memerintahkan sepuluh prajuritnya pergi
mengurusi mayat Nitipraja dan menguburkannya. Mereka bergerak memencar untuk
mencari Kamandaka, setiap yang menemukan Kamandaka segera memberitahu
Silihwara.
Beberapa hari kemudian Silihwara dan pasukannya berhasil
menemukan dan mengepung Kamandaka di Daerah Pajonggolan. Kata pajonggolah
diambil dari istilah pertarungan tampa senjata, atau tangan kosong, kalau zaman
modern daerah itu di Kecamatan Cilongok. Pertarungan yang terus menerus adu
kesaktian itu memakan waktu berhari-hari dan terus menerus dari desa ke desa
sehingga tidak sempat beristirahat.
Silihwara akhirnya beristirahat, dia meminta pasukannya
menyerang Kamandaka. Agar Kamandaka tidak lari. Dia duduk merenung berpikir
bagaimana mengalahkan Kamandaka yang sangat sakti. Saat itulah, tiba-tiba ada
langkah banyak orang datang. Silihwara melihat ke arah langkah-langkah itu.
“Oh, Gusti Pati Maresi. Pasti ada sesuatu yang sangat
penting sampai mendatangi hamba secara langsung.” Tanya Silihwara sesaat
serombongan orang itu tiba. Tampak Pati Maresi dikawan sepasukan Kadipaten
Pasirluhur.
“Adinda Silihwara, saya ditugaskan oleh Rama Adipati agar
segerah menangkap Kamandaka dan perang segerah usai.” Kata Pati Maresi, menantu
Adipati Pasirluhur.
“Baiklah Gusti, akan segerah kami tangkap Kamandaka itu.”
Jawab Silihwara, dia kemudian memerintahkan pasukannya untuk lebih ketat lagi
menyerang Kamandaka. Pertarungan kembali terjadi dengan hebat, mereka semua
mengeroyok Raden Kamandaka. Tapi Kamandaka juga menyerang bagaikan banteng
terluka, sehingga sangat banyak pasukan pimpinan Silihwara yang tewas.
Matahari pun terbenam sudah, semuanya tidak bisa melanjutkan
pertarungan di hutan itu. Kamandaka dan Ki Rekajaya menyelinap melarikan diri
dari hutan ituke arah utara. Masuk hutan lebat di sebelah timur Kali Banjaran.
*****
Keesokan paginya, Silihwara dan Pasukannya kembali mendesak
Kamandaka di dalam wilayah pengepungan. Namun sampai siang hari mereka tidak
menemukan Kamandaka di hutan yang mereka kepung.
“Kurang ajar, dia sudah melarikan diri.” Teriak Silihwara,
dan dia meminta pasukannya mencari jejak Kamandaka. Sampai akhirnya mereka
menemukan jejak-jejak. Lalu mengikuti jejak itu yang menuju ke arah utara.
Sampai menjelang petang mereka menemukan hutan keramat yang dihuni banyak
binatang buas. Mereka tidak bisa memasuki hutan itu, tapi menemukan Kamandaka
berada di dalam hutan keramat itu.
Para prajurit menjadi serbah salah. Untuk sementara mereka
hanya mengepung hutan itu saja. Kalau mereka masuk mencari Kamandaka,
kemungkinan mereka tewas oleh hewan buas atau ular berbisa. Kalau mereka hanya
mengepung saja, dan tidak segerah menangkap Kamandaka pangkat mereka akan
diturunkan atau bahkan diberhentikan dari prajurit. Kamandaka yang ditunggu
keluar hutan rimba keramat itu pun tidak muncul-muncul dan tetap di dalam
hutan.
“Kalian tidak perlu khawatir mencari Kamandaka. Aku punya
rencana, kita lepaskan saja anjing-anjing kita untuk mencari Kamandaka. Kalau
anjing menemukannya, pasti akan menggonggong dan kita dapat langsung menyergap
Kamandaka.” Ujar Silihwara, dan pasukannya setuju. Dengan demikian mereka tidak
perlu masuk hutan menyebar.
Anjing-anjing pilihan dilepaskan ke dalam hutan. Dengan
penciuman tajam si anjing yang mampu mengendus bauh manusia. Tidak berapa lama
beberapa ekor anjing menemukan Kamandaka dan Rekajaya. Lalu menggonggong keras
diikuti anjing-anjing lainnya. Sehingga suara gonggongan didengar beberapa
pasukan dan melaporkan ke Silihwara.
Namun Kamandaka yang mendengar suara anjing yang ganas
mendekatinya sadar kalau itu anjing pelajak pasukan Kadipaten Pasirluhur yang
mengejarnya. Kamandaka kemudian segerah membaca mantera pembungkam anjing.
Sehingga anjing-anjing pelacak menjadi diam dan jinak.
“Paman, ikan anjing itu di pohon. Jangan takut lagi, anjing
itu sudah jinak sekarang.” Perintah Kamandaka pada abdinya, lalu anjing-anjing
pelacak diikatkan di pohon. Membuat mereka semua tenang dan kembali istirahat.
Sementara Silihwara dan Pasukannya tidak lagi mendengar suara anjing
menggonggong sehingga mereka tidak tahu dimana posisi Kamandaka dan Ki Rekajaya
berada.
Bersambung ke bagian 9.
Post a Comment