Prasasti Tanjore: Catatan Serbuan Colamandala Ke Kedatuan Sriwijaya dan Palembang di Sebut Melayu
Ilustrasi Pakaian Adat Melayu Palembang (foto: Pinterest) |
APERO FUBLIC. SEJARAH.- Prasasti Tanjore merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Asing tentang Kedatuan Sriwijaya. Keluarnya prasasti menandai Peristiwa Penting yaitu serbuan tantara Colamandala sebua Kerajaan dari Dataran India ke wilayah Kedatuan Sriwijaya.
Masa itu, ibu kota Kedatuan Sriwijaya berada di Kota Palembang. Peristiwa terjadi di tahun 1017 dan serangan kedua ditahun 1030. Tahun 1030 inilah yang mengakhiri Palembang sebagai ibu Kota Sriwijaya, lalu pindah ke Jambi.
Bunyi Prasasti Tanjore
“Rajendra telah mengirim banyak kapal-kapal ditengah ombak lautan dan telah menangkap Sangramawijaya, raja Kadaram bersama dengan gajah-gajah pada angkatan perang yang jaya mengambil timbunan emas/intan dan berhak menghimpunnya; telah merebutnya dengan para pembesar terutama yang disebut Widyadharatorana pada pintu gerbang perang diibukota Sriwijaya, dengan permata yang menghiasi pintu gerbang kecil dengan semarak dan pintu gerbang permata yang luas.
Panai dengan air dalam pemandian yang dhasyat, peninggalan perbukala Malayur dengan gunung yang kuat untuk kubu pertahanan/benteng, sekeliling Mayirundingan dengan laut yang dalam, dengan parit; illalanggacoka berkeras hati dalam medan perang yang ganas; Mapalam telah melimpahkan air sebagai pembelaan; Mewilimbangam dijaga oleh dinding yang indah; Walaipanduru adalah gerombolanorang Wilaipanduru; Talaottakolam telah dipuji oleh orang cendekiawan Tambralingga besar sanggup pada asksi yang kuat dalam medan perang; Nakawaram besar taman yang luas, madu telah dikumpulkan; dan kadaram pada kekuatan yang ganas yang dilindungi oleh lautan yang dalam.
Alih aksara Dari; Prof. N.Y. Krom
Pada alih aksara dan terjemahan Prof. N.Y. Krom masih banyak kosa kata yang tidak terbaca dengan baik dan kalimat yang belum sempurna. Namun sudah jelas untuk kita pahami kalau prasasti Tanjore tentang catatan peristiwa penyerbuan kerajaan Colamandala. Serangan Kerajaan Colamandala terjadi dua kali karena serangan mereka hanya menyerang kota dan wilayah pedalaman tidak tersentuh sedikitpun. Serangan pertama pada 1017 dan serangan kedua pada 1030 Masehi.
Raja Kedatuan Sriwijaya yang tantara Cola tangkap bernama Sangramawijaya. Dari serbuan inilah awal dari runtuhnya Kota Palembang zaman Sriwijaya. Rakyat Sriwijaya, saudagar, kaum bangsawan dan petinggi Sriwijaya beransur-ansur mulai meninggalkan Kota Palembang. Sampai pada akhirnya, Prameswara seorang Pangeran Sriwijaya meninggalkan Palembang dan mendirikan Kesultanan Malaka.
Kata Malayur dalam Prasasti Tanjore merupakan penyebutan Melayu untuk rakyat Sriwijaya dimana saja seluas wilayah kekuasaannya selama itu. Maka disebutkan dengan istilah “perbendaharaan melayur” hal ini juga menunjukkan kalau Kota Palembang masa lalu merupakan pusat kebudayaan masyarakat yang berkebudayaan Melayu. Selama masa 800 tahun berkuasanya Sriwijaya di Asia Tenggara telah memantapkan Bahasa linguapranka Melayu untuk Bahasa penghubung di Asia Tenggara dan dunia Internasional sampai akhirnya pesebaran Islam dan pesebaran agama Kristen juga menggunakan Bahasa linguapranka Melayu-Austronesia.
Runtuhnya kota Palembang sebagai pusat Kedatuan Sriwijaya tidak membuat Kedatuan Sriwijaya Runtuh. Setelah tahun 1030, Kedatuan Sriwijaya masih bertahan selama lebih dari dua ratus tahun beribukota di Jambi dengan penguasa Dinasti Mauli. Palembang kemudian menjadi wilayah kadipaten dengan pemerintahan Kedemangan. Sebagaimana kita kenal salah satunya Demang Lebar Daun yang namanya diabadikan pada sebuah jalan di Kota Palembang.
Masa periode Jambi ini Kedatuan Sriwijaya dikenal bangsa Cina dengan sebutan San-Fo-Tsi. Ada 15 wilayah yang masih menjadi bagian dari Sriwijaya melalui berita Cina. Yaitu, Pong-Fong (Pahang), Tong Ya Nong (Trengganu), Ling Ya Si Kia (Langkasuka), Kui Lan Tan (Kelantan), Fo Lo An (Dungan), Ji Li Tong (Jelotong), Tsi Len Mai (Semang), Pa Ta (Batak), Tan Ma Ling (Tamalingga), Kia Lo Hi (Grahi), Po Lin Fong (Palembang), istilah kata Po Lin Fong bermakna Pelabuhan tua, merujuk bekas pelabuhan ibu kota Sriwijaya. Sin To (Sunda), Kim Pei (Kampe), Lan Ma Li (Lamuri), Sin Lan (Sailon).
Hal demikian memang benar, sebab Palembang merupakan kota kuno yang menjadi ibu Peradaban Asia Tenggara dan cikal bakal terbentuknya Indonesia di masa-masa mendatang. Salah satu bentuk jasa Kedatuan Sriwijaya menciptakan system pemerintahan sentral dan maritim. Kemaharajaan pertama Bangsa Indonesia, dan budaya asli Indonesia. Hal ini, ditunjukkan dengan istilah Kedatuan atau Kadatuan yang memiliki makna kesatuan wilayah yang dipimpin datu. Wilayah-wilayah yang dipimpin Datu sama halnya seperti provinsi-provinsi di Kedatuan Sriwijaya.
Sebagaimana terpahat di prasasti-prasasti di Sumatera Bagian Selatan adanya pengangkatan seseorang menjadi datu di suatu tempat yang ditaklukkan Sriwijaya. Sehingga istilah Kedatuan lebih tepat digunakan untuk menyebut kesatuan Indonesia dari pada kata Nusantara yang mengadopsi kebudayaan asing (India). Kedatuan Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Post a Comment